Semua kaum muslimin sepakat, bahwa Nabi Akhir Zaman adalah seorang Nabi
yang ummi, label ini melekat pada sosok agung Muhammad SAW dalam dua
literatur utama; Al-Qur`an dan Hadits. Meski demikian, mereka kemudian
berbeda pendapat untuk menentukkan makna dari kata ummi.
Mayoritas cendekiawan menterjemahkan kata ummi sebagai ketidakmampuan
membaca dan menulis (buta huruf). Sementara sebagian lain berpendapat
bahwa Rasulullah bukanlah seseorang yang buta huruf, ummi diterjemahkan
dengan ketiadaan kitab suci, sehingga ummiyyun berarti umat yang tidak
memiliki kitab suci, berbeda dengan Yahudi dan Nasrani.
Pendapat ini juga mendapatkan sokongan dari kaum orientalis memang tidak
pernah berhenti untuk menyerang fondasi hukum Islam yang sudah mapan
dalam bentuk al-Qur`an al-Karim. Dikhawatirkan mereka hendak menuju
kepada tujuan orang-orang sebelum mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur`an
adalah bikinan Muhammad. Dan salah satu gerbang menuju kesana adalah
dengan meruntuhkan keummian Rasulullah SAW dalam arti tidak mampu
membaca dan menulis. Dengan demikian, kelak, mereka akan dengan mudah
mengatakan bahwa Muhammad lah yang mengarang Al-Qur`an dengan
kemampuannya.
Dalam Al-Quran Allah Swt. berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
(QS. Al-Jumu’ah (62): 2)
Ayat ini menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. adalah Rasul-Nya yang berasal dari kaum yang buta huruf.
Imam Al Baidhawi Rahimahullah menjelaskan:
{ هُوَ الذى بَعَثَ فِى الأميين } أي في العرب لأن أكثرهم لا يكتبون ولا يقرؤون . { رَسُولاً مّنْهُمْ } من جملتهم أمياً مثلهم
(Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf) yaitu kepada kaum
Arab karena sebagian besar mereka tidak menulis dan tidak membaca.
(seorang rasul di antara mereka) dari kumpulan mereka yang ummi
sebagaimana mereka. (Anwarut Tanzil, 5/293. Mawqi’ At Tafasir)
Secara bahasa, al-‘ummiy maknanya adalah :
نسبة إلى الأم أو الأمة ومن لا يقرأ ولا يكتب والعيي الجافي
“Merupakan nisbah kepada al-umm atau al-ummah dan orang yang tidak bisa
membaca dan menulis. Juga dinisbatkan kepada orang yang susah bicara dan
kasar perangainya” [Al-Mu’jamul-Wasiith, 1/58].
والأُمِّيّ الذي لا يَكْتُبُ قال الزجاج الأُمِّيُّ الذي على خِلْقَة
الأُمَّةِ لم يَتَعَلَّم الكِتاب فهو على جِبِلَّتِه وفي التنزيل العزيز
ومنهم أُمِّيُّون لا يَعلَمون الكتابَ إلاّ أَمَانِيَّ ...... وكانت
الكُتَّاب في العرب من أَهل الطائف تَعَلَّموها من رجل من أهل الحِيرة
وأَخذها أَهل الحيرة عن أَهل الأَنْبار وفي الحديث إنَّا أُمَّةٌ
أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُب ولا نَحْسُب أَراد أَنهم على أَصل ولادة أُمِّهم لم
يَتَعَلَّموا الكِتابة والحِساب فهم على جِبِلَّتِهم الأُولى وفي الحديث
بُعِثتُ إلى أُمَّةٍ أُمِّيَّة قيل للعرب الأُمِّيُّون لأن الكِتابة كانت
فيهم عَزِيزة أَو عَديمة ومنه قوله بَعَثَ في الأُمِّيِّين رسولاً منهم
“Al-ummiy adalah orang yang tidak bisa menulis. Az-Zujaaj berkata :
‘Al-ummiy adalah orang yang berada pada kondisi awal umat (ketika
dilahirkan) yang tidak mempelajari kitab dan tetap dalam keadaannya
seperti itu (hingga dewasa)’. Dan dalam Al-Qur’an disebutkan : ‘Dan di
antara mereka ada orang-orang ummiy (buta huruf), tidak mengetahui
Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka’(QS. Al-Baqarah :
78).... Dulu, orang-orang yang dapat menulis dari kalangan bangsa ‘Arab
dari penduduk Thaaif mempelajari ilmu tersebut dari laki-laki penduduk
Hiirah, dimana penduduk Hiirah mengambil ilmu tersebut dari penduduk
Anbaar. Dalam hadits disebutkan : ‘Sesungguhnya kami adalah umat yang
ummiy, tidak pandai menulis dan tidak pula berhitung’; maksudnya bahwa
mereka (bangsa ‘Arab) berada dalam kondisi awal seperti saat dilahirkan
oleh ibu mereka yang tidak belajar menulis dan berhitung, dan mereka
tetap dalam kondisi mereka yang pertama tersebut (hingga dewasa). Dalam
hadits disebutkan : ‘Aku diutus kepada umat yang ummiy’. Orang ‘Arab
dikatakan sebagaial-ummiyyuun, karena pengetahuan menulis di sisi mereka
merupakan sesuatu yang sangat jarang. Dari hal tersebut adalah
firman-Nya :‘yang mengutus kepada kaum yang ummiy (buta huruf) seorang
Rasul dari kalangan mereka sendiri’ (QS. Al-Jumu’ah : 2)....”
[Lisaanul-‘Arab, 12/22].
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr hafizhahullah mengatakan:
الأمية: نسبة إلى الأميين، والمقصود بذلك كثير منهم، ولا يعني ذلك أنه لا
توجد الكتابة والقراءة فيهم، بل كانت ففيهم ولكن بقلة، والحكم هنا الغالب،
وقد كان النبي صلى الله عليه وسلم كذلك لا يقرأ ولا يكتب صلى الله عليه
وسلم، وقد جاء بهذا القرآن الذي لو اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثله
لم يستطيعوا، وهو من عند الله عز وجل، وكونه أمياً لا يقرأ ولا يكتب هذا من
أوضح الأدلة على أنه أتى بالقرآن من عند الله عز وجل، ولهذا يقول الله
وجل: وَمَا كُنْتَ تَتْلُوا مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ
بِيَمِينِكَ إِذًا لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ [العنكبوت:48]، أي: لو أنه كان
قارئاً كاتباً فيمكن أن يأتي به من عند نفسه، لكنه كان لا يقرأ ولا يكتب
صلى الله عليه وسلم.
Al Ummiyah: disandarkan kepada Al Ummiyyin, maksudnya adalah banyak di
antara mereka, dan tidak berarti tidak ditemukan sama sekali tulisan dan
bacaan pada mereka, bahkan hal itu ada pada mereka tapi sedikit,
maknanya di sini menunjukkan yang umumnya. Nabi Saw. juga begitu, dia
tidak membaca dan tidak menulis. Beliau datang dengan membawa Al-Qur’an,
yang seandainya berkumpulnya manusia dan jin untuk mendatangkan yang
sepertinya mereka tidak akan mampu membuatnya, dan Al-Qur’an adalah dari
Allah ‘Azza wa Jalla,keadaan Beliau yang ummi tidak dapat membaca dan
menulis merupakan di antara penjelasan yang menunjukkan bahwa Beliau
datang dengan membawa Al-Qur’an dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla, oleh
karena itu Allah Ta’ala berfirman: Dan kamu tidak pernah membaca
sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis
suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan
menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu). (QS. Al
Ankabut (29): 48) yaitu seandainya beliau bisa membaca dan menulis maka
mungkin saja dia datang membawa Al-Qur’an yang berasal dari dirinya
sendiri, tetapi beliau Saw. tidak bisa membaca dan tidak pula
menulis.(Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud,
12/498-499)
Begitulah umumnya keadaan orang ‘Arab dahulu. Bahkan ketika Islam
datang, orang yang bisa membaca dan menulis hanya berjumlah 17 orang
saja, diantaranya : ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Abu ‘Ubaidah, dan Yaziid bin
Abi Sufyaan.
Oleh karenanya, sifat ummiy yang disandangkan kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah tidak bisa membaca dan menulis. Banyak sekali
dalil yang mendasarinya, antara lain :
1. Allah ta’ala berfirman :
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي
يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ
لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ
عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ
آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي
أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul,Nabi yang ummiy yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an),
mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. Al-A’raaf : 157].
Qataadah rahimahullah ketika menafasirkan ayat : ‘(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummiy’, berkata :
وَهُوَ نَبِيُّكُمْ كَانَ أُمِّيًّا لا يَكْتُبُ
“Ia adalah nabi kalian (yaitu Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam)
yang ummiy, tidak bisa menulis” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarariy dalam
Jaami’ul-Bayaan, 13/157 no. 15205 & 13/163 no. 15223; sanadnya
hasan].
Al-Baghawiy rahimahullah berkata :
قوله تعالى: { الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ }
وهو محمد صلى الله عليه وسلم. قال ابن عباس رضي الله عنهما هو نبيكم كان
أميا لا يكتب ولا يقرأ ولا يحسب
“Dan firman-Nya : ‘(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang
ummiy’; ia adalah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Abbaas
radliyallaahu ‘anhumaa berkata : ‘Ia adalah nabi kalian yang ummiy,
tidak bisa menulis, membaca, dan berhitung” [Tafsiir Al-Baghawiy,
3/288]
.
2. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan engkau tidak pernah membaca sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitab
pun dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu;
apabila (engkau pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang
yang mengingkari (mu)” [QS. Al-‘Ankabuut : 48].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa ketika menafsirkan ayat di atas berkata :
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ وَلا يَكْتُبُ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membaca dan
menulis” [Diriwayatkan oleh Al-Baghawiy dalam As-Sunan Al-Kubraa, 7/42;
sanadnya hasan].
Qataadah rahimahullah berkata :
كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ لا يَقْرَأُ كِتَابًا قَبْلَهُ، وَلا يَخُطُّهُ
بِيَمِينِهِ، قَالَ: كَانَ أُمِّيًّا، وَالأُمِّيُّ: الَّذِي لا يَكْتُبُ
“Nabiyullah tidak pernah membaca kitab sebelumnya, tidak pula menulis
dengan tangan kanannya. Ia ada seorang yang ummiy. Dan ummiy itu adalah
orang yang tidak bisa menulis” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam
Jaami’ul-Bayaan, 20/50; sanadnya hasan].
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
يقول تعالى ذكره:(وَما كُنْتَ) يا محمد(تَتْلُوا) يعني: تقرأ (مِنْ
قَبْلِهِ) يعني: من قبل هذا الكتاب الذي أنزلته إليك(مِنْ كِتَابٍ وَلا
تخُطُّهُ بِيَمِينِكَ) يقول: ولم تكن تكتب بيمينك، ولكنك كنت أمِّيًّا(إذًا
لارْتابَ المُبْطِلَونَ) يقول: ولو كنت من قبل أن يُوحَى إليك تقرأ
الكتاب، أو تخطه بيمينك،(إذًا لارْتَابَ) يقول: إذن لشكّ -بسبب ذلك في
أمرك، وما جئتهم به من عند ربك من هذا الكتاب الذي تتلوه عليهم- المبطلون
القائلون إنه سجع وكهانة، وإنه أساطير الأوّلين
“Makna firman Allah ta’ala tersebut adalah: ‘Dan engkau, wahai Muhammad,
tidak pernah membaca kitab sebelum kitab ini yang turun kepadamu. Dan
engkau tidak pernah menulis dengan tangan kananmu, karena engkau seorang
yang ummiy. ‘Apabila (engkau pernah membaca dan menulis), benar-benar
ragulah orang yang mengingkari (mu)’ – maksudnya : seandainya engkau
sebelum diwahyukan pernah membaca kitab atau menulisnya dengan tangan
kananmu. ‘Niscaya benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu’ –
maksudnya : maka mereka sungguh akan ragu-ragu dengan sebab itu dalam
urusanmu. Dan tidaklah engkau mendatangi mereka dengan kitab ini yang
berasal dari sisi Rabbmu yang engkau bacakan kepada mereka, mereka akan
mengingkari dengan mengatakan bahwa itu hanyalah sajak, dukun, dan
dongeng orang-orang terdahulu” [Tafsiir Ath-Thabariy, 20/50].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
ثم قال تعالى: { وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا
تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ } ، أي: قد لبثت في قومك -يا محمد -ومن قبل أن تأتي
بهذا القرآن عُمرا لا تقرأ كتابا ولا تحسن الكتابة، بل كل أحد من قومك
وغيرهم يعرف أنك رجل أمي لا تقرأ ولا تكتب. وهكذا صفته في الكتب المتقدمة،
كما قال تعالى: { الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ
الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ } الآية
[الأعراف: 157].
“Kemudian Allah ta’ala berfirman : ‘Dan engkau tidak pernah membaca
sebelumnya (Al Qur'an) sesuatu Kitab pun dan engkau tidak (pernah)
menulis suatu kitab dengan tangan kananmu ; yaitu : sungguh engkau telah
tinggal di kaummu – wahai Muhammad – sebelum diberikan Al-Qur’an ini
kepadamu beberapa masa, engkau belum pernah membaca kitab dan engkau
tidak pandai menulis. Bahkan, setiap seorang dari kaummu atau selain
kaummu mengetahui bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang ummiy,
tidak bisa membaca dan menulis. Demikianlah sifatnya yang ada dalam
kitab terdahulu, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘“(Yaitu) orang-orang
yang mengikut Rasul, Nabi yang ummiyyang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar’ (QS. Al-A’raaf : 157)” [Tafsiir Ibni Katsiir,
6/285].
3. ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنَ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ، فَكَانَ لَا يَرَى
رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ، ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ
الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ، فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ
التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى
أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ
فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ
حِرَاءٍ، فَجَاءَهُ الْمَلَكُ، فَقَالَ: اقْرَأْ، قَالَ: مَا أَنَا
بِقَارِئٍ، قَالَ: فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ،
ثُمَّ أَرْسَلَنِي، فَقَالَ: اقْرَأْ، قُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ،
فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ،
ثُمَّ أَرْسَلَنِي، فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ،
فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ:ف "
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ { 1 } خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ
عَلَقٍ { 2 } اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ { 3 } "........
“Wahyu yang pertama-tama datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallamadalah berupa mimpi baik ketika tidur. Ketika itu, tidaklah
beliau bermimpi kecuali tampak seperti terangnya pagi. Kemudian beliau
mulai senang untuk menyendiri. Pada waktu itu beliau suka menyendiri di
gua Hiraa’ dan melakukan tahannuts di sana -yaitu beribadah- selama
beberapa malam sebelum akhirnya beliau pulang kepada keluarganya. Beliau
pun telah menyiapkan bekal untuk itu. Kemudian beliau pulang menemui
Khadiijah dan membawa bekal untuk kembali ke sana. Sampai suatu ketika
datanglah kebenaran itu pada saat beliau berada di dalam gua Hiraa’.
Malaikat datang kepadanya dan berkata : ‘Bacalah!’. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Aku tidak bisa membaca’. Beliau
menceritakan : Maka dia (malaikat) pun merengkuh badanku dan meliputi
diriku hingga aku merasa tertekan. Lalu dia pun melepaskanku seraya
berkata : ‘Bacalah’. Aku menjawab : ‘Aku tidak bisa membaca’. Lalu dia
kembali merengkuh badanku dan meliputi diriku untuk kedua kalinya hingga
aku merasa tertekan. Lalu dia pun melepaskanku seraya berkata :
‘Bacalah!’. Aku menjawab : ‘Aku tidak bisa membaca’. Lalu dia kembali
merengkuh badanku dan meliputi diriku untuk ketiga kalinya lalu dia
melepaskanku. Dia pun berkata : ‘Bacalah, dengan nama Rabbmu yang telah
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Rabbmu yang paling mulia……” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4].
4. Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau pernah bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ
هَكَذَا، وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً
ثَلَاثِينَ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, tidak pandai menulis dan
tidak pula berhitung. Satu bulan itu begini dan begini, yaitu kadang 29
hari, kadang 30 hari” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1913].
Dari keterangan di atas sangat jelas bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam adalah seorang yang ummiy, tidak bisa membaca dan menulis,
sebagaimana umumnya keadaan masyarakat ‘Arab ketika itu. Ini bukanlah
aib bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam – meski jika sifat itu
ada pada orang lain akan menjadi aib - . Bahkan, menunjukkan
kesempurnaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau mampu
membawa risalah meski tidak bisa membaca dan menulis, serta sebagai
bukti bahwa apa yang disampaikan kepada beliau benar-benar wahyu Allah
yang tidak beliau karang atau contek dari kitab Yahudi dan Nashrani.
Dalam keummi-annya, Al Quran turun kepadanya. Ini justru menunjukkan keadaan tersebut adalah mu’jizat baginya.
Imam Al ‘Aini menjelaskan:
وكونه- عليه السلام- أميا من جملة المعجزة
Dan keadaannya (Nabi Saw.) yang ummi termasuk di antara kumpulan
mukjizat. (Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 4/267. Cet. 1,
1999M-1420H. Maktabah Ar Rusyd)
Jika ada yang bertanya, bukankah ada hadits yang berbunyi,
ائْتُونِي بِالْكَتِفِ وَالدَّوَاةِ أَوْ اللَّوْحِ وَالدَّوَاةِ أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا
“Ambilkan untukku kertas dan tinta, aku tuliskan untuk kalian kitab yang
setelahnya tidak membuat kalian tersesat selamanya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Apakah itu berarti Nabi Muhammad bisa membaca dan menulis? Bukankah ini
berarti hadits shahih tersebut bertolak belakang dengan ayat Al-Qur’an
atau hadits-hadits shahih lainnya?
Dalam ilmu mukhtalif hadits, para ulama sudah menyiapkan jawaban atas hadits-hadits yang tampak saling bertentangan.
Imam an-Nawawi berkata, “Mengetahui mukhtalif hadits merupakan bidang
ilmu yang sangat penting, seluruh ulama dari semua golongan sangat perlu
untuk mengetahuinya, yaitu adanya dua hadits yang tampaknya
bertentangan kemudian digabungkan atau dikuatkan salah satunya. Hal ini
dapat dilakukan secara sempurna oleh para ulama yang menguasai hadits
dan fiqih serta ahli ushul yang mendalami makna hadits.” (At-Taqrib
2/651-652 -Tadrib Rawi-.)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “Anggapan kontradiksi dan
kerumitan itu hanyalah ada dalam pemahaman seorang, bukan dalam ucapan
Nabi. Oleh karenanya, sewajibnya bagi setiap mukmin untuk menyerahkan
hal yang dinilainya rumit tersebut kepada ahlinya dan hendaknya dia
menyadari bahwa di atas seorang yang alim ada yang lebih tinggi
darinya.” (Miftah Daar Sa’adah 3/383)
Oleh karena itu, selain mengetahui hadits-hadits Nabi tersebut, kita
juga sudah seharusnya membaca kitab-kitab penjelas isi hadits-hadits
tersebut, seperti Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi dan Fathul Bari
(Syarah Shahih Bukhari) karya Imam Ibnu Hajar. Yaitu agar tidak terjadi
salah duga dan salah persepsi tentang dua hadits yang sepertinya tampak
bertentangan padahal kenyataannya tidak.
Dalam memahami hadits shahih di atas, Imam Nawawi mengatakan,
أكتب لكم أي آمر بالكتابة ومنها أن الأمراض ونحوها لا تنافي النبوة ولا تدل على سوء الحال
“(Saya tuliskan untuk kalian) yaitu perintah untuk membuat tulisan dan
darinya merupakan berbagai cacat dan semisalnya yang tidak menafikan
kenabiannya dan tidak pula menunjukkan buruknya keadaan.” (Al Minhaj
Syarh Shahih Muslim, 11/94)
Pemahaman ini juga dikuatkan oleh riwayat lain bahwa jika Beliau ingin menulis maka sahabatnya yang menuliskannya.
Abu Hurairah Ra. menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw. kembali
menguasai Mekkah, beliau berkhutbah di hadapan manusia. Ketika beliau
berpidato, berdirilah seseorang dari Yaman bernama Abu Syah, dan
berkata:
يارسول اللّه اكتبوا لي، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "اكتبوا لأبي شاه
“Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Lalu Rasulullah bersabda: “Tuliskan untuk Abu Syah.”
Al Walid (salah seorang perawi hadits ini) bertanya kepada Al Auza’i:
ما قوله "اكتبوا لأبي شاهٍ؟" قال: هذه الخطبة التي سمعها من رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم
Apa maksud sabdanya: “Tuliskan untuk Abu Syah.” Dia menjawab: “Khutbah
yang dia (Abu Syah) dengar dari Rasulullah Saw.” (HR. Bukhari, Muslim,
Abu Daud, At Tirmidzi, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, Ibnu Hibban,
dan Ahmad)
عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه
وسلم من الوحي الرؤيا الصالحة في النوم فكان لا يرى رؤيا إلا جاءت مثل فلق
الصبح ثم حبب إليه الخلاء وكان يخلو بغار حراء فيتحنث فيه وهو التعبد
الليالي ذوات العدد قبل أن ينزع إلى أهله ويتزود لذلك ثم يرجع إلى خديجة
فيتزود لمثلها حتى جاءه الحق وهو في غار حراء فجاءه الملك فقال اقرأ قال ما
أنا بقارئ قال فأخذني فغطني حتى بلغ مني الجهد ثم أرسلني فقال اقرأ قلت ما
أنا بقارئ فأخذني فغطني الثانية حتى بلغ مني الجهد ثم أرسلني فقال اقرأ
فقلت ما أنا بقارئ فأخذني فغطني الثالثة ثم أرسلني فقال اقرأ باسم ربك الذي
خلق خلق الإنسان من علق اقرأ وربك الأكرم فرجع بها رسول الله صلى الله
عليه وسلم يرجف فؤاده فدخل على خديجة بنت خويلد رضي الله عنها فقال زملوني
زملوني فزملوه حتى ذهب عنه الروع فقال لخديجة وأخبرها الخبر لقد خشيت على
نفسي فقالت خديجة كلا والله ما يخزيك الله أبدا إنك لتصل الرحم وتحمل الكل
وتكسب المعدوم وتقري الضيف وتعين على نوائب الحق فانطلقت به خديجة حتى أتت
به ورقة بن نوفل بن أسد بن عبد العزى ابن عم خديجة وكان امرأ قد تنصر في
الجاهلية وكان يكتب الكتاب العبراني فيكتب من الإنجيل بالعبرانية ما شاء
الله أن يكتب وكان شيخا كبيرا قد عمي فقالت له خديجة يا ابن عم اسمع من ابن
أخيك فقال له ورقة يا ابن أخي ماذا ترى فأخبره رسول الله صلى الله عليه
وسلم خبر ما رأى فقال له ورقة هذا الناموس الذي نزل الله على موسى يا ليتني
فيها جذعا ليتني أكون حيا إذ يخرجك قومك فقال رسول الله صلى الله عليه
وسلم أومخرجي هم قال نعم لم يأت رجل قط بمثل ما جئت به إلا عودي وإن يدركني
يومك أنصرك نصرا مؤزرا ثم لم ينشب ورقة أن توفي وفتر الوحي
Daripada Ummul Mu'minin Aisyah ranha, katanya: "Keadaan yang mula-mula
sekali Rasulullah menerima wahyu dengannya adalah melalui mimpi yang
baik di dalam tidur. Baginda tidak melihat satu mimpi pun melainkan
berlalunya ia seperti cahaya subuh. Kemudian, hatinya telah dijadikan
cinta kepada bersendirian, dan Baginda bersendirian mengasingkan diri
dari orang ramai di gua Hiraa'. Maka, Baginda beribadat di dalamnya dan
ia adalah peribadatan waktu malam-malam yang memiliki bilangan, sebelum
Baginda merasa rindu kepada keluarganya. Baginda pun melakukan persiapan
untuk itu dan kembali kepada Khadijah (isterinya), maka Baginda
melakukan persiapan lagi untuk malam-malam seperti sebelumnya
sehinggalah datang kepadanya kebenaran, sedangkan Baginda berada di
dalam gua Hiraa'. Maka datanglah kepadanya Malaikat (Jibrail as) dan
berkata: "Bacalah". Katanya: "Tidaklah aku pandai membaca". Katanya:
"Maka dia memelukku dan melitupi diriku dengan sekuat-kuatnya, kemudian
dia melepaskanku". Maka dia berkata (sekali lagi): "Bacalah". Aku
menjawab: "Tidaklah aku pandai membaca". Maka dia memelukku dan
melitupiku untuk kali kedua dengan sekuat-kuatnya, kemudian dia
melepaskanku". Maka dia berkata (sekali lagi): "Bacalah". Aku menjawab:
"Tidaklah aku pandai membaca". Maka dia memelukku dan melitupiku untuk
kali ketiga dengan sekuat-kuatnya, kemudian dia melepaskanku". Kemudian
dia berkata: "Bacalah dengan nama Tuhanmu. Yang menciptakan manusia
daripada segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang Maha Pemurah". HR
Bukhari
Hadis ini menjelaskan tentang bagaimana keadaan permulaan Rasulullah
menerima wahyu, ketika Baginda mula-mula didatangi oleh Malaikat Jibrail
as. Pada ketika itu, Baginda belum pandai menulis atau membaca. Baginda
masih dalam keadaan buta huruf. Dengan ini, nampak sangatlah jelas,
penulis artikel ini tidak mengerti zaman / waktu terjadinya peristiwa
dalam hadis ini, sekaligus menyebabkan dia salah faham terhadap maksud
kandungannya. Adapun perkataan penulis artikel setelahnya:
"Amatlah mengherankan jika Jibril memerintahkan Muhammad membaca, namun ternyata ia tidak dapat membaca."
Sebenarnya, perintah Jibrail as. supaya Rasulullah membaca, walaupun
ketika itu Baginda tidak tahu membaca, hanyalah berniat untuk menegaskan
kepentingan pembacaan dan memasukkan satu rasa semangat ke dalam jiwa
Baginda supaya memerhatikan arahan pembacaan itu dengan sebaik-baiknya,
bukanlah berniat untuk mengemukakan satu bentuk " al-amru " [ الأَمْرُ ]
atau " perintah " yang mustahil dilakukan oleh orang yang
diperintahkan, kerana seperti mana yang dapat difahami, Baginda masih
tidak tahu membaca, maka tidak ada maksud arahan tersebut dikeluarkan
untuk "memaksa" Baginda melakukan sesuatu yang dia sendiri tidak mampu
melakukannya. Kemudian, ada satu maksud lain: Tujuan disebutkan sebanyak
3 kali arahan "bacalah", disertai dengan "pelukan" Jibrail as. kepada
Baginda adalah untuk memasukkan kekuatan rohani dan pengajaran terhadap
ilmu pembacaan tersebut, daripada Jibrail as, ke dalam jiwa Baginda.
Maka, untuk memastikan penyampaian tersebut, dilakukan perbuatan
"memeluk" itu.
Adapun setelah diturunkannya Al Qur’an maka para ulama telah berselisih
tentang apakah Rasulullah saw tetap dalam keadaan tidak bisa membaca dan
menulis ataukah beliau saw telah mempelajari baca tulis.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ke-ummiyan-nya saw itu tidaklah berlanjut, berdasarkan dalil-dalil berikut :
1. Didalam
”Shahih Bukhori” dijelaskan bahwa beliau saw telah merubah didalam
lembaran perjanjian Hudaibiyah satu kalimat yang menyebutkan ”Muhammad
Rasulullah” menjadi ”Muhammad bin Abdullah” namun beliau belum begitu
pandai dalam menulis.
2. Bahwa Rasulullah saw pernah membaca lembaran Uyainah bin Hishn serta menjelaskan maknanya.
3. Bahwa Rasulullah saw pernah mengatakan tentang al Masih ad Dajjal ”Terdapat tulisan diantara kedua matanya (dajjal) kafir”
Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa Rasulullah saw tetap dalam keadaan
ummiy dimana hikmah keummiyannya saw itu tetaplah ada sehingga tidak
terdapat celah untuk menyerang kandungan yang ada didalam risalahnya
maupun Al Qur’an yang telah diterimanya sebagai sebuah wahyu dari Allah
swt selama diturunkannya secara berangsur-angsur hingga akhir hayatnya
saw.
Sedangkan jawaban jumhur terhadap selain mereka adalah bahwa Nabi saw
telah menulis sebagian kalimat tidaklah menghapuskan sifat keummiyannya
saw. Banyak orang-orang yang ummiy pada hari ini yang mampu menulis
namanya sendiri lalu menandatanganinya dan pada saat yang sama dirinya
tidaklah bisa membaca apa yang ditandatanganinya itu, dan mereka
tetaplah ummiy.
Begitulah, dan apabila keummiyan Rasulullah saw merupakan sifat yang
memiliki kesempurnaan dan hikmah maka sesungguhnya keummiyan orang-orang
yang berada ditengah-tengah kita adalah sifat yang harus kita hilangkan
berdasarkan nash-nash yang banyak tentang anjuran untuk belajar dan
mengajar. Membaca merupakan kunci yang paling utama untuk itu. Dan
diantara petunjuk Rasulullah saw didalam tebusan tawanan perang badar
adalah mengajarkan membaca dan menulis bagi sebagian anak-anak kaum
Anshor. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 176)
Wallohu A'lam Bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar