Matahari tampak
akan tenggelam, angin pun bertiup sepoi-sepoi di sekitar pepohonan.
Harum semerbak mulai memenuhi mihrab Maryam. Bau itu menembus jendela
mihrab dan mengepakkan sayapnya di sekeliling gadis perawan yang khusuk
dalam salat tanpa seorang pun mendengar suaranya. Maryam merasa bahwa
udara dipenuhi dengan bau harum yang mengagumkan. Ia kembali melakukan
salatnya dengan khusuk dan mengungkapkan syukur kepada Allah SWT.
Seekor burung
hinggap di jendela mihrab. Ia mengangkat paruhnya ke atas dan
mengarahkan ke matahari serta mengepakkan kedua sayapnya lalu ia terjun
ke air dan mandi di dalamnya. Kemudian ia terbang ringan di sekitamya.
Maryam ingat bahwa beliau lupa untuk menyirami pohon mawar yang tumbuh
secara tiba-tiba di tengah dua batu yang tumbuh di luar mesjid. Maryam
menyelesaikan salatnya lalu ia keluar dari mihrab dan menuju pohon.
Belum selesai beliau siap-siap untuk keluar sehingga para malaikat
memanggilnya:
“Hai
Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan
melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” (QS. Ali ‘Imran: 42)
Maryam berhenti
dan tampak wajahnya yang pucat dan semakin bertambah. Mihrab itu
dipenuhi dengan kalimat-kalimat para malaikat yang memancarkan cahaya.
Maryam merasa bahwa pada hari-hari terakhir terdapat perubahan pada
suasana ruhaninya dan fisiknya. Di tempat itu tidak terdapat cermin
sehingga ia tidak dapat melihat perubahan itu. Tetapi ia merasa bahwa
darah, kekuatan dan masa mudanya mulai meninggalkan tempatnya dan
digantikan dengan kesucian dan kekuatan yang lebih banyak. Beliau
menyadari bahwa ia sedang gugup. Beliau merasakan kelemahan manusiawi
dan adanya kekuatan yang luar biasa. Setiap kali tubuhnya merasakan
kelemahan, maka bertambahlah kekuatan dalam ruhnya. Perasaan yang
demikian ini justru membangkitkan kerendahan hatinya. Maryam mengetahui
bahwa ia akan memikul tanggung jawab besar.
“Dan
(ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, sesungguhnya
Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas
segala wanita di dunia (yong semasa dengan kamu).” (QS. Ali ‘Imran: 42)
Dengan
kalimat-kalimat yang sederhana ini Maryam memahami bahwa Allah SWT telah
memilihnya dan menyucikannya dan menjadikannya penghulu para wanita
dunia. Beliau adalah wanita terbesar di dunia. Para malaikat kembali
berkata kepada Maryam:
“Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orangyang ruku.” (QS. Ali ‘Imran: 43)
Perintah tersebut
ditetapkan setelah adanya berita gembira agar beliau meningkatkan
kekhusukannya, sujudnya, dan rukuknya kepada Allah SWT. Maryam lupa
terhadap pohon mawar dan beliau kembali salat. Maryam merasakan bahwa
sesuatu yang besar akan akan terjadi padanya. Beliau merasakan hal itu
sejak beberapa hari, tetapi perasaan itu semakin menguat saat ini.
Matahari
meninggalkan tempat tidurnya sementara malam telah bangkit sedangkan
bulan duduk di atas singgasananya di langit dan di sekelilingnya
terdapat awan-awan yang indah dan putih. Kemudian datanglah pertengahan
malam dan Maryam masih sibuk dalam salatnya. Beliau menyelesaikan
salatnya dan teringat pohon mawar itu lalu beliau membawa air di suatu
bejana dan pergi untuk menyiramnya.
Pohon mawar itu
tumbuh di antara dua batu di tempat yang tidak jauh dari mesjid yang
hanya ditempuh beberapa langkah darinya. Tempat itu jauh dari jangkauan
manusia sehingga tak seorang pun mendekatinya. Tempat itu sudah
dijadikan tempat yang khusus bagi Maryam untuk melakukan salat di
dalamnya atau beribadah. Maryam mendekati pohon mawar itu dan
menyiramnya. lalu beliau meletakkan bejana, kemudian ia memikirkan pohon
mawar itu di mana tangkainya semakin panjang pada dua malam yang
dilaluinya.
Tiba-tiba, Maryam
mendengar suara derap kaki yang mengguncang bumi. Beliau tidak
mendengar suara kaki yang berjalan, tetapi beliau mendengar suara kaki
yang menetap di atas batu serta pasir. Maryam merasakan ketakutan. Ia
merasakan bahwa ia tidak sendirian. Ia menoleh ke sebelahnya namun ia
tidak mendapati sesuatu pun. Kemudian kedua matanya mulai berputar-putar
dan memperhatikan suatu cahaya yang berdiri di sana. Maryam gemetar
ketakutan dan menundukkan kepalanya. Maryam berkata dalam dirinya, siapa
gerangan orang yang berdiri di sana. Maryam memandang kepada wajah
orang asing itu, dan menyebabkan ia gelisah. Wajah orang itu sangat
aneh, di mana dahinya bercahaya lebih daripada cahaya bulan. Meskipun
kedua matanya memancarkan kemuliaan dan kebesaran tetapi wajah orang itu
justru menggambarkan kerendahan hati yang mengagumkan.
Pandangan pertama
yang dilihat oleh Maryam kepada orang itu mengisyaratkan, bahwa orang
itu memiliki kemuliaan yang diperoleh orang yang menyembah Allah SWT
selama julaan tahun. Maryam bertanya kepada dirinya, siapa gerangan
orang ini? Kemudian seakan-akan orang asing itu membaca pikiran Maryam
dan berkata: “Salam kepadamu wahai Maryam.” Maryam dibuat terkejut
mendengar adanya suara manusia di depannya. Maryam berkata sebelum
menjawab salamnya:
“Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” (QS. Maryam: 18)
Maryam berlindung
di bawah lindungan Allah SWT dan ia bertanya kepadanya, “Apakah engkau
manusia yang mengenal Allah SWT dan bertakwa kepadanya?” Kemudian orang
itu tersenyum dan berkata:
“Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” (QS. Maryam: 19)
Orang asing itu
belum selesai menyampaikan kalimatnya sehingga tempat itu dipenuhi
cahaya yang menakjubkan yang tidak menyerupai cahaya matahari, cahaya
bulan, cahaya lampu, cahaya lilin bahkan cahaya api. Di sana terdapat
cahaya yang sangat jernih. Kemudian terngianglah di kepala Maryam
kalimat: “Aku adalah seorang utusan Tuhanmu.” Kalau begitu, dia adalah penghulu para malaikat, Ruhul Amin (Jibril) yang telah berubah wujud menjadi manusia.
Maryam mengangkat
kepalanya dengan gemetar menahan luapan cinta. Jibril berdiri di
depannya dalam bentuk manusia. Maryam memperhatikan kejernihan dahinya
dan kesucian wajahnya. Benar apa yang diduganya bahwa Jibril memiliki
kemuliaan yang diperoleh orang yang menyembah Allah SWT selama jutaan
tahun. Kemudian Maryam mengingat kembali kalimat-kalimat yang diucapkan
Jibril. Malaikat itu telah mengatakan bahwa ia adalah utusan Tuhannya,
dan ia telah datang untuk memberi Maryam seorang anak laki-laki yang
suci. Maryam ingat bahwa dirinya adalah seorang perawan yang belum
tersentuh oleh seorang pun. Ia belum menikah dan belum dilamar oleh
seseorang pun, maka bagaimana ia melahirkan anak tanpa melalui
pernikahan. Pikiran-pikiran ini berputar-berputar di kepala Maryam lalu
ia berkata kepada Jibril:
“Maryam
berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak
pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula)
seorangpezina!” (QS. Maryam: 20)
Jibril berkata:
“Demikianlah
Tuhanmu berfirman: ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami
menjadikannya suatu tanda bagi manusia sebagai rahmat dari Kami; dan hal
itu adalah suatu perkara yang sudah diputushan.“‘ (QS. Maryam: 21)
Maryam menerima
kalimat-kalimat Jibril. Tidakkah Jibril berkata kepadanya bahwa ini
adalah perintah Allah SWT dan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya
pasti akan terlaksana. Kemudian, mengapa ia harus (ketika) melahirkan
tanpa disentuh oleh seorang manusia pun. Bukankah Allah SWT mendptakan
Nabi Adam tanpa seorang ayah dan seorang ibu? Sebelum diciptakannya Nabi
Adam tidak ada pria dan wanita. Hawa diciptakan dari Nabi Adam dan ia
pun diciptakan dari laki-laki, tanpa perempuan.
Biasanya manusia
diciptakan melalui pasangan laki-laki dan perempuan; biasanya ia
memiliki ayah dan ibu, tetapi mukjizat terjadi ketika Allah SWT
menginginkannya untuk terjadi. Kemudian Jibril meneruskan
pembicaraannya:
“Sesungguhnya
Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran searangputra yang
didptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya, namanya al-Masih Isa
putra Maryam, seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat dan
termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara
dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk di
antara orang-orang yang saleh.” (QS. Ali ‘Imran: 45-46)
Keheranan Maryam
semakian bertambah. Betapa tidak, sebelum mengandung anak itu di
perutnya ia telahmengetahui namanya. Bahkan ia menhetahui bahwa anaknya
itu akan berbicara dengan manusia saat ia masih kecil. Sebelum Maryam
menggerakan lisannya untuk melontarkan pertanyaan lain, Jibril
mengangkat tangannya dan mengerahkan udara ke arah Maryam. Kemudian
datanglah hembusan udara yang bercahaya yang belum pernah dilihat
sebelumnya oleh Maryam. Lalu cahaya tersebut ke jasad Maryam dan
memenuhinya. Tak sempat Maryam melontarkan pertanyaan yang lain, Jibril
yang suci telah pergi tanpa meninggalkan suara.
Udara yang dingin
telah bergerak dan Maryam pun tampak menggigil. Maryam segera kembali
ke mihrabnya. Ia menutup pintu mihrab dan ia tenggelam dalam salat yang
khusuk dan ia pun menangis. Maryam merasakan kegembiraan, kebingungan
dan kegoncangan serta kedamaian yang dalam. Kini, Maryam tidak lagi
sendirian. Sejak Jibril meninggalkannya, ia merasakan bahwa ia tidak
lagi sendirian. Ia menggerakkan tangannya yang dipenuhi dengan cahaya,
kemudian cahaya ini berubah di dalam perutnya menjadi anak, seorang anak
yang akan menjadi kalimat Allah SWT dan ruh-Nya yang diletakkan pada
Maryam. Ketika anak itu besar, ia akan menjadi seorang rasul dan nabi
yang ajarannya dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang.
Maryam di malam
itu tidur dengan nyenyak dan ia bangun di waktu Subuh. Belum lama ia
membuka kedua matanya sehingga ia dibuat terkejut ketika melihat mihrab
dipenuhi dengan buah-buahan yang sebenarnya tidak lagi musim. Maryam
heran melihat hal itu. Ia mulai mengingat apa yang telah terjadi padanya
kemarin, yaitu bagaimana kejadian saat menyiram pohon mawar, bagaimana
pertemuannya dengan malaikat Jibril, bagaimana Allah SWT meniupkan
kalimat-Nya padanya, bagaimana ia kembali ke mihrab, dan bagaimana
tidurnya yang nyenyak. Maryam berkata kepada dirinya sambil melihat
buah-buahan yang banyak: Apakah aku akan memakan sendirian buah-buahan
ini. Kemudian ada suara dalam dirinya yang berkata: “Engkau tidak lagi
sendirian wahai Maryam. Kini, engkau bersama Isa. Engkau harus makan
dengan baik. Dan Maryam mulai makan.
Lalu berlalulah
hari demi hari. Kandungan Maryam berbeda dengan kandungan umumnya
wanita. Ia tidak merasakan sakit dan tidak merasa berat; ia tidak
merasakan sesuatu telah bertambah padanya dan perutnya tidak membuncit
seperti umumnya wanita. Alhasil, kehamilan yang dialaminya dipenuhi
dengan nikmat yang baik. Datanglah bulan yang kesembilan. Ada sebagian
ulama yang mengatakan bahwa Maryam tidak mengandung Isa selama sembilan
bulan, tetapi ia melahirkannya secara langsung sebagai mukjizat.
Pada suatu hari,
Maryam keluar ke suatu tempat yang jauh. Ia merasa bahwa sesuatu akan
terjadi hari itu. Tetapi ia tidak mengetahui hakikat sesuatu itu.
Kakinya membimbingnya untuk menuju tempat yang dipenuhi dengan pohon
kurma. Tempat itu tidak biasa dikunjungi oleh seseorang pun karena
saking jauhnya; tempat yang tidak diketahui oleh seseorang pun kecuali
Maryam.
Tak seorang pun
yang mengetahui Maryam bahwa sedang hamil dan ia akan melahirkan. Mihrab
yang menjadi tempat ibadahnya selalu tertutup. Orang-orang mengetahui
bahwa Maryam sedang sibuk beribadah dan tidak ada seorang pun yang
mendekatinya. Maryam duduk beristirahat di bawah pohon kurma yang besar
dan tinggi. Maryam mulai merasakan sakit pada dirinya, dan rasa sakit
tersebut semakin terasa. Akhirnya, Maryam melahirkan:
“Maka
rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal
pohon kurma, ia berkata: ‘Aduhai alangkah baiknya aku mati sebelum ini,
dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 23)
Rasa sakit saat
melahirkan anak yang dialami wanita suci ini menimbulkan
penderitaan-penderitaan lain yang segera menantinya. Bagaimana manusia
akan menyambut anaknya ini? Apa yang mereka katakan tentangnya? Bukankah
mereka mengetahui bahwa ia adalah wanita yang masih perawan? Bagaimana
seorang gadis perawan bisa melahirkan? Apakah manusia akan membenarkan
Maryam yang melahirkan anak itu tanpa ada seseorang pun yang
menyentuhnya? Kemudian pandangan-pandangan keraguan mulai
menyelimutinya. Maryam berpikir bagaimana reaksi manusia kepadanya dan
bagaimana perkataan mereka terhadapnya sehingga hatinya dipenuhi dengan
kesedihan. Belum lama Maryam membayangkan dan meminta agar ia dimatikan
dan dilupakan, tiba-tiba anak yang baru lahir itu memanggilnya:
“Janganlah
kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai
di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya
pohon itu ahan mengugurkan buah kurma yang masak kepadamu makan, minum
dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu rnelihat seorang manusia, maka
katakantah: ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun
pada hari ini.’” (QS. Maryam: 24-26)
Maryam melihat
al-Masih yang tampan wajahnya. Wajahnya tidak kemerah-merahan dan
rambutnya tidak keriting seperti anak-anak yang lahir di saat itu,
tetapi ia berkulit lembut dan putih. Anak itu diselimuti dengan kesucian
dan kasih sayang; anak itu berbicara kepada Maryam agar ia
menghilangkan kesedihannya dan meminta padanya agar menggoyangkan
batang-batang pohon kurma supaya jatuh darinya sebagian buahnya yang
lezat dan Maryam dapat memakan dan meminum darinya sehingga hatinya pun
penuh dengan kedamaian serta kegembiraan dan tidak berpikir tentang
sesuatu pun. Jika Maryam melihat atau menemui manusia, maka hendaklah ia
berkata kepada mereka bahwa ia bernazar kepada Allah SWT untuk berpuasa
dan tidak berbicara kepada seseorang pun.
Maryam melihat
al-Masih dengan penuh kecintaan. Anak itu baru dilahirkan beberapa saat
tetapi ia langsung memikul tanggung jawab ibunya di atas pundaknya.
Selanjutnya, ia akan memikul penderitaan orang-orang fakir. Maryam
melihat bahwa wajah anak itu menyiratkan tanda yang sangat aneh. Yaitu
tanda yang mengisyaratkan bahwa ia datang ke dunia bukan untuk mengambil
darinya sesuatu, tetapi untuk memberinya segala sesuatu. Maryam
mengulurkan tangannya ke pohon kurma yang besar. Belum lama ia menyentuh
batangnya hingga jatuhlah darinya buah kurma yang masih muda dan lezat.
Maryam makan dan minum dan kemudian ia memangku anaknya dengan penuh
kasih sayang.
Saat itu, Maryam
merasakan kegoncangan yang hebat. Silih-berganti ketenangan dan
kegelisahan menghampirinya. Segala pikirannya tertuju pada satu hal,
yaitu Isa. Ia bertanya-tanya dalam dirinya: Bagaimana orang-orang Yahudi
akan menyambutnya, apa yang akan mereka katakan tentangnya, apa yang
akan mereka katakan terhadap Maryam, apakah para pendeta dan para
pembesar Yahudi percaya bahwa Maryam melahirkan seorang anak tanpa
disentuh oleh seseorang pun? Bukankah mereka terbiasa hidup dengan
suasana pencurian dan penipuan? Apakah seseorang di antara mereka akan
percaya—padahal ia jauh dari langit—bahwa langit telah memberinya
seseorang anak.
Akhirnya, masa
pengasingan Maryam telah berakhir dan Maryam harus kembali ke kaumnya.
Maryam kembali dan waktu menunjukkan Ashar. Pasar besar yang terletak di
jalan yang dilalui Maryam menuju mesjid dipenuhi dengan manusia. Mereka
sibuk dengan jual-beli. Mereka duduk berbincang-bincang sambil minum
anggur. Belum lama Maryam melewati pasar itu sehingga manusia melihatnya
membawa seorang anak kecil yang didekapnya. Salah seorang bertanya:
“Bukankah ini Maryam yang masih perawan? Lalu, anak siapa yang dibawanya
itu?” Seorang yang mabuk berkata: “Itu adalah anaknya.” Mari kita
dengar cerita apa yang akan disampaikannya. Akhirnya, orang-orang Yahudi
mulai “mengepung” dengan berbagai macam pertanyaan: “Anak siapa ini
wahai Maryam, mengapa engkau tidak mengembalikannya, apakah itu memang
anakmu, bagaimana engkau datang dengan membawa seorang anak sedangkan
engkau adalah gadis yang masih perawan?”
“Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam: 28)
Maryam dituduh
melakukan pelacuran. Mereka menyerang Maryam tanpa terlebih dahulu
mendengarkan sanggahannya atau mengadakan penelitian atau membuktikan
bahwa perkataan mereka memang benar. Maryam dicerca sana-sini dan ia
diingatkan, bahwa bukankah ia seseorang yang tumbuh dari rumah yang baik
dan bukanlah ibunya seorang pelacur? Lalu mengapa semua ini terjadi
padanya? Menghadapi semua tuduhan itu, Maryam tampak tenang dan tetap
menunjukkan kebaikannya. Wajahnya dipenuhi dengan cahaya keyakinan.
Ketika pertanyaan semakin menjadi-jadi dan keadaan semakin sulit, maka
Maryam menyerahkan segalanya kepada Allah SWT. Ia menunjuk ke arah
anaknya dengan tangannya. Maryam menunjuk Isa.
Orang-orang yang
ada di situ tampak kebingungan. Mereka memahami bahwa Maryam berpuasa
dari berbicara dan meminta kepada mereka agar bertanya kepada anak itu.
Para pembesar Yahudi bertanya: “Bagaimana mereka akan melontarkan
pertanyaan kepada seorang anak kecil yang baru lahir beberapa hari?
Apakah anak itu akan berbicara di buaiannya” Mereka berkata kepada
Maryam:
“Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?” (QS. Maryam: 29)
Berkata Isa:
“Sesungguhnya
aku ini hamba Allah, Dia memberiku al-Kitab (injil) dan Dia menjadikan
aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana
saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia
tidak menjadikanku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan
semoga dilimpahkan kepadahu, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku
meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. ” (QS. Maryam: 30-33)
Belum sampai Isa
menuntaskan pembicaraannya sehingga wajah-wajah para pendeta dari
kalangan Yahudi dan para uskup tampak pucat. Mereka menyaksikan mukjizat
terjadi di depan mereka secara langsung. Anak kecil itu berbicara di
buaiannya; anak kecil yang datang tanpa seorang ayah; anak kecil yang
mengatakan bahwa Allah SWT telah memberinya al-Kitab dan menjadikannya
seorang Nabi. Ini berarti bahwa kekuasaan mereka sebentar lagi akan
hancur. Setiap orang dari mereka akan menjadi tidak berarti ketika anak
kecil itu dewasa. Tak seorang pun di antara mereka yang dapat “menjual
pengampunan” kepada manusia atau menghakimi mereka melalui pemyataan
bahwa ia adalah wakil dari langit yang turun di bumi. Atau pernyataan,
bahwa hanya dia yang mengetahui syariat.
Para pendeta
Yahudi merasa akan terjadi suatu tragedi kepribadian yang akan datang
kepada mereka dengan kelahiran anak kecil ini. Kedatangan al-Masih
berarti mengembalikan manusia kepada penyembahan semata-mata kepada
Allah SWT. Ini berarti menghapus agama Yahudi yang sekarang mereka
yakini. Perbedaan antara ajaran-ajaran Musa dan tindakan-tindakan
orang-orang Yahudi menyerupai perbedaan antara bintang-bintang di langit
dan lumpur-lumpur di jalan. Para pendeta Yahudi menyembunyikan kisah
kelahiran Isa dan bagaimana ia berbicara di masa buaian. Mereka justru
menuduh Maryam yang masih perawan dengan kebohongan yang besar. Mereka
menuduh Maryam melakukan pelacuran, padahal mereka menyaksikan sendiri
mukjizat pembicaraan anaknya di masa buaian.
Mula-mula cerita
tentang itu mereka sembunyikan untuk beberapa saat. Meskipun demikian,
berita tentang kelahiran Isa sampai ke Hakim Romawi, yaitu Heradus. Ia
memimpin orang-orang Palestina dan orang-orang Yahudi dengan kekuatan
pedang. Ia menakut-nakuti mereka dengan menumpahkan darah serta
banyaknya mata-mata yang dimilikinya. Pada suatu hari, ia duduk di
istananya dan meminum anggur. Lalu ia mendengar berita yang samar
tentang kelahiran seseorang anak tanpa ayah; seorang anak yang dikatakan
ia mampu berbicara saat masih di buaian, lalu ia menyampaikan
pembicaraan yang menjurus pada ancaman terhadap kekuasaan Romawi.
Kemudian bergetarlah kursi yang ada di bawah tubuh Heradus. Ia
memerintahkan untuk diadakan suatu pertemuan mendadak yang dihadiri oleh
para pengawalnya dan para mata-matanya. Pertemuan itu pun terlaksana.
Heradus duduk dengan wajahnya yang hitam mengkilat, lalu ia memutarkan
pandangannya ke arah mata-matanya dan bertanya: “Bagaimana berita anak
kecil yang berbicara di buaiannya?”
Salah seorang
kepala mata-mata berkata: “Tampak bahwa masalahnya tidak benar. Kami
telah mendengar isu-isu sekitar anak kecil yang mereka katakan bahwa ia
membuat mukjizat dengan berbicara saat ia masih belia. Lalu saya
mengutus anak buahku untuk mencari kebenaran berita itu, tetapi mereka
tidak menemukannya. Jelas bagi kami, bahwa berita itu dilebih-lebihkan.”
Kemudian salah satu anggota mata-mata raja berkata: “Aku telah
mendapatkan bukti yang terpercaya bahwa tiga orang dari orang-orang
Majusi datang di balik suatu bintang yang mereka lihat menyala di suatu
langit dan bintang tersebut mengisyaratkan kelahiran anak kecil yang
membawa mukjizat, yaitu anak kecil yang akan menyelamatkan kaumnya.”
Hakim berkata: “Bagaimana ia dapat menyelamatkan kaumnya dan kaum siapa
yang diselamatkannya?” Salah seorang mata-mata berkata: “Anak buahku
tidak mengetahuinya karena orang-orang pandai dari Majusi itu pergi dan
tak seorang pun menemukan mereka.”
Hakim berkata:
“Bagaimana mereka dapat pergi dan bersembunyi lalu bagaimana cerita anak
kecil ini? Apakah di sana ada persekongkolan untuk menentang Romawi?”
Hakim melompat dari tempat duduknya ketika ia menyebut Romawi, dan ia
mulai berbicara dengan keadaan emosi: “Aku menginginkan kepala tiga
orang yang cerdik itu dan aku juga menginginkan kepala anak kecil itu.
Dan aku menginginkan informasi yang lengkap. Sungguh masalah ini semakin
samar hai orang-orang yang bodoh.” Lalu kepala mata-mata berkata:
“Barangkali ini hanya mimpi yang dibayangkan orang-orang Yahudi bahwa
mereka melihatnya.” Hakim berkata: “Sungguh kepala-kepala kalian semua
akan terbang lebih cepat dari merpati jika kalian tidak mendatangkan
cerita secara lengkap tentang anak ini. Kebingungan dan kekacauan apa
yang aku rasakan! Pergilah kalian dari sini.”
Anak buah Heradus
dan para mata-mata pergi, sedangkan ia masih duduk memikirkan masalah
tersebut. Tampaknya masalah itu sangat menggelisahkannya. Ia tidak
peduli dengan kedatangan agama baru kepada manusia tetapi yang
dipikirkannya adalah kekuasaan Romawi yang ia menjadi simbolnya.
Kemudian Heradus menetapkan untuk memanggil pemuka orang Yahudi dan
bertanya kepadanya tentang masalah ini. Para pengawalnya yang khusus
memanggil orang Yahudi itu. Tidak beberapa lama orang Yahudi itu ada di
depan hakim. Heradus berkata: “Aku ingin berbicara kepadamu tentang
suatu masalah yang sangat menggelisahkanku.” Pendeta Yahudi itu berkata:
“Aku ingin mengabdi kepadamu.”
Heradus berkata:
“Aku mendengar berita-berita yang saling berlawanan tentang anak kecil
yang bisa berbicara di masa buaiannya dan ia mengatakan bahwa ia akan
menyelamatkan kaumnya. Maka bagaimana berita yang sebenarnya tentang
itu?” Pendeta itu berkata—dan ia merasa bahwa pertanyaan itu sepertinya
berupa jebakan yang tidak diketahuinya secara pasti: “Apakah tuan yang
mulia peduli dengan agama Yahudi?” Heradus berkata dalam keadaan emosi:
“Aku tidak peduli sedikit pun selain kekuasaan Romawi. Jawablah
pertanyaanku wahai pendeta.” Pendeta Yahudi itu telah melihat Isa
berbicara di buaiannya. Ia memahami bahwa seandainya ia mengatakan itu,
maka ia akan mendapatkan penderitaan pada dirinya, maka ia lebih memilih
sedikit berbohong. Ia berkata kepada Heradus bahwa ia mendengar cerita
itu tetapi ia meragukannya.
Heradus berkata:
“Apakah benar agama kalian berbicara tentang kedatangan seorang
penyelamat bagi rakyat kalian?” Pendeta berkata: “Ini benar wahai tuan
yang mulai.” Heradus berkata: “Apakah kalian mengetahui ini adalah
persekongkolan menentang keamanan kerajaan Romawi? Apakah kalian
menyadari ini adalah bentuk pengkhianatan?” Pendeta berkata: “Aku harap
tuan membiarkan aku meluruskan suatu pemikiran yang sederhana. Berita
tentang hal itu adalah berita yang kuno. Berita ini diyakini ketika
rakyat menjadi tawanan di Bebel sejak ratusan tahun.”
Heradus berkata:
“Apakah memang di sana ada yang membenarkan berita ini? Sekarang, apakah
kamu secara pribadi membenarkannya? Apakah engkau melihat anak kecil
itu yang mereka katakan bahwa ia dilahirkan tanpa seorang ayah?” Pendeta
itu berkata: “Apakah ada seorang yang percaya wahai tuan yang mulia
jika dikatakan ada seorang anak yang lahir tanpa seorang ayah. Ini
adalah mimpi rakyat biasa.”
Heradus berkata:
“Tidak ada sesuatu yang mengusir tidur dari mata seorang penguasa selain
mimpi-mimpi rakyat. Pergilah wahai pendeta dan jika engkau mendengar
berita-berita, maka sampaikanlah kepadaku sebelum engkau sampaikan
kepada istrimu.” Belum lama pendeta itu pergi sehingga Heradus berpikir,
bagaimana seandainya pendeta itu berbohong. Ia menangkap benang
kebohongan pada kedua matanya. Ia mengetahui kebohongan ini karena ia
sendiri sangat pandai berbohong. Kemudian bagaimana cerita tiga orang
cerdik yang mereka mengikuti bintang? Apakah di sana terdapat
persekongkolan menentang Romawi yang tidak diketahuinya?
Heradus berteriak
di tengah-tengah pengawalnya dan memerintahkan mereka untuk menangkap
semua orang yang mendengar cerita ini atau ia akan melihat akibatnya.
Mula-mula dia memerintahkan untuk mencari gadis perawan yang melahirkan
anak itu dan membunuh setiap anak yang lahir di saat itu. Sementara itu,
Maryam keluar dari Palestina menuju ke Mesir. Sebelumnya, pada suatu
malam, datanglah kepadanya seseorang yang belum pernah dilihatnya dan
orang itu menyampaikan salam kepadanya serta menyerukannya dan sambil
berkata: “Bawalah anakmu wahai Maryam dan keluarlah menuju Mesir.”
Dengan nada ketakutan Maryam bertanya, “Mengapa? Bagaimana aku keluar
menuju ke Mesir; dan bagaimana aku bisa mengenali jalan?” Orang asing
itu menjawab, “Keluarlah engkau niscaya Allah SWT akan melindungimu.
Sesungguhnya Hakim Romawi mencari anakmu dan ingin membunuhmu.”
Maryam bertanya:
“Kapan aku keluar?” Orang asing itu menjawab: “Sekarang juga. Janganlah
engkau khawatir sedikit pun karena engkau keluar bersama seorang Nabi
yang mulia. Semua nabi diusir oleh kaumnya dari negeri mereka dan rumah
mereka. Demikianlah hukum kehidupan. Kejahatan selalu berusaha untuk
menyingkirkan kebaikan tetapi pada akhirnya, kebaikan akan kembali
menduduki singgasananya. Keluarlah wahai Maryam.” Akhirnya, Maryam pun
pergi menuju ke Mesir. Maryam melalui gurun Saina’ bersama suatu kafilah
yang menuju Mesir. Maryam berjalan membawa Isa di jalan yang sama yang
pernah dilalui Nabi Musa di mana ditampakkan kepada Nabi Musa api yang
suci dan beliau dipanggil dari sisi thur al-Aiman. Setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Maryam sampai di Mesir. Mesir yang
dipenuhi dengan kebaikan, kemuliaan, kebudavaan klasik serta cuacanya
yang stabil mempakan tempat yang terbaik untuk pertumbuhan Isa as.
Al-Masih tumbuh
dan berkembang serta menjalani masa kecilnya di Mesir. Kemudian
datanglah kepada Maryam orang asing yang telah memerintahkannya untuk
meninggalkan Palestina. Kali ini, ia memerintahkannya untuk kembali ke
Palestina. Orang asing itu berkata kepadanya: “Raja yang lalim telah
mati, maka kembalilah bersama anakmu wahai Maryam. Telah datang
kesempatan emas bagi Isa untuk menduduki singgasananya. Isa akan menjadi
penyayang orang-orang fakir dan orang-orang yang benar. Kembalilah
wahai Maryam.” Maryam pun kembali. Dalam perjalanan Maryam melalui
banyak mata air di sungai Jordania.
Isa pun tumbuh
menjadi dewasa dan mencapai masa mudanya. Isa keluar dari rumahnya dan
menuju tempat penyembahan kaum Yahudi. Saat itu bertepatan dengan hari
Sabtu. Di sana tidak ada satu rumah pun dari rumah kaum Yahudi yang
dapat menyalakan api atau memadamkannya pada hari Sabtu, atau mengambil
buah di hari itu. Dilarang bagi seorang wanita untuk membikin adonan
roti atau seseorang anak kecil mencuci anjingnya. Nabi Musa telah
memerintahkan untuk menghormati hari Sabtu dan hanya mengkhususkanya
untuk beribadah kepada Allah SWT.
Terdapat hikmah
di balik penghormatan hari Sabtu sehingga hari Sabtu menjadi hari yang
sangat disucikan di kalangan orang-orang Yahudi. Mereka melaksanakannya
dengan berbagai macam tradisi dan mereka mencurahkan segala konsentrasi
mereka untuk menjaga hari Sabtu dan tidak meremehkannya. Sebab, mereka
meyakini bahwa hari Sabtu adalah hari yang dijaga dari langit sebelum
Allah menciptakan manusia sebagaimana mereka percaya bahwa Bani Israil
telah diberikan pilihan kepada satu jalur saja, yaitu menjaga hari
Sabtu. Mereka bangga karena mereka dapat menjaganya meskipun hal itu
menyebabkan mereka kalah di kancah peperangan atau mereka tertawan di
tangan musuh. Bahkan saking ketatnya mereka mempertahankan kehormatan
hari Sabtu sampai-sampai mereka menambah-nambahi berbagai macam larangan
di hari Sabtu. Majelis kaum Yahudi menetapkan ratusan larangan yang
tidak boleh dilakukan di hari Sabtu, seseorang dilarang untuk memakai
gigi palsu di hari Sabtu. Seorang yang sakit dilarang untuk memakai
perban atau memakai minyak di tempat yang sakit pada hari Sabtu atau
memanggil dokter. Dilarang pula di hari Sabtu untuk menulis dua huruf
abjad; dilarang juga untuk mempertahankan diri pada hari Sabtu; dilarang
untuk panen dan belajar di hari Sabtu. Kemudian, bepergian di hari
Sabtu diharuskan untuk tidak lebih dari dua ribu yard. Dilarang juga
dihari Sabtu untuk membawa sesuatu ke luar rumah.
Jadi, banyaknya
syariat, hukum serta larangan-larangan biasanya diikuti dengan banyaknya
keburukan atau paling tidak membantu terciptanya keburukan. Setiap
timbul suatu larangan, maka timbul bersamanya cara untuk menghindar
darinya. Demikianlah, kehidupan kaum Yahudi dipenuhi dengan kemunafikan
yang luar biasa di mana secara lahiriah mereka menampakkan penghormatan
terhadap hari Sabtu, tetapi secara batiniah mereka berusaha menodai
kehormatan dengan berbagai macam cara.
Meskipun kelompok
Farisiun bertanggung jawab terhadap tugas pelaksanaan syariat dan
mengawasinya dengan banyak mendapatkan jarninan-jaminan, maka kita akan
melihat bahwa mereka siap untuk menciptakan berbagai rekayasa dan tipu
daya yang memungkinkan mereka untuk menghindar dari hukum-hukum syariat
di saat yang tepat. Saat yang tepat adalah saat di mana syariat-syariat
tersebut bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka atau dapat
menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan mata pencaharian yang
haram yang sudah siap masuk pada kantong mereka. Misalnya, terdapat
kaidah syariat yang menetapkan perjalanan pada hari Sabtu tidak boleh
melebihi dua ribu yard. Namun orang-orang Farisiun mengadakan walimah di
mana mereka mengundang orang-orang untuk menghadiri acara tersebut pada
hari Sabtu, padahal tempat diadakannya acara itu berjarak lebih dari
dua ribu yard dari rumah mereka. Lalu, bagaimana mereka dapat
melaksanakan hal tersebut? Sangat mudah sekali. Mereka meletakkan pada
sore hari Sabtu sebagian makanan yang berjarak dua ribu yard dari rumah
mereka lalu setelah itu mereka mendirikan suatu tempat tinggal di mana
mereka dapat berjalan setelahnya dan menempuh dua ribu yard yang lain.
Dari sini mereka dapat menambah jarak yang mereka inginkan. Begitu juga
agar mereka menghindar dari larangan membawa sesuatu ke luar rumah pada
hari Sabtu, maka mereka membuat tipu daya yang lain. Yaitu mereka
mendirikan gerbang-gerbang pintu dan jendela di berbagai jalan sehingga
seluruh kota seperti rumah besar yang dimungkinkan bagi mereka untuk
membawa segala sesuatu dan bergerak di dalamnya.
Contoh lain yang
menunjukan bagaimana orang-orang Yahudi mempermainkan syariat sedangkan
mereka mengklaim menjaganya adalah, bahwa syariat Musa menetapkan agar
seorang anak menginfaki kedua orang tuanya saat mereka menginjak usia
tua dan membutuhkannya. Tetapi kaum Farisiun memberikan kesempatan
kepada anak-anak untuk lari dan menghindar dari tanggung jawab ini
dengan suatu tipu daya yang sederhana. Ketika seorang anak dituntut oleh
kedua orang tuanya untuk memberi nafkah, maka ia pergi ke para pendeta
dan bersepakat kepada mereka untuk mewakafkan semua hartanya dan
kekayaannya kepada haikal, yaitu tempat sembahan kaum Yahudi.
Saat itu kedua orang tuanya tidak mampu mengambil sesuatu pun darinya.
Ketika mereka berdua telah putus asa dan tidak lagi menuntut padanya
untuk memberi nafkah, maka semua harta kekayaannya akan dikembalikan
kepadanya oleh para pendeta, dengan catatan hendaklah ia memberikan
bagian tertentu dari hartanya kepada para pendeta itu. Demikianlah yang
terdapat dalam Injil Mata.
Di tengah-tengah
suasana kebodohan pemikiran yang luar biasa ini, juga terdapat sikap
keras kepala dan kejumudan berpikir yang mengelilingi kaum Yahudi.
Terdapat tujuh tingkat kesucian dan dua puluh enam salat yang harus
mereka lakukan saat mereka membasuh tangan sebelum memakan makanan,
namun mereka menganggap bahwa meniadakan pembacaan salat-salat sebagai
bentuk pembunuhan terhadap jiwa dengan cara bunuh diri dan tercegah dari
kehidupan abadi. Demikianlah kekerasan sikap masyarakat Yahudi yang
menunjukkan bahwa moral mereka telah rusak dan dipenuhi dengan
kemunafikan yang tiada taranya.
Sementara itu,
Isa berjalan menuju tempat beribadah. Orang-orang berjalan di
sekelilingnya. Mereka tampak membanggakan pakaian-pakaian yang berwarna
dan berharga sedangkan Isa berjalan dengan memakai baju putih dan
menampakkan kezuhudannya. Rambut Isa tampak lembut yang mencapai kedua
bahunya dan tampak ia basah terkena air awan yang menurunkan gerimis.
Kemudian kedua kakinya berjalan di atas tanah sehingga tanah itu
dipenuhi dengan bau harum yang tidak diketahui sumbernya. Baju yang
dipakai oleh Isa terbuat dari bulu domba yang sangat sederhana dan
kasar. Meskipun hari itu hari Sabtu, Isa memetik buah di suatu kebun dan
mengambil dua buah yang beliau berikan kepada anak kecil yang fakir dan
lapar. Tindakan semacam ini menurut kepercayaan Yahudi dianggap sebagai
tindakan yang menentang agama Yahudi.
Isa mengetahui
bahwa menjalankan agama yang hakiki bukan terletak pada ketaatan
eksternal sementara hati jauh dari sikap rendah diri. Oleh karena itu,
Isa mencabut buah dan memberikan makan kepada manusia pada hari Sabtu.
Beliau menyalakan api untuk wanita-wanita tua sehingga mereka tidak mati
kedinginan.
Isa sering
mengunjungi tempat sesembahan orang Yahudi. Isa berdiri di dalamnya dan
mengamati para pendeta dan manusia yang hilir mudik di sekitarnya.
Sesampainya Isa di tempat sembahan, ia berdiri di dalamnya. Isa
mengamat-amati apa yang ada di dalamnya. Dinding-dinding tempat
beribadah itu terbuat dari kayu gahru yang memiliki bau yang harum. Di
samping itu, terdapat kelambu-kelambu yang terbuat dari kain-kain yang
mengagumkan yang dicampur dengan emas. Juga terdapat lampu-lampu yang
terulur dari atap dan juga ada lilin-lilin yang memenuhi ruangan dengan
cahaya. Meskipun demikian, kegelapan menyelimuti hati orang-orang yang
ada di situ.
Nabi Isa berdiri
cukup lama di tempat penyembahan itu. Setiap kali ia memutarkan
wajahnya, ia mendapati para pendeta di sana. Terdapat dua puluh ribu
pendeta. Nama-nama mereka tercatat dalam haikal. Mereka adalah
kaum Waliyun yang memakai saku-saku yang besar yang di dalamnya ada
kitab-kitab syariat. Sedangkan kaum Farisiun, mereka memakai pakaian
yang lebar yang sisi-sisinya tertenun dengan emas. Mereka adalah
pembantu haikal yang resmi dengan memakai baju-baju mereka yang
putih. Adapun kaum Shaduqiyun adalah kelompok para pendeta aristokrat
yang bersekutu dengan penguasa di mana mereka memperoleh kekayaan
melalui persekutuan ini. Nabi Isa memperhatikan bahwa jumlah pengunjung haikalita lebih
sedikit daripada jumlah para pendeta dan para tokoh agama. Tempat
penyembahan itu dipenuhi dengan kambing dan merpati yang dibeli oleh
para pengunjung tempat penyembahan itu. Mereka menyerahkannya sebagai
kurban kepada Allah. Yaitu kurban yang disembelih di dalam tempat
persembahan di atas tempat penyembelihan. Alhasil setiap langkah yang
diayunkan oleh para pejalan di tempat penyembahan itu akan menghasilkan
uang.
Di tempat
penyembahan Yahudi itulah tersingkap hakikat kehidupan kaum Yahudi.
Nilai satu-satunya yang disembah oleh manusia di zaman itu adalah uang.
Jadi, kemewahan materi atau kekayaan adalah nilai satu-satunya yang
karenanya manusia akan bergulat satu sama lain. Dalam hal itu, tidak ada
perbedaan antara tokoh-tokoh pembawa ajaran syariat dengan
manusia-manusia biasa. Kaum Shaduqiyun dan kaum Farisiun bekerja sama di
antara mereka di dalam haikal itu seakan-akan mereka di dalam
suatu pasar di mana mereka memanfaatkannya untuk diri mereka dengan
terus mencari kurban-kurban di dalamnya. Seringkali kaum Shaduqiyun dan
Farisiun berseteru dalam persoalan syariat dan hukum. Demikian juga,
mereka berseteru dalam menentukan kurban yang harus mereka raih di haikal itu. Kaum Farisiun berpendapat bahwa hewan-hewan kurban itu harus dibeli dari harta haikal sedangkan kaum Shaduqiyun menganggap bahwa harta dari haikal
adalah hak mereka. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa hewan
kurban itu harus dibeli dengan jumlah tersendiri. Begitu juga kaum
Farisiun mewajibkan untuk membakar hewan yang disembelih di atas tempat
penyembahan, sedangkan kaum Shaduqiyun mereka mengambil hewan sembelihan
ini untuk diri mereka sendiri.
Di dalam Talmud
disebutkan bahwa kaum Shaduqiyun menjual merpati di toko-toko mereka
yang mereka miliki. Mereka sengaja memperbanyak kesempatan-kesempatan
yang diharuskan di dalamnya untuk mengorbankan burung-burung merpati
sehingga harga seekor burung merpati saja mencapai beberapa Dinar.
Melihat hal itu, salah satu tokoh Farisiun yaitu Sam’an bin Amlail
mengeluarkan fatwa yang intinya mengurangi kesempatan-kesempatan yang
diharuskan di dalamnya seseorang menyerahkan merpati sebagai kurban.
Setelah itu, harga burung cuma mencapai seperempat Dinar. Pergulatan
antara kedua kelompok itu mendatangkan pukulan berat bagi pemilik toko
yang menyimpan burung merpati terutama anak-anak dari kepala pendeta.
Nabi Isa
memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya; Nabi Isa melihat kaum
fakir yang tidak mampu membeli hewan kurban sehingga mereka tidak mampu
berkurban; Nabi Isa melihatbagaimana para pendeta memperlakukan mereka
dan memangsa mereka seperti serigala yang buas. Nabi Isa berpikir di
dalam dirinya, mengapa binatang-binatang itu mereka bakar lalu dagingnya
menjadi asap di udara, padahal di sana terdapat ribuan kaum fakir yang
mati kelaparan? Mengapa mereka mengira bahwa Allah SWT ridha ketika
tempat penyembelihan dilumuri dengan darah, lalu hewan kurban itu dibawa
ke rumah-rumah para pendeta dan toko-toko mereka untuk dijual? Mengapa
orang-orang fakir banyak berhutang dan mengeluarkan banyak uang untuk
membeli binatang-binatang kurban? Mengapa binatang-binatang kurban itu
harus dimiliki dan hanya dirawat oleh para pendeta lalu apa yang mereka
lakukan dengan uang-uang ini? Lalu, di manakah tempat orang-orang fakir
di haikal itu? Bukankah hal yang aneh ketika seseorang memasuki rumah dengan keharusan membawa uang?
Nabi Isa pergi
dari tempat penyembahan itu dan ia meninggalkan kota menuju gunung. Dada
Nabi Isa dipenuhi dengan kecemburuan yang suci terhadap yang Maha
Benar. Wajahnya tampak semakin pucat ketika melihat berbagai macam
kejahatan memenuhi dunia. Nabi Isa berdiri di atas sebuah bukit dan
beliau mulai melakukan salat. Tetesan-tetesan air mata mulai berlinang
dari pipinya dan jatuh ke bumi. Nabi Isa mulai merenung dan menangis. Di
sana terdapat bunga yang nyaris mati karena kehausan lalu ketika ia
mendapatkan tetesan air mata al-Masih, maka bunga itu mekar kembali dan
mendapatkan kehidupan. Tetesan air mata al-Masih menyelamatkannya,
sebagaimana beliau akan menyelamatkan manusia dengan dakwahnya. Di malam
yang penuh berkah ini pula, dua orang Nabi yang mulia meninggalkan
bumi, yaitu Nabi Yahya dan Nabi Zakaria. Kedua Nabi itu dibunuh oleh
penguasa. Sejak kepergian mereka berdua, bumi kehilangan banyak dari
kebaikan. Pada malam itu juga, turunlah wahyu kepada Isa bin Maryam.
Allah SWT memutuskan perintah-Nya agar ia memulai dakwahnya.
Nabi Isa menutup
lembaran halus dari kehidupannya yaitu lembaran yang penuh dengan
tafakur dan ibadah. Beliau memulai perjalanannya yang berat dan penuh
tantangan serta penderitaan: beliau mulai berdakwah di jalan Allah SWT;
beliau mulai membangun kerajaan yang tegak berdasarkan kerendahan hati
dan cinta. Kerajaan yang penguasanya bertujuan untuk membebaskan dan
menyucikan ruh. Kerajaan yang memancarkan sikap rendah diri dan cinta.
Nabi Isa ingin menyelamatkan ruhani. Ajaran Nabi Isa berdasarkan
keimanan terhadap hari kiamat dan kebangkitan. Nilai-nilai dan pemikiran
tersebut tidak ditemukan dalam kehi-dupan orang-orang Yahudi.
Syariat Musa
menetapkan pemberlakuan hukum qisas: barangsiapa yang memukulmu di pipi
sebelah kananmu, maka pukullah pipi sebelah kanannya. Lalu bagaimanakah
orang-orang Yahudi menerapkan hukum qisas tersebut? Jika yang dipukul
mampu untuk menghancurkan rumah orang yang memukul, maka ia tidak perlu
merasa puas hanya sekadar memukul pipi sebelah kanannya, namum jika ia
tidak mampu, maka hendaklah ia memukul pipi sebelah kanannya. Namun
boleh jadi hatinya dipenuhi dengan dendam karena ia tidak dapat
menghancurkan rumahnya.
Jadi, kebencian
adalah pelabuhan tempat bersinggahnya syariat Musa. Meskipun beliau
adalah seorang Nabi yang merupakan cermin cinta Ilahi yang besar namun
syariatnya kini berada di bawah kekuasaan hati-hati yang mati, yaitu
hati-hati yang penuh dengan dendam dan kebencian. Lalu, apa yang
dilakukan Nabi Isa terhadap semua ini? Allah SWT telah mengutusnya dan
memperkuat Taurat yang dibawa oleh Musa sebagaimana Allah SWT
menurunkannya kepada Musa. Jadi, seorang nabi tidak menghancurkan tugas
nabi sebelumnya. Para nabi bagaikan satu mata rantai yang tujuannya
adalah satu, yaitu menciptakan kesucian dan mempertahankan kebenaran
serta mengesakan Allah SWT.
Kemudian apa yang
dilakukan Nabi Isa terhadap syariat qisas cersebut? Yang jelas,
tindakan yang dilakukkan oleh Nabi Isa murni dari ilham yang didapatnya
dari Allah SWT. Nabi Isa mengem-balikan kaum kepada tujuan asli dari
syariat. Nabi Isa mengembalikan mereka kepada hikmah syariat yang asli.
Nabi Isa mengembalikan mereka kepada cinta. Nabi Isa tidak mengatakan
sesuatu pun kepada orang yang memukul pipi sebelah kanannya. Nabi Isa
tidak berusaha untuk memukul pipi sebelah kanannya. Al-Masih justru akan
membalikkan pipi sebelah kirinya. Inilah syariat Nabi Isa yang tidak
berbeda sedikit pun dengan syariat Nabi Musa. Ia merupakan kedalaman
yang mengagumkan dari kedalaman syariat Nabi Musa. Nabi Isa ingin
menetapkan kepada kaum di sekelilinginya tentang sesuatu yang penting.
Nabi Isa ingin memberitahu mereka bahwa syariat bukan mengajari kalian
untuk meletakkan dendam pada diri kalian lalu kalian memukul lawan
kalian. Syariat yang hakiki adalah, hendaklah kalian menebar kasih
sayang, pemaaf, dan cinta.
Terdapat banyak
binatang-binatang buas di hutan. Binatang-binatang itu mencintai diri
mereka sendiri. Mereka bermusuhan dan saling membunuh demi makanan dan
minuman. Mereka memberikan makan kepada anak-anaknya. Perbedaan antara
manu-sia dan binatang adalah perbedaan pada tingkat cinta. Hewan tidak
akan mampu melampui derajat cintanya kepada makhluk yang lain. Atau
dengan kata lain, hewan tidak dapat membagi cintanya kepada jenis yang
lain. Sedangkan manusia mampu melakukan hal itu. Di situlah manusia
mampu dapat mencapai kemuliaannya dan kemanusiaannya. Al-Masih
memberitahu kaumnya bahwa manusia tidak akan menjadi manusia sempurna
kecuali setelah ia mencintai orang lain sebagaimana ia mendntai dirinya
sendiri.
“Aku mendengar
bahwa dikatakan, hendaklah engkau mencintai orang yang dekat denganmu
dan membenci musuhmu, sedangkan aku berkata kepada kalian, cintailah
musuh kalian dan doakanlah orang yang melaknati kalian. Berbuat baiklah
kepada pembenci kalian dan salatlah untuk orang-orang berbuat buruk
kepada kalian.” (Injil Mata).
Dakwah Nabi Isa
datang dan menghapus syariat Nabi Musa dalam bentuk eksternal. Jika kita
berusaha membandingkan dua syariat tersebut dalam bentuk yang
sederhana, maka pada hakikat-nya dakwah Nabi Isa bertujuan untuk
menghapus bid’ah yang dilakukan oleh kaum Farisiun dan Shaduqiun
terhadap syariat Nabi Musa dan menunjukkan hakikat syariat ini dan
tujuan-tujuannya yang tinggi. Di tengah-tengah masa materialisme yang
sangat luar biasa dan dunia dipenuhi dengan penyembahan terhadap emas
dan tersebarnya berbagai macam kejahatan, munculah dakwah al-Masih
sebagai reaksi ideal yang menunjukkan ketinggian dan kesucian. Al-Masih
mengetahui bahwa ia mengajak manusia untuk menciptakan perilaku ideal
dalam kehidupan; Al-Masih menyadari bahwa dakwahnya penuh dengan
idealisme tetapi idealisme ini sendiri pada saat yang sama merupakan
solusi satu-satunya untuk mengobati kehidupan dari kesengsaraan dan
penyakit-penyakit menular; Al-Masih mengetahui bahwa tidak semua manusia
tidak mampu untuk mencapai puncak yang diisyaratkannya. Tetapi paling
tidak, hendaklah setiap orang berusaha sedikit mendaki sehingga ia
selamat.
Dakwah Nabi Isa
terdiri dari kesudan yang mengagumkan; dakwah Nabi Isa bertujuan untuk
menyelamatkan ruh atau dakwah yang dapat dianggap sebagai pedoman
perilaku individu, bukan suatu system perincian-perincian tersebut dan
hanya memfokuskan kepada sumber utama, yaitu ruh. Isa ingin
raenghidupkan ruhani manusia dan membimbingnya untuk mencapai cahaya
Sang Pencipta. Oleh karena itu, Isa datang dengan didukung oleh ruhul kudus. Ruhul kudus adalah
Jibril. Kita tidak mengetahui bagaimana Allah SWT memperkuat Isa dengan
Ruh Kudus: apakah Jibril menemaninya dan menyertainya sepanjang
pengutusannya? Jibril turun kepada nabi untuk menyampaikan risalah atau
membawa mukjizat atau justru mendatangkan hukuman atas kaumnya, tetapi
ia tidak bersama mereka sepanjang waktu. Oleh karena itu, apakah memang
Jibril menemani Isa sehingga beliau diangkat ke langit?
Hampir saja hati
menjadi tenang dengan tafsiran ini karena dalam kehidupan Nabi Isa
terdapat sisi-sisi malaikat di mana beliau mempunyai kemampuan yang luar
biasa yang berupa mukjizat-mukjizat. Bahkan kemampuan beliau sampai
pada batas menghidupkan orang-orang mati dengan izin Allah SWT. Begitu
juga, beliau memiliki kemampuan yang luar biasa di mana beliau dengan
hanya meniupkan pada suatu tanah, maka tanah itu terbentuk menjadi
burung dan ia terbang dengan izin Allah SWT. Selain itu, Nabi Isa sama
sekali tidak mendekati wanita sepanjang hidupnya sehingga beliau
diangkat oleh Allah SWT. Beliau tidak menikah. Ini juga sifat malaikat
di mana kita saksikan bahwa sebagian para nabi yang diutus oleh Allah
SWT dan memiliki beberapa wanita bahkan kitab-kitab Yahudi menyebutkan
bahwa jumlah istri-istri nabi mereka Sulaiman misalnya, mencapai seribu
wanita.
Isa hidup dalam
keadaan tenggelam dalam ibadah seperti anak dari bibinya, yaitu Yahya.
Jika Yahya khusuk beribadah dan tinggal di gunung dan gurun bahkan dia
menginap di gua, maka hal itu adalah hal yang alami baginya, sedangkan
Isa hidup justru di tengah-tengah masyarakat kota. Persoalannya adalah,
bukan hanya Isa tidak terkait hubungan dengan seorang wanita dan bukan
hanya mukjizat-mukjizat yang diperolehnya yang luar biasa yang
berhubungan dengan ruh, tetapi yang lebih dari itu adalah, bahwa beliau
didukung oleh ruhul kudus sepanjang masa dakwahnya. Tentu itu adalah nikmat yang tak seorang pun dari para nabi sebelumnya diberi. Allah SWT berfirman:
“(Ingatlah),
ketika Allah mengatakan: ‘Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan roh kudus.
Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan
sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis,
hikmah, Taurat, dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk
dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian
kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya)
dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang
buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan
seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari
kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku
menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala
kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu
orang-orang kafir di antara mereka berkata: ‘Ini tidak lain hanya sehir
yang nyata.’ Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa
yang setia: ‘Berimanlah kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.’ Mereka
nienjawab: ‘Kami telah beiiman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).’” (QS. al-Maidah: 110-111)
Ayat-ayat
tersebut menyebutkan lima mukjizat Nabi Isa. Pertama, bahwa beliau mampu
berbicara dengan manusia saat beliau masih di buaian. Kedua, beliau
diajari Taurat dan Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa telah
tersembunyi dan telah mengalami perubahan yang dilakukan oleh
orang-orang cerdik dari kaum Yahudi. Ketiga, beliau membentuk tanah
seperti burung kemudian meniupkannya lalu tanah itu menjadi burung.
Keempat, beliau mampu menghidupkan orang-orang yang mati. Kelima, beliau
mampu menyembuhkan orang yang buta dan orang yang belang. Terdapat
mukjizat yang keenam yang disebutkan dalam Al-Qur’an al-Karim:
“(Ingatlah),
ketika pengikut-pengikut Isa berkata: ‘Hai Isa putra Maryam,
bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?’ Isa
menjawab: ‘Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orangyang
beriman.’ Mereka berkata: ‘Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya
tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar
kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan
itu.’ Isa putra Maryam berdoa: ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya
kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi
hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang
datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah
kami dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.’ Allah berfirman:
‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa
yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya
Aku ahan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan
kepada seorang pun di antara umat manusia.’” (QS. al-Maidah: 112-115)
Mukjizat yang
keenam itu adalah turunnya makanan dari langit karena permintaan
Hawariyin. Juga terdapat mukjizat yang ketujuh yang terdapat surah Ali
‘Imran yaitu beliau diberi kemampuan melihat hal-hal yang gaib melalui
panca inderanya meskipun beliau tidak menyaksikannya secara langsung.
Oleh karena itu, beliau memberitahu kepada sahabat-sahabatnya dan
murid-muridnya apa yang mereka makan dan apa yang mereka simpan di
rumah-rumah mereka:
“Dan
aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di
rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda
(kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu benar-benar beriman. ” (QS. Ali ‘Imran:: 49)
Inilah mukjizat
Nabi Isa yang ketujuh yang didahului oleh mukjizat kelahirannya yang
sangat mengagumkan. Beliau lahir tanpa seorang ayah, lalu diikuti
mukjizat berikutnya di mana beliau diangkat dari bumi ke langit ketika
penguasa yang lalim berusaha menyalibnya. Barangkali pembaca akan
bertanya-tanya: mengapa mukjizat-mukjizat seperti ini diperoleh oleh
Nabi Isa? Kita mengetahui bahwa mukjizat adalah hal yang luar biasa yang
Allah SWT berikan kepada nabi-Nya. Tetapi pemberian itu menjadi sempuma
jika mukjizat itu disesuaikan dengan keadaan zaman diutusnya nabi
tersebut sehingga mukjizat itu sangat berpengaruh dalam jiwa kaum dan
mampu menggoncangkan hati mereka dan menjadikan mereka berimana kepada
pemilik mukjizat ini. Jadi, mukjizat menjadi suatu hal yang luar biasa.
Oleh karena itu, Allah SWT berkehendak agar mukjizat ini sesuai dengan
zaman diutusnya nabi tersebut.
Jadi, setiap
mukjizat yang dibawa oleh rasul selalu berlain-lainan. Nabi Saleh diutus
di tengah-tengah kaum yang melihat bagaimana seekor unta yang
melahirkan dari gunung atau mampu membelah batu-batuan gunung. Sedangkan
Nabi Musa diutus di tengah-tengah kaum yang gemar memainkan sihir
sehingga sihir mendapat tempat istimewa. Oleh karena itu, mukjizat yang
dibawa oleh Nabi Musa bentuk lahirnya seakan-akan menyerupai sihir,
tetapi pada hakikatnya ia justru menjatuhkan sihir. Mukjizat itu berupa
tongkat yang menjadi ular dan kemudian ular itu memakan tongkat-tongkat
para tukang sihir.
Lain
halnya dengan Nabi Isa, beliau diutus di tengah-tengah kaum materialis
yang mengingkari ruh dan hari kebangkitan. Mereka menduga bahwa manusia
hanya sekadar tubuh tanpa ruh. Mereka adalah kaum yang meyakini bahwa
darah makhluk adalah ruhnya atau jiwanya. Taurat yang ada di tangan
Yahudi menyebutkan bahwa tafsir an-Nafst adalah darah. Disebutkan di
dalamnya: “Janganlah engkau memakan darah dari tubuh manusia karena jiwa setiap tubuh adalah darahnya. “
Nabi Isa diutus
di tengah-tengah kaum yang mereka disesatkan oleh falsafah yang dasarnya
mengatakan bahwa penciptaan alam memiliki sumber pertama, seperti sebab
dari akibat. Jadi, alam memiliki wujud yang mendahuluinya. Di
tengah-tengah masa yang niaterialis ini, di mana ruh diingkari, maka
secara logis mukjizat Nabi Isa terkait dengan usaha menunjukkan alam
ruhani. Demikianlah Isa dilahirkan tanpa seorang ayah. Mukjizat ini
cukup untuk membungkam kaum yang mengatakan bahwa alam memiliki sumber
pertama. Jelas bahwa alam tidak memiliki wujud yang mendahuluinya. Kita
berada di hadapan Sang Pencipta yang mengadakan sistem bagi segala
sesuatu dan menjadikan sebab bagi segala sesuatu. Dia menjadikan proses
kelahiran anak berasal dari hubungan laki-laki dan wanita, tetapi
Pencipta ini sendiri menciptakan sebab-sebab dan sebab-sebab itu tunduk
kepadanya sedangkan Dia tidak tunduk kepada sebab-sebab itu. Dengan
kehendak-Nya yang bebas, Dia mampu memerintahkan kelahiran anak tanpa
melalui ayah sehingga anak itu lahir. Dan, kelahiran Isa pun terjadi
tanpa seorang ayah. Cukup ditiupkan ruh kepadanya:
“Lalu
Kami tiupkan ke dalamnya (tubuhnya) roh dari Kami dan Kami jadikan dia
dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. ” (QS. al-Anbiya’: 91)
Kelahiran Isa
membawa mukjizat yang luar biasa yang menegaskan dua hal: pertama,
kebebasan kehendak Ilahi dan ketidak terkaitannya dengan sebab karena
Dia adalah Pencipta sebab-sebab, kedua pentingnya ruh dan menjelaskan
kedudukannya serta nilainya di antara kaum yang hanya mementingkan fisik
sehingga mereka mengingkari ruh. Seandainya kita mengamati sebagian
besar mukjizat Nabi Isa, maka kita akan melihatnya dan mendukung
pandangan tersebut. Misalnya, mukjizat Nabi Isa yang mampu membentuk
tanah seperti burung lalu beliau meniupkannya sehingga tanah itu menjadi
burung. Mukjizat ini pun menguatkan adanya ruh. Semula ia berupa tanah
yang bersifat fisik yang tidak dapat disifati dengan kehidupan tetapi
ketika Nabi Isa meniupnya, maka segenggam tanah itu menjadi burung yang
memiliki kehidupan, Sungguh sesuatu yang bukan fisik masuk ke dalamnya.
Sesuatu itu adalah ruh. Ruh itu masuk ke dalam tanah sehingga ia menjadi
burung. Jadi, ruh adalah nilai yang hakiki, bukan jasad atau fisik. Di
samping itu, juga ada mukjizat menghidupkan orang-orang yang mati.
Bukankah ini juga menunjukkan adanya ruh dan adanya hari akhir atau hari
kebangkitan. Orang yang mati telah ditelan oleh bumi di mana anggota
tubuhnya telah hancur berantakan sehingga ia hampir menjadi
tulang-belulang yang hancur lalu al-Masih memanggilnya dan tiba-tiba dia
hidup kembali dan bangkit dari kematiannya.
Seandainya orang
yang mati hanya berupa fisik sebagaimana dikatakan orang-orang Yahudi,
maka ia tidak akan mampu bangkit dari kematiannya karena fisiknya telah
hancur tetapi mayit itu mampu bangkit dari kematian. Jasadnya kembali
hidup dan ia bangkit dari kuburannya serta berbicara. Jadi, ruh adalah
nilai yang hakild. bukan fisik atau jasad. Kalau begitu, di sana
terdapat hari kebangkitan dan hari kiamat. Hal ini bukanlah mustahil
sebagaimana yang dikatakan orang-orang Yahudi, karena setelah kematian
jasad menjadi tanah yang berterbangan di udara. Itu bukan mustahil
tetapi mungkin-mungkin saja. Dalil dari hal itu adalah, kebangkitan
orang-orang yang telah mati di hadapan mata kepala mereka sendiri. Nabi
Isa telah menghidupkan mereka agar kaumya vakin bahwa kiamat fisik akan
terjadi dari kematian dan itu adalah benar dan bahwa hari akhir adalah
benar.
Juga terdapat
mukjizat yang lain, yaitu beliau mampu memberi tahu kaumnya tentang apa
yang mereka simpan di rumah-rumah mereka, tanpa terlebih dahulu beliau
masuk ke rumah mereka atau dapat bocoran dari seseorang. Mukjizat ini
menetapkan bahwa panca indera bukanlah nilai yang hakiki. Nabi Isa tidak
melihat apa yang ada di rumah mereka tetapi ruhnya mampu untuk melihat
dan berbicara atau memberitahu mereka. Jadi, ruhani adalah nilai yang
hakiki, bukan fisik. Demikianlah mukjizat-mukjizat Isa datang untuk
memberitahukan pentingnya ruh dan kebebasan kehendak Ilahi.
Mukjizat-mukjizat Nabi Isa—sebagaimana dikatakan oleh guru kami Muhammad
Abu Zahra’—termasuk dari jenis propagandanya dan sesuai dengan tujuan
risalahnya, yaitu dakwah untuk mendidik ruhani dan keimanan kepada hari
kebangkitan dan hari kemudian, dan di sana ada kehidupan lain di mana
seseorang yang berbuat baik akan dibalas kebaikannya dan orang yang
berbuat buruk akan dibalas keburukannya.
Lalu, apakah
mukjizat menghidupkan orang-orang yang mati masih memberikan celah
kepada para pengingkar akhirat untuk terus mengingkarinya atau
memberikan ruangan kepada penentang hari kebangkitan untuk meneruskan
penentangannya? Kami telah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi telah
diracuni dengan pikiran ketidakpercayaan atau penentangan pada hari
akhirat serta tidak beriman kepada hari akhir, maka menghidupkan
orang-orang yang mati yang dibawa atau dikuasai oleh Isa menjadi suatu
pukulan telak bagi mereka yang membuat mereka beriman, tetapi mereka
masih menentang tanda-tanda kebesaran Allah.
Nabi Isa menutup lembaran kehidupannya yang lembut dan dan ia mulai berdakwah di jalan Allah. Beliau didukung oleh ruhul kudus dan
mukjizat-mukjizat yang luar biasa. Al-Qur’an al-Karim menceritakan
kepada kita bahwa esensi dakwah al-Masih tidak banyak berubah dari
esensi dakwah para nabi sebelumnya, yaitu menyuarakan Islam yang intinya
adalah menebarkan tauhid yang sempurna hanya serta menyerahkan diri
kepada Allah: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian.”
Al-Qur’an
memberitahu kita bahwa yang mengatakan kalimat tersebut adalah Isa.
Kalimat tersebut adalah kalimat yang sama yang pernah disampaikan
seluruh nabi, meskipun nama mereka, sifat mereka, mukjizat mereka, baju
mereka, bahasa mereka, usia mereka, bentuk mereka, dan warna kulit
mereka tidak sama. Mereka semua bersepakat untuk menyuarakan Islam dan
hanya menyerahkan diri kepada Allah SWT serta beriman bahwa Allah SWT
adalah Tuhan mereka dan Tuhan alam semesta. Tiada sekutu bagi-Nya dan
tiada yang setara dengan-Nya. Dia Maha Esa yang tidak beranak dan tidak
diperanakkan dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Isa tidak
mengatakan persoalan tauhid lebih banyak atau lebih sedikit dari apa
yang pemah disampaikan oleh para nabi. Al-Qur’an datang kira-kira
setelah lima ratus tahun dari pengangkatan Nabi Isa. Allah SWT, melalui
ilmu-Nya yang azali mengetahui apa yang terjadi di tengah-tengah kaum
Masehi di mana mereka berselisih tentang hakikat Isa. Oleh karena itu,
Al-Qur’an al-Karim berusaha menyingkap dialog mereka yang belum terjadi.
Allah SWT berfirman:
“Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan
selain Allah?’ Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang
ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang
gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau
perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu: ‘Sembahlah Allah, Tuhanku,
dan Tuhanmu,’ dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di
antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang
mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala
sesuatu.’” (QS. al-Maidah: 116-117)
Al-Qur’an secara
tegas mengatakan bahwa dakwah al-Masih adalah dakwah tauhid. Al-Qur’an
ingin mengatakan bahwa al-Masih terlepas dari segala tuduhan yang
dialamatkan kepadanya, yaitu tuduhan bahwa ia anak Tuhan atau ia justru
tuhan itu sendiri. “Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka
kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu:
‘Sembahluh Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu.“
Nabi Isa pergi
berdakwah di jalan Allah SMT. Inti dakwahnya adalah, bahwa tidak ada
perantara antara Pencipta dan makhluk; tidak ada perantara antara
seorang penyembah dan yang disembah. Allah SWT menurunkan kitab Injil
kepada Nabi Isa. Ia adalah kitab suci yang datang untuk membenarkan
Taurat dan berusaha menghidupkan syariatnya yang pertama. Injil adalah
cahaya, petunjuk, dan peringatan bagi orang-orang yang bertakwa. Nabi
Isa ingin meluruskan tafsiran orang-orang Yahudi terhadap syariat di
mana mereka menyampaikan tafsir dari syariat itu secara harfiah dan
sesuai dengan kepentingan mereka. Nabi Isa menenangkan orang-orang yang
yang menjaga syariat bahwa ia tidak datang untuk menghilangkan syariat,
tetapi ia datang untuk menyempurnakannya dan menyelesaikan tugas para
nabi. Namun Isa lebih menekankan pada penafsiran esensinya, bukan kepada
bentuk lahiriahnya.
Nabi Isa memberi
pengertian kepada orang-orang Yahudi bahwa sepuluh wasiat yang dibawa
oleh Isa mengandung makna-makna yang lebih dalam dari apa yang mereka
bayangkan. Wasiat yang keenam bukan hanya melarang pembunuhan materi,
sebagaimana yang mereka pahami tetapi juga menyangkut penindasan dan
usaha rnencelakakan orang lain. Sedangkan wasiat yang ketujuh bukan
hanya melarang zina (dalam pengertian terjadinya hubungan antara
laki-laki dengan perempuan melalui cara-cara yang tidak sah), tetapi
zina berarti segala bentuk perbuatan yang menjurus kepada dosa.
Misalnya, ketika mata diarahkan kepada lawan jenis disertai syahwat dan
hasrat seksual, maka itu pun berarti zina. Nabi Isa berkata:
“Sesungguhnya lebih baik bagi manusia untuk menghindarkan matanya dari
sesuatu yang dapat menghancurkannya daripada ia harus hancur dengan mata
itu sendiri. Syariat yang dibawa oleh Isa melarang untuk melanggar
sumpah dan janji Nabi Isa memberi pengertian kepada kaumnya bahwa
hendaklah mereka tidak melakukan sumpah palsu karena merupakan
“kesalahan besar jika nama Allah dibuat main-main di atas mulut-mulut
manusia.” (Injil Mata 21 sampai 48).
Dakwah Nabi Isa
juga berbenturan dengan arus materialisme yang sangat mendominasi
masyarakat saat itu. Oleh karena itu, beliau mengingatkan manusia dari
perbuatan munaflk, pamrih, tamak, dan gila pujian. Begitu juga beliau
mengingatkan mereka dari sifat rakus terhadap kekayaan dunia; beliau
mengingatkan agar jangan sampai mereka menimbun harta di dunia. Yakni,
hendak lah mereka tidak memfokuskan perhatian mereka pada urusan-urusan
duniawi semata yang sifatnya tidak abadi. Tetapi hendaklah rnereka
memfokuskan perhatian mereka pada hal-hal yang bersifat samawi (ukhrawi)
karena itu bersifat abadi.
Nabi Isa
memberitahu kepada masyarakatnya agar mereka menjadi orang-orang yang
teliti saat memilih gaya hidup mereka karena pada gilirannya akal mereka
akan menjadi cermin darinya. Kecenderungan manusia itu terkait kuat
dengan hatinya. Jika hati tertuju kepada cahaya langit, maka kehidupan
manusia akan tampak bersinar tetapi jika hati tertuju pada kegelapan
dunia, maka kehidupannya pun tampak gelap. Nabi Isa mengingatkan kaumnya
dari sikap pamrih dan cinta dunia. Beliau mengajak mereka untuk teliti
dalam memilih majikan yang mereka mengabdi kepadanya karena manusia
tidak dapat mengabdi kepada dua majikan dalam satu waktu. Boleh jadi ia
akan menjadikan harta sebagai majikannya, atau boleh jadi ia akan
menjadikan Allah SWT sebagai tuannya. Jika ia menyembah harta, maka
berarti ia jauh dari penyembahan terhadap Tuhannya. Oleh karena itu,
hendaklah manusia menjauhi dunia, seperti makanan dan pakaian di mana
mereka akan dikuasai oleh kegelisahan dan ketidaktenangan serta keraguan
tentang penjagaan Allah SWT kepada mereka. Allah SWT telah berjanji
untuk memenuhi kebutuhan hamba-hamba-Nya dalam kehidupan. Ketika timbul
kegelisahan dan keraguan pada diri mereka, maka itu dikarenakan keraguan
mereka terhadap penjagaan Allah SWT dan ketidakpercayaan mereka kepada
janji-janjinya dan rahmat-Nya serta bimbingan-Nya. Allah SWT-lah yang
menciptakan mereka dan Dia pula yang menjamin kehidupan mereka dan
melindungi mereka. Bahkan Dia juga melindungi makhluk yang paling kecil
urusannya seperti burung di langit dan kumbang-kumbang di kebun.
Nabi Isa
memberitahu kaumnya bahwa hanya memperhatikan dunia adalah hal yang
salah, yang tidak pantas dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Itu
adalah sikap para penyembah berhala karena penyembah berhala tidak
mengetahui apa yang lebih baik darinya, sedangkan orang-orang yang
beragama mengetahui bahwa di sana terdapat bimbingan Ilahi yang mengajak
mereka untuk percaya kepada Allah SWT dan tidak begitu peduli dengan
dunia. Allah SWT mengetahui kebutuhan-kebutuhan mereka lebih daripada
apa yang mereka ketahui; Allah SWT akan melindungi mereka dan akan
menjamin kehidupan mereka. Karena itu, yang layak bagi mereka adalah,
hendaklah mereka memohon agar diberi kekuasaan Allah SWT dan kebaikan
dari-Nya. Yakni kehidupan ruhani dan apa yang dikandungnya dari
kebahagiaan abadi.
Di
samping itu, Nabi Isa menasihati mereka agar jangan terlalu pusing
dengan kejadian-kejadian yang akan datang dan persoalan-persoalan esok
hari karena esok hari sudah berjalan sebagaimana mestinya. Jika
kebutuhan dan penderitaan datang silih berganti, maka bantuan dan
perlindungan Ilahi pun terus datang silih berganti. Dakwah Nabi Isa juga
berbenturan dengan dualisme yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
Kita saksikan sebagaimana mereka suka mendapatkan kebaikan yang
ditujukan kepada diri mereka, maka mereka pun biasa untuk melakukan
kejahatan kepada orang-orang lain. Demikianlah, kehidupan orang-orang
Yahudi dicemari sikap dualisme ini. Nabi Isa mewasiatkan kepada manusia
agar mereka memperlakukan sesama mereka sesuai dengan akidah yang
mengatakan: “Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri”
Nabi Isa terus
melangsungkan dakwahnya dan mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT
serta tidak menyekutukan-Nya, sebagaimana beliau juga mengajak manusia
untuk membersihkan dan menyudkan ruhani serta hati dan berasaha memasuki
kerajaan langit. Dakwah Nabi Isa itu sangat memukul kalangan para
pendeta Yahudi. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Nabi Isa bagaikan
senjata yang siap menerpa wajah mereka dan menyatakan peperangan
terhadap mereka serta menyingkap kedok kemunafikan mereka. Mula-mula
pemerintahan Romawi tidak turut campur dalam masalah tersebut karena
mereka melihat bahwa itu hanya sekadar perselisihan internal antara
kelompok-kelompok Yahudi. Bagi mereka, selama orang-orang Yahudi sibuk
dengan masalah mereka sendiri dan tidak peduli dengan kekuasaan, mereka
pun tidak turut campur.
Kemudian para
pendeta Yahudi mulai merancang suatu persekongkolan untuk menyingkirkan
Isa. Mereka ingin mengusir Isa dan membuktikan bahwa Isa datang untuk
menghancurkan syariat Musa. Syariat Musa memutuskan untuk merajam wanita
yang berzina. Para pendeta Yahudi menghadirkan wanita yang salah yang
berhak dirajam. Mereka berkumpul di sekeliling Isa dan bertanya
kepadanya: “Tidakkah syariat menetapkan untuk merajam wanita yang
bersalah?” Isa menjawab: “Benar,” Mereka berkata: “Ini adalah wanita
yang bersalah.” Isa memandang wanita itu dan ia pun melihat para pendeta
Yahudi. Isa mengetahui bahwa para pendeta Yahudi lebih banyak
kesalahannya daripada wanita tersebut. Para pendeta itu menunggujawaban
Isa. Jika ia mengatakan bahwa wanita itu tidak berhak dibunuh, maka
berarti ia menentang syariat Musa, dan jika ia mengatakan bahwa ia
berhak dibunuh, maka ia justru menghancurkan dirinya sendiri yang
membawa syariat cinta dan toleransi. Nabi Isa memahami bahwa ini adalah
persekongkolan. Beliau tersenyum dan wajahnya tampak bercahaya. Kemudian
beliau melihat para pendeta Yahudi dan wanita itu sambil berkata:
“Barangsiapa di antara kalian yang tidak memiliki kesalahan, maka
hendaklah ia merajam wanita itu.”
Suara beliau yang
keras itu memecahkan keheningan tempat penyembahan. Beliau menetapkan
peraturan baru yang berhubungan dengan hukum yang dijatuhkan kepada
orang yang ber-buat salah. Hendaklah orang yang tidak berbuat salah
menghukum orang yang salah dan tidak berhak seseorang pun dari kalangan
manusia untuk menghukum orang yang bersalah jika ia sendiri bersalah,
tetapi yang menghukumnya adalah Allah SWT yang Maha Suci dan Maha Tinggi
dan Allah SWT adalah Maha Pengasih di antara yang mengasihi.
Nabi Isa keluar
dari tempat penyembahan itu. Tiba-tiba, wanita itu mengejar dari
belakangnya. Lalu wanita itu mengeluarkan dari pakaiannya satu botol
dari minyak yang berharga. Ia berdiri di depan Isa dan menjatuhkan
dirinya di atas kedua kaki Isa lalu menciumnya dan membasuhnya dengan
minyak wangi dan air mata. Setelah itu, ia mengeringkan kedua kakinya
dengan rambutnya. Bagi wanita itu, al-Masih mempakan harapan terakhir
yang dapat menyelamatkannya. Lalu keluarlah dari belakang Isa seorang
tokoh pendeta Yahudi. Ia berdiri menyaksikan pemandangan tersebut dan ia
merasa kagum terhadap kasih sayang Isa. Isa melihat kepadanya dan
bertanya; “Seorang kreditor yang memiliki dua orang debitor, salah
satunya berhutang lima ratus dinar dan yang lain lima puluh dinar.”
Pendeta itu berkata: “Ya.” Isa berkata: “Tak seorang pun dari mereka
berdua yang merniliki uang yang cukup untuk melunasi uangnya. Lalu si
kreditor memaafkan mereka dan membebaskan mereka dari hutang.” Pendeta
berkata: “Ya.” Kemudian Isa bertanya: “Siapa di antara mereka yang
paling senang kepada kreditor itu?” Pendeta menjawab: “Tentu yang
berhutang lebih besar.” Isa berkata: “Benar apa yang engkau ucapkan.
Lihadah wanita ini. Aku telah masuk ke rumahmu tetapi engkau tidak
memberikan kepadaku air agar aku dapat membasuh wajahku, tetapi wanita
itu membasuh kedua kakiku dengan air mata lalu ia mengusapnya dengan
rambut kepalanya. Begitu juga engkau tidak memberikan ciuman kepadaku
tetapi wanita ini tidak merasa puas dengan hanya mencium kedua kakiku.
Jadi, hatimu sungguh sangat keras tetapi hati wanita itu dipenuhi dengan
rasa cinta. Maka barangsiapa yang banyak mencintai niscaya
kesalahan-kesalahannya akan diampum.” Kemudian Isa menoleh ke wanita itu
dan memerintahkannya untuk bangkit dari tanah sambil berkata: “Ya
Allah, ampunilah wanita ini dan hilangkanlah kesalahan-kesalahannya.”
Nabi Isa berusaha
menyadarkan para pendeta Yahudi bahwa para dai yang menyeru di jalan
Allah SWT bukanlah algojoalgojo yang bengis yang menerapkan hukum
syariat tanpa melihat keadaan masyarakat yang bersalah, tetapi mereka
datang dan membawa ajaran Allah SWT yang merupakan ajaran yang penuh
dengan rahmat kepada manusia. Jadi, rahmat adalah tujuan semua dakwah
Ilahi ini. Bahkan diutusnya para nabi itu sendiri mengandung rahmat
Allah SWT terhadap kaum mereka.
Isa terus berdoa
kepada Allah SWT agar merahmati kaumnya. Beliau menyuruh kaumnya agar
menyayangi diri mereka sendiri dan beriman kepada Allah SWT. Kehidupan
Nabi Isa menggambarkan kezuhudan dan ketaatan dalam ibadah. Mu’tamar bin
Sulaiman berkata, sebagaimana diri wayatkan Ibnu ‘Asakir: “Nabi Isa
menemui kaumnya dengan memakai pakian dari wol. Beliau keluar dalam
keadaan tidak beralas kaki sambil menangis serta wajahnya tampak pucat
karena kelaparan dan bibimya tampak kering karena kehausan. Nabi Isa
berkata, “salam kepada kalian wahai Bani Israil. Aku adalah seseorang
yang meletakkan dunia di tempatnya sesuai dengan izin Allah SWT, tanpa
bermaksud membanggakan diri. Apakah kalian mengetahui di mana rumahku?”
Mereka menjawab: “Di mana rumahmu wahai Ruhullah?”
Nabi Isa
menjawab: “Rumahku adalah mesjid, wewangianku adalah air makananku
adalah rasa lapar, pelitaku adalah bulan di waktu malam dan salatku di
waktu musim dingin di saat matahari terletak di timur, bungaku adalah
tanaman-tanaman bumi, pakaianku terbuat dari wol, syiarku adalah takut
kepada Tuhan Yang Maha Mulia, teman-temanku adalah orang-orang yang
fakir, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang miskin. Aku memasuki
waktu pagi dan aku tidak mendapati sesuatu pun di rumahku begitu juga
aku memasuki waktu sore dan aku tidak menemukan sesuatu pun di rumahku.
Aku adalah seseorang yang jiwanya bersih dan tidak tercemar. Maka
siapakah yang lebih kaya daripada aku?”
Isa terus
melakukan dakwahnya. Ia didukung oleh mukjizat dari Allah SWT. Nabi Isa
mampu membuat bentuk burung dari tanah kemudian ia meniupnya, maka tanah
itu menjadi burung dengan izin Allah SWT. Selain itu, ujung bajunya
yang sederhana jika tersentuh orang yang sakit, maka orang itu akan
sembuh. Bahkan jika Isa meletakkan tangannya di atas mata orang yang
buta atau orang yang terkena sakit belang niscaya ia akan sembuh. Jadi,
Nabi Isa didukung oleh mukjizat yang luar biasa. Bahkan beliau mampu
menghidupkan orang-orang yang mati dari kuburan mereka sehingga mereka
keluar dalam keadaan hidup dengan izin Allah SWT.
Para ahli tafsir
mengatakan bahwa Nabi Isa menghidupkan empat orang. Pertama, al-Azir
yaitu temannya. Kemudian dua orang anak laki-laki dari seorang tua, dan
seorang anak perempuan satu-satunya dari seorang ibu. Mereka adalah tiga
orang yang mati di zaman Nabi Isa. Ketika orang-orang Yahudi melihat
hal tersebut, mereka berkata: “Engkau menghidupkan orang-orang yang mati
dan kematian mereka tidak lama .Barangkali mereka tidak mati tapi
mereka sekadar mengalami keadaan tidak sadarkan diri atau mati suri.
Lalu mereka meminta kepada Nabi Isa untuk membangkitkan Sam bin Nuh dari
kematiannya.
Para ahli tafsir
mengatakan bahwa Nabi Isa bertanya kepada mereka, “Di manakah kaum
kuburan Sam bin Nuh?” Mereka keluar bersama Isa sehingga mereka mencapai
kuburan. Lalu Nabi Isa berdoa kepada Allah SWT agar menghidupkan orang
yang mati di situ. Sam bin Nuh keluar dari kuburannya, dan rambut
dikepala-nya tampak beruban. Isa berkata kepadanya: “Bagaimana rambut di
kepalamu bisa beruban, sementara di zamanmu kau tidai. ada uban,” Sam
berkata: “Ya Ruhullah, aku mendengar engkau berdoa untukku lalu aku
mendengar suara yang mengatakan, aku akan mengabulkan wahai Ruhullah.
Aku mengira bahwa kiamat telah tiba. Karena takutnya kepada hal itu
sehingga rambut di kepalaku beruban.”
Apa pun yang
dikatakan berkaitan dengan cerita itu yang menyebutkan tentang bagaimana
Nabi Isa menghidupkan orang-orang yang mati, namun kita tidak
mengetahui konteks Al-Qu’ran serta perincian-perincian yang menjelaskan
hal tersebut. Allah SWT hanya menyebutkan bahwa Isa menghidupkan
orang-orang yang mati dengan izin-Nya. Kita percaya bahwa Nabi Isa mampu
menghidupkan mereka tetapi kita tidak mengetahui apakah mereka mati
kembali setelah dihidupkan atau mereka sempat menjalani kehidupan selama
beberapa saat. Nabi Isa terus berjalan di jalan Allah SWT. Beliau
membuat bagi mereka apa yang disebut dengan hukum ruh. Beliau menaiki
gunung dan para sahabat-sahabatnya berdiri di sekitarnya. Nabi Isa
melihat orang-orang yang beriman kepadanya yang terdiri dari orang-orang
yang fakir, orang-orang yang menderita, dan orang- orang yang sedih.
Jumlah mereka sedikit sebagaimana lazimnya jumlah para pengikut nabi.
Gunung diliputi
dengan awan tipis dan turunlah hujan gerimis. Isa mulai berbicara:
“Sungguh beruntung bagi orang-orang miskin karena mereka memiliki
kerajaan langit. Beruntunglah orang-orang yang sedih karena mereka akan
menjadi orang-orang yang mulia. Beruntunglah yang diserahi amanat karena
mereka akan mewarisi bumi. Beruntunglah orang-orang yang lapar dan haus
karena mereka akan dikenyangkan. Beruntunglah orang-orang yang
menyayangi karena mereka akan disayangi. Beruntunglah orang-orang yang
bersih hatinya karena mereka akan melihat Allah SWT. Beruntunglah
orang-orang yang tertindas demi mempertahankan kebenaran karena mereka
akan mendapatkan kerajaan langit. Kalian adalah garam bumi jika garam
telah rusak, maka siapa gerangan yang dapat mengembalikannya menjadi
garam kembali.” Renungkanlah kedalaman ungkapan dari Nabi Isa, “kalian
adalah garam bumi.”
Garam adalah
sesuatu yang memberikan rasa yang khusus dan tanpa garam makanan akan
menjadi hambar. Yakni, tanpa orang-orang mukmin, maka cita rasa
kehidupan terasa tidak bermakna; tanpa kehadiran orang-orang Muslim dan
perbuatan mereka yang ikhlas terhadap Allah SWT akan tampak kehidupan
sangat berat dan tidak berarti. Di samping itu, kehadiran manusia
sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi pun sia-sia, dan keagungan
manusia sebagai hamba Allah SWT pun tidak bermakna, dan pada gilirannya
kehidupan akan dipenuhi dengan kejahatan dan keburukan.
Allah SWT teiah mewahyukan kepada “garam bumi” agar mereka beriman kepada Nabi Isa. Allah SWT berfirman:
“Dan
(ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut-pengikut Isa yang
setia: ‘Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.’ Mereka menjawab:
‘Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).’” (QS. al-Maidah: 111)
Al-Hawariyin
mengakui kebenaran ajaran Nabi Isa dan mereka menyatakan keislaman
kepadanya, sebagaimana ratu Saba’ mengakui kebenaran ajaran Nabi
Sulaiman dan menyatakan keislaman padanya, dan sebagaimana semua para
nabi menyatakan keislaman. Hakikat ajaran para nabi terbatas kepada
pernyataan keislaman dan semua nabi menyeru kepada jalan tauhid dan
jalan Islam. Islam dalam pandangan kami memiliki makna yang lebih dalam
daripada tauhid. Pengakuan seseorang terhadap Allah SWT dan keimanan
akan keesaan-Nya dalam menciptakan makhluk tidak mencegah orang itu
untuk berbuat dosa, sedangkan keislaman atau penyerahan hati dan anggota
badan serta pemikiran kepada Allah SWT merupakan suatu tingkatan
sedikit lebih tinggi. Ini adalah tingkat kepatuhan orang-orang yang
patuh dan puncak ketauhidan orang-orang yang bertauhid. Itu adalah
keserasian antara tindakan dengan pikiran, yaitu usaha manusia untuk
menghindari kesalahan dan memurnikan amal hanya untuk Allah SWT.
Al-Qur’an al-Karim memberitahu kita bahwa Allah SWT menyampaikan wahyu
kepada al-Hawariyin agar mereka beriman kepadanya dan kepada Rasul-Nya
Isa.
Marilah kita
renungkanlah sejenak tentang wahyu Allah SWT terhadap Hawariyin. Kita
mengetahui bahwa Allah SWT mewahyukan kepada manusia dan kepada
makhluk-makhluk lainnya. Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada lebah…” (QS. an-Nahl: 68)
Yang dimaksud
dengan wahyu di sini adalah memberikan ilham kepada makhluk agar mereka
menuju ke jalan fitrahnya yang telah Allah SWT gariskan di atasnya
sehingga mereka mencapai jalan kesempurnaan. Tidakkah Anda ingat tentang
jawaban Nabi Musa terhadap pertanyaan Fira’un:
“Fir’aun berkata: ‘Siapakah Tuhan kamu berdua wahai Musa. ” (QS. Thaha: 49)
“Musa
berkata: ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinsa petunjuk. ” (QS. Thaha: 50)
Makna di sana dan
di sini sama. Makna yang sama tersebut diterapkan kepada kaum Hawariyin
di mana wahyu Allah SWT terhadap mereka berupa pemberian ilham kepada
mereka demi kebaikan mereka dan kebahagiaan mereka, dan wahyu ini tidak
bertentangan dengan ikhtiar mereka dan usaha mereka serta keinginan
mereka, bahkan tidak bertentangan dengan kebebasan mereka. Allah SWT
telah melihat hati mereka yang dipenuhi dengan kebaikan. Dia melihat
mereka sebagai garam bumi, maka Allah SWT mewahyukan kepada mereka agar
beriman kepadanya dan rasul-Nya sehingga mereka pun beriman dan mereka
pun bersaksi bahwa mereka orang-orang yang berserah diri atau Muslim.
Tampaknya kaum
Hawariyin menyembunyikan keimanan mereka sehingga Isa merasakan
kekufuran kaumnya semakin menjadi-jadi lalu Isa memanggil mereka:
“Siapakah di antara kalian yang menolong aku menuju jalan Allah SWT?”
Allah SWT berfirman:
“Maka
tatkala Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkatalah
dia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk menegakkan
(agama) Allah?’ Para Hawariyin (sahabat-sahabat setia) menjawab:
‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan
sahsikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan
diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau
turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke
dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi.’” (QS. Ali ‘Imran: 52-53)
Nas Al-Quran
menunjukkan bahwa Nabi Isa mengajak mereka untuk mengikuti Islam
sehingga mereka pun berserah diri; nas Al-Quran menegaskan bahwa Nabi
Isa menyampaikan kabar gembira dengan kedatangan seorang rasul yang
datang setelahnya yang bernama Ahmad. Dikatakan dalam Al-Qur’an:
“Dan
(ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: ‘Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab yang
turun sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan
(datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad).’ Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ‘Ini adalah sihir yang nyata.’”
(QS. Shaff: 6)
Kita tidak
mengetahui secara pasti kapan Nabi Isa menyampaikan kabar berita tentang
kedatangan seorang rasul ini yang datang setelah masanya, yaitu Ahmad
saw. Apakah kabar berita itu beliau sampaikan dipermulaan pengutusannya
kepada manusia, atau apakah beliau menyampaikan kabar itu pada akhir
masa dakwahnya dan sebelum beliau diangkat ke langit? Tetapi melihat
konteks Al-Qur’an tampaknya kabar berita tersebut itu disampaikan di
permulaan dakwahnya, sebagaimana firman-Nya: “Maka tatkala rasul itu
datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka
berkata: ‘lni adalah sihir yang nyata.‘”
Kata ganti (dhamir) dalam
ayat tersebut kembali kepada Nabi Isa. Ayat tersebut menunjukkan bahwa
Nabi Isa menyampaikan kabar gembira dengan datangnya Muhammad atau Ahmad
ketika Allah SWT mengutus kepada kaumnya. Kemudian terjadilah di
hadapan Nabi Isa berbagai macam mukjizat yang luar biasa seperti
penghidupan orang yang mati, peniupan tanah, dan sebagainya. Ketika Nabi
Isa datang membawa bukti-bukti yang jelas ini, maka mereka menuduhnya
bahwa ia membawa sihir. Nabi Isa mengetahui bahwa tuduhan semacam ini
telah dialamatkan kepada sebagian besar para nabi sebelumnya. Beliau
juga mengetahui bahwa nabi yang terakhir pun akan mendapatkan tuduhan
yang sama. Oleh karena itu, nabi yang mulia itu tetap berdakwah di jalan
Allah SWT dan tidak peduli dengan tuduhan kaumnya yang mengatakan bahwa
beliau membawa sihir.
Kemudian
pertentangan antara Nabi Isa dan Bani Israil semakin meningkat. Mereka
adalah orang-orang yang hatinya keras, yang membeku di hadapan
kebenaran. Isa datang kepada mereka dan menghancurkan segala pemikiran
mereka dan kehidupan mereka serta sistem mereka. Sesungguhnya dakwah
Nabi Isa terfokus kepada kebenaran, kedamaian dan keadilan dan pada saat
yang sama mengumumkan peperangan terhadap kehidupan orang-orang yang
lalim yang telah menjauhi kebenaran. keadilan, dan kedamaian. Injil Mata
menyebutkan melalui lisan Isa: “Jangalah kalian mengira bahwa aku
membawa kedamaian ke muka bumi. Aku tidak datang hanya membawa kedamaian
tetapi aku datang membawa pedang.”
Kalimat tersebut
menyiratkan hakikat yang penting dari hakikat dakwah para nabi. Para
nabi adalah pejuang sejati di mana senjata yang mereka gunakan di medan
peperangan beraneka ragam. tetapi mereka pada hakikatnya adalah pejuang.
Mereka memulai peperangan mereka dengan satu pemikiran yaitu suatu
tekad mengatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT. Pemikiran itu tentu
berbenturan dengan kepercayaan akan tuhan-tuhan yang diyakini oleh
manusia, baik tuhan-tuhan yang terbuat dari emas atau batu. Pemikiran
itu sangat mengganggu ketenangan orang-orang yang lalim atau penguasa
yang bengis serta sangat melawan kepentingan mereka, sehingga para raja
dan para penguasa seperti biasanya bergerak menentang nabi kecuali orang
yang mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Para pembesar dari kalangan
kaum nabi menentang nabi. Al-Mala’ adalah para pembesar
sebagaimana telah kami jelaskan dalam kisah Nabi Nuh dan sesudahnya.
Kemudian Nabi terus melangsungkan peperangan mewujudkan tekadnya: Nabi
meletakkan dasar peperangannya dengan menyampaikan ketuhanan Allah SWT.
Setelah
meneguhkan dasar yang kuat ini, Nabi menetapkan keadilan. Tak seorang
pun berhak untuk menghinakan seseorang atau menjadikannya sebagai budak
karena penghambaan hanya pantas ditujukan kepada Allah SWT. Manusia
adalah sama di antara mereka sehingga tidak berhak seseorang untuk
memanfaatkan kekuatan manusia untuk membangun kejayaan pribadinya atau
unruk memperkaya dirinya dengan merugikan orang lain, atau menghancurkan
hak-hak mereka atau berbuat buruk terhadap mereka dalam berbagai
bentuknya. Jadi, inti dakwah para nabi berarti mengganti dan mengubah
sistem yang rusak yang didirikan oleh para pembesar kaumnya. Kalau
begitu, ia adalah dakwah yang menyatakan peperangan dan karena itu
seseorang nabi harus membava senjata. Setelah meneguhkan pemikiran
tersebut, dimulailah peperangan. Seorang nabi menggunakan pedang. Ia
berlindung di balik senjata dan senjata yang dimiliki oleh setiap nabi
berbeda-beda.
Mula-mula seorang
nabi tidak menggunakan senjata apa pun dalam peperangannya selain
berusaha untuk membangkitkan akal. Lalu peperangan semakin meningkat
sehingga nabi terpaksa untuk menggunakan senjata. Para musuh memaksanya
untuk menggunakan senjata sehingga para nabi pun menggunakan senjata. Di
sini setiap nabi mempunyai senjata yang berbeda-beda. Terkadang senjata
seorang nabi berupa mukjizat yang dapat menghentikan langkah dan
menghancurkan mereka seperti taufan (kisah Nabi Nuh) atau angin (kisah
Nabi Hud), dan terkadang senjata para nabi adalah mukjizat yang
membantunya untuk mengalahkan musuh-musuhnya secara pasti seperti
ditundukkannya jin dan burung baginya (kisah Nabi Sulaiman) dan senjata
nabi berupa mukjizat yang menyelamatkannya dari tipu daya musuh seperti
berubahnya api menjadi sesuatu yang dingin dan membawa keselamatan
(kisah Nabi Ibrahim) dan terkadang senjata nabi yang luar biasa yang
memperkuat dakwahnya seperti menghidupkan orang-orang yang mati (kisah
Nabi Isa) dan terkadang senjata nabi berupa pedang yang dipegang di
tangannya saat ia melangsungkan peperangan dan mempertahankan dakwahnya
(kisah Nabi Muhammad saw).
Jadi, senjata
para nabi berbeda-beda, baik dalam bentuk kualitas maupun kapasitasnya.
Allah SWT mengetahui kondisi mereka lebih dari apa yang kita ketahui
sehingga Allah SWT sangat tepat ketika memilihkan senjata untuk setiap
nabi. Dan tak seorang nabi pun yang tinggal di suatu tempat sementara ia
tidak berjuang dan tidak bergerak dan tidak mengalami penderitaan dari
kaumnya. Oleh karena itu, sesuai dengan kadar kesabaran para nabi dan
perjuangan mereka dalam menyampaikan dakwah di jalan Allah SWT, mereka
layak untuk mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Allah SWT.
Isa bin Maryam
telah menyampaikan bahwa beliau adalah seorang pejuang yang membawa
senjata. Kata-katanya sendiri berusaha menghancurkan masyarakat yang
keras, masyarakat yang bodoh. Masyarakat di zaman Nabi Isa berdiri di
atas kesalahan, kesyirikan, kebohongan, kemunafikan, meterialisme,
pamrih, kelaliman dan tidak ada kebebasan. Maka melalui
kalimat-kalimatnya, Nabi Isa menghancurkan semua ini. Nabi Isa
memberitahu kaumnya bahwa dakwahnya di jalan Allah SWT bukan terfokus
pada dakwah kedamaian tetapi dalam hal-hal tertentu dakwahnya pun berisi
pernyataan perang. Sesuatu menjadi tidak bernilai ketika tidak berusaha
dipertahankan oleh yang bersangkutan sampai tetes darah penghabisan.
Timbulnya pemikiran-pemikiran, nilai-nilai dan prinsip-prinsip tidak
hanya bersandar kepada idealismenya tetapi nilainya justru bersandar
kepada usaha keras yang dikerahkan oleh para pembawanya dalam rangka
mempertahankannya. Tanpa peperangan dan mengangkat senjata dakwah para
nabi akan menjadi pemikiran-pemikiran yang sekadar idealisme yang tidak
akan menghentikan seseorang pun dan tidak akan membangkitkan seseorang
pun.
Kita mengetahui
bahwa sebagian besar nabi berhadapan dengan kelompok besar dari
masyarakat yang menentangnya dan berusaha memeranginya. Mula-mula mereka
mengejeknya dan pada akhirnya mereka berusaha untuk membunuhnya. Kita
mengetahui bahwa para nabi berusaha mati-matian untuk memperjuangkan
kebenaran yang dibawanya. Melalui kisah para nabi, kita mengetahui bahwa
bagaimana serangan masyarakat, para pembesar, dan para penguasa
terhadap para nabi tetapi pada saat yang sama kita seakan-akan tidak
melihat bagaimana serangan para nabi terhadap mereka. Penjelasan dari
hal itu sangat mudah. Peperangan yang dibangkitkan oleh kebatilan atas
para nabi didukung oleh alat-alat yang canggih dan sangat kuat di mana
mereka memiliki berbagai macam sarana untuk menjatuhkan para nabi,
sedangkan para nabi hanya menyandarkan kekuatan dari yang Maha Benar,
yaitu Allah SWT; kekuatan yang tidak berdasarkan pada sebab-sebab
tertentu atau tidak peduli dengan tuduhan-tuduhan atau kegaduhan.
Para nabi hanya
terus melangsungkan dakwahnya yang berdasarkan kepada usaha
membangkitkan akal dan hati serta menvucikan ruh. Keteguhan sikap para
nabi ini bagi musuh-musuh mereka merupakan problem yang besar. Dakwah
nabi juga menjamah suatu keluarga di mana seorang ayah dapat beriman
sementara seorang anak dapat menentang atau seorang anak dapat beriman
sementara si ayah dapat menentang atau seorang istri beriman atau
seorang suami kafir atau seorang suami beriman sementara si istri kafir.
Perbedaan anak laki-laki dengan ayahnya dan seorang istri dengan
suaminya menimbulkan permusuhan di dalam rumah-rumah. Dengan terjadinya
hal ini, masyarakat bergerak untuk menentang nabi dan semakin
meningkatkan tekanan-tekanan mereka kepadanya sehingga permusuhan dan
kebencian mereka kepada nabi semakin meruncing. Mereka pun berusaha
untuk melawan nabi itu yang bagi mereka telah memisahkan antara ayah dan
anaknya atau ia datang untuk memisahkan seorang anak perempuan dari
ibunya.
Kemudian seorang
nabi meletakkan suatu undang-undang bagi orang yang mengikutinya, yaitu
undang-undang pokok yang membatalkan undang-undang yang tidak sesuai
dengannya. Undang-undang ini tampak dalam kalimat nabi: “pertama-tama
cinta kepada Allah dan kemudian cinta kepada nabi dan setelah itu cinta
kepada sesama manusia.” Makna-makna yang demikian ini tercermin secara
jelas dari kalimat-kalimat Isa yang disampaikan oleh Injil Mata pada
pasal ke-10.
Al-Masih berkata:
“Janganlah engkau mengira bahwa aku datang membawa kedamaian di bumi,
aku datang bukan hanya membawa kedamaian tetapi pedang. Aku datang untuk
menjadikan seorang anak berbeda dengan ayahnya dan seorang anak
perempuan berbeda dengan ibunya sehingga musuh seseorang justru terdapat
pada keluarganya. Maka barangsiapa yang mencintai ibunya dan ayahnya
lebih dari kecintaannya kepadaku, maka ia tidak berhak mencintaiku, dan
barangsiapa yang mencintai anak laki-lakinya dan perempuannya lebih
dariku, maka ia tidak berhak mengikutiku. Meskipun kehidupannya tampak
beruntung sebenarnya ia telah rugi, dan barangsiapa yang kehidupannya
merugi karena aku, maka sebenarnya ia telah beruntung.”
Penjelas Injil
mengatakan: “Pemikiran orang-orang Yahudi tentang al-Masih adalah,
ketika al-Masih datang, maka semua pengikutnya akan merampas kekayaan
dan kejayaan di dunia ini lalu ia hanya memberi mereka ketenangan dan
kedamaian. Ketika al-Masih datang, ia menjelaskan kepada para muridnya
bahwa hal tersebut tidak benar, karena jika ia datang untuk memberikan
kedamaian kepada para pengikutnya, maka mereka akan terancam kelaliman
dan mereka akan mati karena tajamnya pedang. Maka hendaklah mereka tidak
mengharapkan kedamaian tetapi peperangan; hendaklah mereka tidak
mengharapkan keserasian tetapi perpecahan.” Demikianlah masyarakat
Yahudi terbagi menjadi dua kelompok: kelompok orang-orang yang fakir,
orang-orang yang lemah dan orang-orang yang bersih hatinya bersama Isa,
sedangkan kelompok mayoritas menentang Isa. Bahkan kelompok mayoritas
kafir itu sering menyakiti Isa.
Injil Mata
menceritakan penderitaan al-Masih pada pasal ke-11. Ia menceritakan
bagaimana kemarahan al-Masih terhadap orang-orang yang tidak mengabdi
kepada Yuhana (Yahya) dengan baik atau mengabdi kepadanya secara pribadi
dengan baik. Injil Mata menguntip pernyataan Isa sebagai berikut:
“Dengan apa aku menyerupakan generasi ini, Sesungguhnya mereka
menyerupai anak-anak kecil yang duduk di pasar yang berteriak-teriak
memanggil teman-teman mereka sambil berkata: “Kami telah meniup seruling
tetapi kalian tidak menari. Kami mengasihi kalian tetapi kalian tidak
menangis.” Yuhana telah datang dan tidak makan dan minum tetapi mereka
mengatakan, sesungguhnya ia terkena setan. lalu datanglah seorang anak
manusia yang makan dan minurn lalu mereka mengatakan, ia adalah seorang
yang ahli makan dan ahli minum khamer.”
Dokumen itu
menunjukkan penderitaan al-Masih dan menyingkap peperangan yang akan
dihadapinya. Penderitaan yang dialami oleh hati suci al-Masih adalah
sebagai tindakan generasi tersebut di mana beliau diutus di dalamnya
sebagai orang yang memberi petunjuk dan menyampaikan berita gembira
tentang kerajaan langit. Beliau menyerupakan generasi Yahudi itu dengan
anak-anak kecil yang duduk-duduk di pasar sambil berteriak-teriak
memanggil teman-teman mereka sambil berkata: “kami telah meniup seruling
tetapi kalian tidak menari. Kami berbelas kasih kepada kalian tetapi
kalian tidak menangis.” Al-Masih mengisyaratkan dengan pernyataan itu
tentang apa yang diperbuat anak-anak kecil saat mereka bermain-main, di
mana biasanya mereka meniru orang-orang yang besar saat mereka
bergembira dengan menari-nari dan saat mereka sedih mereka menangis.
Demikianlah mereka sangat cepat berubah antara bergembira dan sedih
tanpa melalui pertimbangan dan kesadaran. Demikianlah keadaaan
orang-orang Yahudi saat mereka mengabdi kepada Yahya, kemudian saat
mereka mengabdi kepada al-Masih. Yahya telah datang kepada mereka dalam
keadaan menangis, tidak makan dan tidak minum dari apa yang mereka makan
dan yang mereka minum. Ia tidak bergaul dengan sembarangan manusia.
Telah datang kepada mereka seorang nabi yang ahli ibadah tetapi
kebanyakan mereka menolaknya dan mereka mengatakan bahwa ia terkena
setan. Kemudian datang kepada mereka al-Masih di mana ia makan dan minum
bersama pada acara walimah dan hari raya lalu mereka pun menolaknya dan
mengatakan bahwa ia suka makan dan minum khamer padahal beliau adalah
cermin terbesar dalam menghilangkan syahwat dan kesucian yang sempurna.
Alhasil, generasi
itu adalah generasi yang main-main Iayaknya anak kecil. Tidak ada
sesuatu pun yang dapat mempengaruhi mereka dan mereka tidak mau
bertaubat. Meskipun demikian, di sana terdapat kelompok kecil dari
manusia yang terpengaruh dan bertaubat. Dokumen tersebut menunjukkan
betapa beratnya penderitaan Isa di tengah-tengah generasi yang sezaman
dengannya. Isa mengalami banyak penderitaan dalam menyampaikan
dakwahnya. Isa banyak menderita di tengah-tengah kaum yang pikiran
mereka belum matang. Mereka tak ubahnya seperti anak-anak kecil yang
suka bermain-main. Kaum yang tak tergugah oleh kalimat-kalimat yang baik
dan mereka tidak bergerak atau tersentuh ketika menyaksikan
mukjizat-mukjizat yang luar biasa.
Allah SWT kembali
memperkuat Isa dengan mukjizat-mukjizat yang mengagumkan. Mukjizat di
sini adalah senjata yang diberikan Allah SWT kepada nabi-Nya agar nabi
tersebut menjadi tenteram dan agar menambah keyakinan orang-orang yang
beriman kepadanya, sedangkan bagi orang-orang kafir mukjizat tersebut
justru menambah kekufuran mereka sehingga Allah SWT memberikan
pembalasan yang setimpal kepada kedua kelompok tersebut. Mukjizat yang
Allah SWT berikan kepada Isa bin Maryam yang lain adalah, Allah SWT
mengabulkan doa Hawariyin dengan menurunkan makanan dari langit. Allah
SWT berfirman:
“(Ingatlah),
ketika pengikut-pengikut Isa berkata: ‘Hai Isa putra Maryam,
bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?’ Isa
menjawab: ‘Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang
beriman.’ Mereka berkata: ‘Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya
tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar
kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.‘ Isa
putra Maryam berdoa: ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada hami
suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya
bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang
sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami
dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.’ Allah berfirman:
‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa
yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya
Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan
kepada seorang pun di antara umat manusia.’” (QS. al-Maidah: 112-115)
Barangkali kita
terheran-heran ketika memperhatikan perkataan Hawariyin, “wahai Isa bin
Maryam, apakah Tuhanmu mampu?” Mungkin pertama-tama yang terlintas dalam
pikiran kita berkenaan dalam ayat tersebut adalah, keraguan Hawariyin
terhadap kekuatan atau kekuasaan Allah SWT. Bagaimana hal itu mampu
mereka laku-kan sedangkan mereka adalah murid-murid Isa yang beriman dan
berserah diri kepada Allah SWT? Berkaitan dengan tafsir ayat tersebut,
para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan, bahwa pertanyaan
mereka ‘apakah Tuhanmu mampu?’ Yakni, berarti apakah Tuhanmu bisa?
Kemudian mereka mencarikan alasan yang membenarkan perkataan Hawariyin
itu dengan mengatakan bahwa pertanyaan itu dilontarkan saat mereka baru
saja mengikuti Isa, sebelum mereka banyak mengetahui Allah SWT. Oleh
karena itu, Isa berkata dalam jawabannya terhadap pertanyaan mereka,
bertakwalah kepada Allah SWT jika kamu benar-benar orang mukmin. Yakni,
janganlah kalian meragukan kekuasaan atau kekuatan Allah SWT.
Qurthubi menampik
tafsir ini. Hawariyin adalah para penolong Allah SWT, sesuai dengan nas
Al-Qur’an dan tentu tidak boleh bagi penolong Allah SWT untuk tidak
mengetahui kekuatan-Nya, apalagi meragukan kekuasaan-Nya. Sebagian ulama
mengatakan bahwa perkataan tersebut dikeluarkan orang-orang yang
bersama Hawariyin yang berasal dari Bani Israil dan tidak seorang pun
dari Hawariyin yang mengatakan demikian kecuali mereka hanya sekedar
menukil perkataan tersebut. Ada pendapat lain lagi yang mengatakan bahwa
ayat tersebut tidak dibaca ‘hal yastathi’ rabbuka‘ tetapi dibaca ‘hal tastathi’ rabbaka’
sebagaimana bacaan Aisyah dan sebagaimana dibaca oleh Nabi. Maknanya,
“apakah engkau mampu menghadirkan kekuatan Tuhanmu terhadap apa yang
engkau minta.” Ada pendapat yang lain mengatakan ia dibaca ‘hal tastathi’ rabbaka’, yakni “apakah engkau mampu untuk berdoa kepada Tuhanmu atau meminta-Nya.”
Sebagian kaum
sufi berpendapat bahwa kaum Hawariyin bukan tidak mengetahui kekuasaan
Allah SWT tetapi pertanyaan itu justru bersumber dari cinta kepada Allah
SWT dan keinginan menyaksikan kekuasaan Allah SWT. Sikap mereka ini
menyerupai dengan perbedaan tingkatan sikap Nabi Ibrahim as ketika
beliau mengatakan:
“Ya
Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang-orang mati?’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya?’ Ibrahim
menjawab: ‘Saya telah percaya, tetapi agar bertambah mantap hatiku.’” (QS. al-Baqarah: 260)
Oleh
karena itu, kaum Hawariyin berkata: “Dan hati kami menjadi mantap,”
sebagaimana Nabi Ibrahim berkata: “Agar bertambah mantap hatiku.” Inilah
tafsir yang membuat kita puas dan membuat hati kita tenang. Nabi Isa
menjawab pertanyaan mereka: ‘Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman.’ Yakni,
hati-hatilah kalian dengan banyak bertanya dan menguji Allah SWT karena
kalian tidak mengetahui apa yang boleh kalian minta untuk didatangkan
bukti-bukti kekuasaan Allah SWT. Perkataan Nabi Isa, jika kalian
benar-benar beriman terfokus kepada apa yang dibawanya yang berupa
mukjizat-mukjizat atau tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Nabi Isa
bermaksud untuk mengatakan, sesungguhnya apa yang telah aku bawa dari
mukjizat-mukjizat bagi kalian seharusnya sudah cukup membuat hati kalian
mantap. “Mereka berkata:
‘Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan
supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami
menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.’”
Kaum
Hawariyin menjelaskan kepada Isa sebab pertanyaan mereka ketika beliau
melarangnya. Jika Nabi Isa keluar, maka beliau diikuti lima ribu orang
atau lebih. Sebagian mereka dari kalangan Hawariyin dan sebagian yang
lain campuran di antara pengikutnya dan musuhnya. Dikatakan bahwa mereka
berpuasa dan mereka tidak mempunyai makanan, lalu para pengikut berkata
kepada kaum Hawariyin, “Tanyalah kepada Isa apakah ia mampu berdoa
kepada Tuhannya sehingga diturunkan kepada kita makanan dari langit.”
Kemudian kaum Hawariyin pergi dengan membawa surat kaum itu kepada Isa.
Ketika Isa meminta mereka untuk merasa cukup dengan mukjizat-mukjizat
sebelumnya, mereka kembali melontarkan kebenaran permintaan mereka: ‘Kami ingin memakan hidangan itu. Mereka adalah orang-orang yang lapar sementara mereka tidak mempunyai makanan. Dan supaya tenteram hati kami.
Hati kaum
Hawariyin menjadi tenang seperti tenangnya hati Ibrahim. Dan para
pengikut pun merasa hatinya tenang dan mengakui bahwa Isa adalah Nabi
yang diutus untuk mereka. Dan hati musuh juga menjadi tenang karena
mereka menyaksikan kebatilan mereka sehingga pilihan mereka untuk tidak
mengikuti Isa berakibat pada suatu saat mereka akan dimintai pertanggung
jawaban.
“Dan
supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami. Yakni
kami mengetahui bahwa engkau utusan Allah. Dan kami menjadi orang-orang
yang menyaksikan hidangan itu. Yakni, kami menyaksikan keesaan Allah dan
risalah dan kenabianmu. Dan bagi orang lain yang tidak menyahsikannya,
maka kami akan menceritakan kepada mereka peristiwa yang terjadi.“
Isa putra
Maryam berdoa: ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu
hidangan dari langit (yang hari turimnya) akan menjadi hari raya bagi
kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kavii dan yang datang sesudah
kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami dan
Engkaulah Pembeti rezeki Yang Paling Utama.’
Ketika
kaum Hawariyin bertanya kepada Isa bin Maram agar diturunkan makanan
dari langit, maka Nabi Isa berdiri dan meletakkan pakaian dari kulit wol
kemudian beliau melangkahkan kakinya dan meletakkan tangan kanannya di
atas tangan kirinya, lalu beliau menundukkan kepalanya dalam keadaan
khusuk dan tunduk kepada Allab SWT. Kemudian beliau membuka matanya dan
menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya bahkan mencapai
dadanya dan berkata: ‘Ya
Tuhan kami, turunhanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit…
Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu
kepadamu.
Lalu turunlah
makanan besar dari celah dua awan: satu awan di atasnya satu awan di
bawahnya. Saat itu manusia melihatnya. Nabi Isa berkata, “Ya Allah
jadikanlah makanan ini sebagai rahmat dan jangan menjadi fitnah.” Lalu
turunlah di depan Nabi Isa sapu tangan yang menutupinya kemudian Nabi
Isa tersungkur dalam keadaan sujud yang diikuti oleh kaum Hawariyin.
Mereka mendapati suatu bau yang harum yang belum pernah mereka temukan
sebelumnya.
Nabi Isa berkata,
“Siapakah di antara kalian yang paling ikhlas dan paling percaya kepada
Allah SWT agar ia membuka makanan itu sehingga kita bisa makan darinya
serta berzikir kepada Allah SWT atasnya serta bersyukur kepadanya.” Kaum
Hawariyin berkata: “Wahai Ruhullah sesungguhnya engkau lebih berhak
daripada kami dalam hal itu.”, maka Nabi Isa berdiri lalu beliau
mengambil wudhu dan salat. Kemudian beliau banyak berdoa sambil duduk di
sisi makanan itu dan membukanya. Tiba-tiba di atas makanan itu terdapat
ikan yang lezat yang tidak ada durinya. Nabi Isa ditanya: “Wahai
Ruhullah, apakah ini makanan dari dunia atau dari surga?” Nabi Isa
menjawab: “Bukankah Tuhan kalian melarang kalian untuk bertanya
pertanyaan semacam ini. Ia turun dari langit dan tidak ada makanan
sepertinya di dunia dan ia bukan berasal dari surga tetapi ia adalah
sesuatu yang Allah SWT ciptakan dengan kekuasaan yang luar biasa di mana
Dia cukup mengatakan “jadilah, maka jadilah.”
Para mufasir
berbeda pendapat sekitar bentuk makanan yang diturunkan kepada Isa,
apakah itu ikan atau daging? Apakah roti atau buah-buahan? Kami
memandang bahwa pembahasan-pembahasan ini kurang penting. Sesuatu yang
paling penting yang perlu kita perhatikan adalah apa yang dikatakan oleh
Nabi Isa, Sesungguhnya ia diciptakan oleh Allah SWT dengan kekuasaan
yang mengagumkan di mana Dia cukup mengatakan “Jadilah, maka jadilah
ia.”
Inilah
hakikat makanan tersebut. Ia merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT
yaitu suatu tanda yang Allah SWT mengancam bagi siapa yang menentangnya
Dia akan menyiksanya dengan azab yang belum pernah diterima oleh
seseorang pun di dunia. Para ulama berbeda pendapat apakah makanan
tersebut memang diturunkan atau tidak, tetapi menurut pendapat mayoritas
dan ini yang benar makanan tersebut memang diturunkan, sesuai dengan
firman Allah SWT: “Aku akan menurunkan hidangan itu bagimu. “
Dikatakan bahwa
ribuan pengikut Nabi Isa memakannya dan makanan tersebut tidak habis.
Setiap orang yang buta ia sembuh dari butanya dan setiap orang yang
belang ia sembuh dari belangnya akibat memakan hidangan itu. Alhasil,
setelah menyantap makananitu, orang yang sakit sembuh dari penyakitnya.
Maka hari turunnya makan itu dijadikan hari raya dari hari raya-hari
raya kaum Hawariyin dan para pengikut Nabi Isa. Kemudian berita dan
peristiwa turunnya makanan itu mulai hilang dan mulai dilupakan sehingga
kita tidak menemukan beritanya hari ini di Injil-Injil yang mereka
akui. Setelah peristiwa makanan yang Allah SWT ceritakan dalam surah
al-Maidah, Allah SWT menunjukkan kepada kita sikap lain dari Nabi Isa
bin Maryam. Allah SWT berkata setelah menceritakan kepada kita tentang
turunnya mukjizat makanan dari langit:
“Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan
selain Allah!’ Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang
ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang
gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada rnereka kecuali apa yang Engkau
tiepadaku (mengatakan)nya yaitu: ‘Sembahlah Allah, Tuhanku, dan
Tuhanmu,’ dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di
antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang
mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala
sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah
hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman: ‘lni
adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran
mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-selamanya; Allah ridha terhadap mereka
dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling
besar.’ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. ” (QS. al-Maidah: 116-120)
Dengan
ayat-ayat tersebut, Al-Qur’an menutup surah al-Maidah. Demikianlah
konteks Al-Qur’an berpindah secara mengejutkan dari turannya makanan
kepada sikap atau dialog antara Allah SWT dan Isa bin Maryam pada hari
kiamat. Allah SWT bertanya pada hari kiamat: ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?’
Para ahli ilmu
sepakat bahwa pertanyaan tersebut bukan bersifat pertanyaan mumi
meskipun tampak dalam bentuk pertanyaan karena Allah SWT mengetahui apa
yang dikatakan oleh Isa. Tentu yang dimaksud dengan pertanyaan itu
adalah sesuatu yang lain. Ada yang mengatakan bahwa Allah SWT bermaksud
memberitahu Isa bahwa kaumnya telah mengubah ajarannya sepeninggalnya.
Dan mereka telah mendapatkan fitnah. Ada lagi yang mengatakan bahwa
Allah SWT bermaksud dari pertanyaan itu untuk mencela orang-orang yang
mengubah akidah Nabi Isa setelah beliau tidak ada. Kami kira pertanyaan
tersebut memuat dua makna dan mencakup makna yang lain.
Allah SWT ingin
menyingkap dan memberitahu manusia dalam Kitab-Nya yang terakhir bahwa
Nabi Isa terlepas dari berbagai macam tuduhan, dan apa saja yang
dilakukan kaumnya sepeninggalnya. Konteks AI-Qur’an menunjukkan tentang
peristiwa gaib yang belum terjadi meskipun akan terjadi pada hari
kiamat. Oleh karena itu, Al-Qur’an menyampaikannya dalam bentuk fi’il madhi (kata
kerja bentuk lampau). Al-Qur’an menyampaikan berita gaib ini kepada
penduduk dunia agar mereka mengetahui hakikat Isa bin Maryam.
Allah SWT
bertanya kepadanya dan Isa bin Maryam menjawab. Sebagai nabi besar, Isa
tidak menjawab kecuali setelah ia mengatakan: ‘Maha Suci Engkau ya
Allah.’ Sebelum menjawab, Isa memulai dengan tasbih dan menyucikan Allah
SWT. Nabi Isa menampakkan kepatuhan dan ketundukan kepada kemuliaan
Allah SWT dan rasa takut terhadap azab-Nya. Qurthubi menyampaikan dalam
tafsirnya:
“Ketika
Allah SWT berkata kepada Isa, apakah engkau berkata kepada manusia
jadikanlah aku dan ibuku tuhan selain Allah, maka Isa tampak gemetar
terhadap perkataan itu sehingga ia mendengar rintihan dari
tulang-tulangnya di dalam jasadnya lalu ia berkata: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Tidak
mungkin aku memutuskan sesuatu yang tidak aku miliki, yang diriku tidak
dapat melakukannya. Aku hanya seorang hamba, bukan seorang yang
disembah: Jika aku pernah mengatakannya maha tentulah Enghau telah mengetahuinya.
Demikianlah
Nabi Isa menyampaikan jawabannya kepada Allah SWT dan ia mengembalikan
sesuatu kepada Allah SWT. Dan Allah SWT Maha Mengetahui terhadap apa
yang dikatakannya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Yakni,
Engkau mengetahui apa yang aku sembunyikan sedangkan aku tidak
mengetahui apa yang engkau sembunyikan. Engkau mengetahui rahasiaku dan
apa yang terlintas dalam hatiku dan aku tidak mengetahui apa yang Engkau
sembunyikan dari ilmu gaib-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Hanya
Engkau yang tahu terhadap hal-hal yang gaib. Hanya Engkau yang tahu
terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah mereka setelah Engkau angkat
aku dari bumi: ‘Aku tidak
pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau kepadaku
(mengatakan)nya yaitu: ‘Sembahlah Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu.’
Demikianlah
kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Isa bin Maryam. Dia hanya
mengajak manusia untuk hanya menyembah Allah SWT dan tidak
menyekutukan-Nya: Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka.
Sesungguhnya Engkau mengawasi mereka saat aku tinggal di tengah-tengah mereka dan mengajak mereka ke jalan yang benar. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Al-Wafat dalam Kitab Allah mempunyai tiga bentuk: Pertama, wafat dalam pengertian kematian, sebagaimana firman Allah SWT:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.” (QS. az-Zumar: 42)
Yakni ketika tercabutnya ajal. Kedua, bahwa wafat adalah tidur, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari. ” (QS. al-An’am: 60)
Yakni yang menidurkan kalian. Ketiga, wafat berarti pengangkatan, sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai Isa, sesungguhnya Aku yang menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku. ” (QS. Ali ‘Imran: 55)
Demikianlah
Isa terbebas dari apa yang mereka katakan dan apa yang mereka nisbatkan
kepadanya. Isa mengumumkan bahwa dakwahnya tidak lebih dari sekadar
ajakan untuk bertahuid dan tidak keluar dari kerangka Islam yang diakui
oleh pengikutnya. Kemudian Isa kembali menyampaikan pembicaraannya dan
meminta belas kasihan kepada Allah SWT: Jika Engkau rnenyiksa mereka, makasesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Tidak
seorang pun dari makhluk yang mempunyai kekuasaan di atas-Mu dan tidak
ada Pencipta selain-Mu. Maha Suci Engkau dan tiada sekutu bagi-Mu dalam
kerajaan dan kekuasaan. Pada akhirnya, mereka adalah hamba-Mu dan
seorang hamba tidak memiliki apa-apa di hadapan tuannya kecuali
kepatuhan: Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’
Isa
tidak mengatakan jika Engkau mengampuni mereka, maka Engkau Maha
Pengampun dan Maha Pengasih. Jadi, jawaban Isa terfokus pada penyerahan
diri dan kepatuhan serta tunduk kepada kemuliaan Allah SWT dan
kebesaran-Nya. Para pengikut Nabi Isa adalah hamba-hamba Allah SWT yang
patuh. Jika Allah SWT berkehendak, maka Dia akan menyiksa mereka sesuai
dengan siksaan yang layak mereka terima, dan jika Dia berkehendak, maka
Dia akan mengampuni mereka karena Dia mengetahui karena mereka memang
layak untuk mendapatkan ampunan. Dengan penyerahan yang mutlak ini, Isa
menyampaikan jawaban atas pertanyaan Allah SWT dan beliau berlepas diri
dari apa yang dikatakan oleh kaumnya sepeninggalnya. Isa
menyampaikan—pada awal pembicaraannya—bahwa hanya Allah SWT yang patut
disembah, dan pada akhir pembicaraannya Isa menyampaikan penyerahan
dirinya kepada Allah SWT. Allah berfirman: ‘Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.
Allah
SWT memuji ketulusan Isa, dan karena dialog tersebut terjadi pada hari
kiamat, Allah SWT berfirman: “Hari ini adalah hari kiamat di mana
orang-orang yang benar akan dapat mengambil manfaat dari kebenaran
mereka di dunia. Kebenaran mereka di sana akan mereka temukan balasannya
yang berupa rahmat di sini. “Bagi
mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya selama-selamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun
ridha terhadap-Nya. “
Demikianlah
balasan orang-orang yang benar, surga. Dan ada balasan yang lebih baik
dari surga, yaitu kepuasan (ridha) seorang hamba terhadap Allah SWT dan
keridhaan Allah SWT terhadap hamba. Pengertian kepuasaan seorang hamba
adalah kegembiraannya terhadap penyembahan kepada Allah SWT sedangkan
pengertian keridhaan Allah SWT terhadap hamba-Nya adalah rahmat yang
diberikan-Nya kepada mereka: Itulah keberuntungan yang paling besar.’ Setelah itu Allah SWT, memberitahukan hakikat Isa dan seluruh nabi-Nya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Allah SWT adalah Penguasa satu-satunya dan Dia Pencipta satu-satunya. Selain-Nya adalah hamba.
Isa terus
melangsungkan dakwahnya sehingga kejahatan dan keburukan mengetahui
bahwa singgasana mereka terancam hancur. Lalu pasukan keburukan bergerak
untuk menangkapnya. Orang-orang Yahudi menyakitinya dan menuduhnya
dengan berbagai macam tuduhan. Isa dikatakan sebagai penyihir dan
sebagai orang yang mengubah syariat dan mereka menisbatkan kekuatannya
yang luar biasa kepada kekuatan setan. Ketika mereka tidak lagi memiliki
tipu daya yang dapat melumpuhkan Nabi Isa dan mereka melihat
orang-orang yang lemah dan orang-orang fakir berkumpul di sekitarnya,
maka mereka mulai membikin suatu, makar. Mereka mempengaruhi orang-orang
Romawi.
Mula-mula
pemerintahan Romawi tidak turut campur karena menganggap bahwa
perselisihan-perselisihan antara orang-orang Yahudi adalah perselisihan
yang terjadi demi memperebutkan kepentingan sesama mereka. Lalu
diadakanlah majelis Sanhadurim (yaitu majelis undang-undang
tertinggi dari kalangan Yahudi). Mereka berkumpul untuk membuat
persekongkolan demi menyingkirkan Isa. Persekongkolan itu mengambil
bentuk yang baru.
Ketika
orang-orang Yahudi tidak mampu memerangi Nabi Isa, mereka berpikir untuk
membunuhnya. Mulailah para ketua pendeta Yahudi bermusyawarah untuk
membuat suatu kesimpulan tentang cara yang mereka lakukan untuk
menangkap Nabi Isa yang tidak menirnbulkan kegaduhan di tengah-tengah
masyarakat.
Ketika para
kepala Yahudi bermusyarah, maka salah seorang dari murid al-Masih yang
dua belas pergi kepada mereka, yaitu Yahuda al-Iskhriyutha. Ia berkata
kepada mereka, “Apa yang kalian berikan jika aku berhasil menyerahkannya
kepada kalian.”
“Meja
penghianatan telah digelar di antara mereka dan dimulailah perundingan.
Orang-orang Yahudi berusaha mencari titik temu dan mereka sepakat untuk
memberinya tiga puluh lempeng dari perak. Ini adalah harga yang biasa
mereka lakukan untuk membeli seorang budak sesuai dengan syariat
Yahudi.” (penjelasan Injil Mata)
Selesailah
konspirasi yang menetapkan untuk menangkap al-Masih dan kemudian
membunuhnya. Dikatakan bahwa kepala pendeta Yahudi merobek-robek bajunya
secara dramatis di suatu pertemuan agama dan ia berteriak, “sungguh Isa
telah kafir.” Pero bekan baju dalam tradisi orang-orang Yahudi
dilakukan ketika mereka mendengar atau melihat sesuatu yang mengandung
penghinaan terhadap Allah. Para pendeta Yahudi tidak memiliki kekuasaan
untuk menetapkan hukum bunuh pada saat itu. Semua itu dilakukan oleh
kekuasaan penguasa Romawai. Tetapi tampaknya mereka berhasil meyakinkan
kekuasaan Romawi bahwa Isa telah membuat rencana untuk melengserkan
kekuasaan Romawi atau mereka berhasil meyakinkan penguasa Romawi bahwa
masalah yang mereka hadapi murni berkaitan dengan tradisi mereka dan
keyakinan mereka. Kemudian mereka menyarankan agar penguasa tidak turut
campur atas apa yang mereka tetapkan. Demikianlah konspirasi itu telah
ditetapkan dan telah diputuskan bahwa Isa harus ditangkap dan kemudian
disalib.
Empat Injil yang
diakui oleh kalangan Masehi saat ini membicarakan tentang proses
pembunuhan Isa di mana beliau disalib kemudian beliau bangkit dari
kematiannya dan naik ke langit. Semua Injil ini sepakat tentang proses
pengyaliban Isa dan kematiannya, sebagaimana mereka sepakat tentang
tabiat Isa yang mengandung ketuhanan yang bercampur dengan tabiatnya
sebagai manusia. Kami akan menyampaikan keyakinan orang-orang Masehi
berkaitan dengan Isa sebagaimana diyakini oleh mayoritas kaum Nasrani
saat ini, kemudian kami akan mengemukakan keyakinan Islam tentang Isa
sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur’an al-Karim dan disampaikan oleh
para ulama dan disebutkan dalam hadis. Setelah itu, kita akan
membicarakan hal-hal yang perlu dibicarakan berkaitan hubungan antara
kaum Muslim dan kaum Masehi serta kaitannya dengan akidah mereka.
Injil Mata mengatakan, “Isa ditangkap dan majelis Sanhadirum memutuskan
bahwa ia harus dibunuh. Kemudian para anggota mejelis itu dari
kepala-kepala para pendeta dan para tokoh mereka menghinanya dan
mengejeknya serta berbuat aniaya terhadapnya bahkan mereka meludahi
wajahnya dan menempelengnya. Sambil mengejek mereka berkata,
“beritahukanlah wahai al-Masih siapa yang memukulrnu.” Setelah itu
al-Masih ditangkap dan ia ditetapkan untuk dibunuh.
Adalah sudah
menjadi tradisi di kalangan orang-orang Romawi untuk mencambuk orang
yang ditetapkan untuk dibunuh sebelum pelaksaan hukum tersebut. Oleh
karena itu, para penguasa Romawi menetapkan agar al-Masih dicambuk
terlebih dahulu. Sedangkan syariat Musa menetapkan agar cambukan itu
tidak melebihi empat puluh kali, namun orang-orang Romawi tidak berhenti
pada batasan ini bahkan mereka terus mencambuk korban dengan cambukan
yang kejam dan terus-menerus sehingga punggung yang bersangkutan hampir
saja patah dan napasnya nyaris tinggal sedikit. Setelah itu, mereka
mulai melaksanakan hukum bunuh kepadanya. Demikianlah yang dilakukan
oleh tentara terhadap penyelamat kita. (Injil Mata 26)
Selesailah proses
pecambukan, lalu penguasa Romawi menyerahkan Isa kepada tentara agar
mereka menyalibnya. Kemudian para tentara membuat sesuatu hal yang
bermaksud untuk menghibur. Mereka mencabut pakaian Isa yang dilumuri
dengan darah yang ada luka di tubuhnya setelah proses pencabukan, lalu
mereka memakaikan pakaian merah dengan maksud untuk mengejeknya. Para
raja biasanya memakai pakaian merah. Mereka terus menghinanya. Mereka
memakaikannya mahkota dari duri dan meletakkannya di atas kepalanya.
(Injil Mata 26)
Akhirnya, mereka
sampai pada suatu tempat yang bernama Jaljatsah, yaitu suatu tempat di
luar pagar Ursyilim. Tradisi Yahudi menetapkan untuk memberi satu gelas
khamer yang bercampur dengan minyak wangi bagi orang yang ditetapkan
untuk dihukum mati sebelum pelaksanaan hukum. Ini dimaksudkan sebagai
alat pembius untuk meringankan penderitaannya. Tetapi para tentara
menentang tradisi ini dan mereka memberi al-Masih satu gelas dari cuka
yang bercampur dengan sesuatu yang pahit.” (Injil Mata 26)
Teks Injil mata
mengatakan (cetakan tahun 1972) pada pasal kedua puluh tujuh: “Sehingga
mereka sampai ke suatu tempat yang bernama Jaljatsah lalu mereka
memberinya minuman keras yang bercampur dengan empedu agar ia
meminumnya. Ketika ia merasakannya, ia enggan untuk meminumnya. Kemudian
mereka menyalibnya. Kemudian mereka duduk di sana menjaganya dan
meletakkan di atas kepalanya suatu tuduhan yang tertulis: Ini adalah
Yasu’, penguasa Yahudi. Mereka benar-benar menyalibnya bersama Yasim.
Salah seorang dari keduanya di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah
kirinya. Lalu orang-orang yang lewat di tempat itu mencelanya dan
berkata, “wahai yang menghancurkan tempat sembahan dan yang membangunnya
pada tiga hari, selamatkanlah dirimu dan jika engkau adalah anak Allah,
maka turunlah dari tempat penyaliban itu.”
Demikianlah
sebagian riwayat kaum Masehi tentang proses penyalipan serta penafsiran
mereka berkaitan dengannya. Kami telah menukilnya tanpa memperhatikan
tentang catatan yang terdapat dalam Injil Mata yang terbaru, yaitu ia
merupakan catatan yang paling baik dalam bentuknya yang terkumpul dari
ulama-ulama mereka dan tokoh-tokoh agama Masehi sehingga ia lebih mudah
untuk dipahami dan lebih sederhana. Kami telah mengemukakan sebagiannya
kepada Anda dalam halaman-halaman ini.
Sementara itu,
dalam akidah Islam disebutkan suatu riwayat yang berbeda dengan riwayat
yang ada dalam Injil-Injil yang terdapat sekarang, baik yang berhubungan
dengan kehidupan akhir yang dialami oleh Isa maupun tabiat Isa yang
merupakan sumber perselisihan setelah pengangkatannya. Al-Qur’an
al-Karim menceritakan bahwa Allah SWT tidak menghendaki Bani Israil
untuk membunuh Isa atau menyalibnya tetapi Allah SWT menyelamatkannya
dari kekufuran mereka lalu mengangkatnya di sisi-Nya. Mereka tidak
berhasil membunuhnya dan tidak berhasil menyalibnya tetapi ia
diserupakan seperti orang-orang di antara mereka. Allah SWT berfirman:
“Dan
karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa
putra Maryam, Rasul Allah,’ padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak
pula menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh ialah arang yang diserupakan
dengan Isa bagi meeha. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham
tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang
dibunuh itu. Mereka tidah mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh
itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak pula yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah
telah mengangkat Isa kepadanya.” (QS. an-Nisa’: 157-158)
Dan Allah SWT juga berflrman:
“(Ingatlah),
ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan
karnu pada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan
kamu dari orang-orang yang kafir. ” (QS. Ali ‘Imran: 55)
Para ulama-ulama
Islam sepakat atas hal itu dan mereka berselisih pendapat tentang cara
beragumentasi terhadap apa yang mereka yakini sebagai kebenaran.
Sebagian mereka meyakini nas-nas Al-Qur’an saja yang menyebut tentang
Isa al-Masih dan mereka tidak mendukungnya atau memperkuatnya dengan
kitab-kitab lain selain Al-Qur’an. Kedua metode tersebut memiliki titik
kekuatan tersendiri. Orang yang berpegangan dengan pendapat yang pertama
mengatakan bahwa Nabi melarang untuk membahas kitab-kitab pegangan kaum
Yahudi dan kaum Nasrani. Bagi kaum itu agama mereka dan bagi kita agama
kita dan hanya Allah SWT yang akan memutuskan segala perselisihan di
antara kita pada hari kiamat.
Sedangkan
orang-orang yang berpegangan dengan cara yang kedua mengatakan bahwa
larangan Nabi tersebut terjadi pada permulaan masa Islam di mana kaum
Muslim sangat dekat dengan masa jahiliah. Nabi memerintahkan mereka agar
tidak disibukkan dengan kitab-kitab lain selain kitab mereka, yakni
Al-Qur’an. Yang demikian ini dimaksudkan agar mereka memiliki akidah
yang kuat dan keyakinan mereka benar-benar tertanam dalam diri mereka,
Tetapi ilmu dan pandangan ilmiah menetapkan bahwa seorang yang alim
harus banyak menggali kitab-kitab kuno dalam rangka mengetahui kebenaran
dan jika ia mendapati sesuatu yang sesuai dengan apa yang didapatinya
dengan kebenaran, maka hatinya akan lebih merasa tenang dan damai.
Berkaitan dengan kelompok yang pertama yang merasa cukup dengan
Al-Qur’an, kita tidak menemukan perincian-perincian yang mendalam
berkenaan dengan usaha penangkapan Isa, bagaimana proses pengangkatannya
ke langit, di mana Isa diserupakan dengan salah seorang di antara
mereka, bagaimana dia diserupakan dengan salah seorang di antara mereka.
Allah SWT telah menyerupakannya dengan salah seorang di antara mereka
sedangkan Nabi Isa diangkat ke langit. Demikianlah penjelasan singkat
mereka, tidak ada penambahan lagi. Sedangkan kelompok yang kedua, mereka
melontarkan kisah secara lengkap. Mereka mengatakan bahwa Allah SWT
menyerupakan Isa dengan Yahuda. Yahuda ini adalah Yahuda al-Askhariyutha
yang menurut Injil ia menjualnya kepada musuh-musuhnya dan menunjukkan
kepada mereka tentang keberadaannya. Ia adalah seorang muridnya yang
terpilih. Demikian ini sesuai dengan Injil Barnabas di mana disebutkan
di dalamnya: “Ketika para tentara mendekat bersama Yahuda di tempat yang
di situ terdapat Yasu’, maka Yasu’ mendengar kedatangan segerombolan
orang yang menuju tempatnya. Oleh karena itu, ia segera pergi ke rumah
dalam keadaan takut. Di dalam rumah itu terdapat sebelas orang yang
tidur. Ketika Allah melihat bahaya akan mengancam hamba-Nya, maka Dia
merintahkan Jibril, Mikail, dan Rafail (Israfil), serta Idril (Izrail)
yang mereka semua adalah para utusan-Nya untuk mengambil Yasu’ dari
dunia. Lalu datanglah malaikat-malaikat yang suci di mana mereka
mengambil Yasu’ dari pintu yang dekat dengan arah selatan. Mereka
membawanya dan meletakkannyadi langit yang ketiga dengan disertai para
malaikat yang selalu bertasbih kepada Allah selama-lamanya. Yahuda masuk
secara paksa ke kamar yang di situlah Yasu’ diangkat ke langit. Saat
itu murid-murid sedang tidur semuanya, lalu Allah mendatangkan keajaiban
yang luar biasa di mana Yahuda berubah cara berbicaranya dan juga
wajahnya. Ia sangat mirip sekali dengan Yasu’ sehingga kami mengiranya
Yasu’. Adapun ia (Yahuda) setelah membangunkan kami, ia mencari-cari di
mana si guru berada. Oleh karena itu, kami merasa heran dan kami
menjawab, “bukankah engkau wahai tuanku guru kami, apakah sekarang
engkau telah melupakan kami?” Demikianlah kisah yang terdapat dalam
Injil Barnabas. Allah SWT berfirman:
“Al-Masih
putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang Sesungguhnya telah berlalu
sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar,
kedua-duanya biasa memakan makanan.” (QS. al-Maidah: 75)
Para ulama
berkata, “Al-Masih dinamakan al-Masih karena ia mengusap bumi dan
membersihkannya serta usahanya untuk menyelamatkan agama dari fitnah di
zaman itu karena saking hebatnya kebohongan orang-orang Yahudi kepadanya
dan bagaimana usaha mereka untuk menciptakan dusta padanya dan kepada
ibunya as.” Banyak ulama yang meriwayatkan tentang kesucian spiritual
dari Nabi Isa. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau
menceritakan tentang al-Masih sebagai berikut: “Isa melihat seorang
lelaki yang mencuri lalu ia berkata: “Wahai si fulan apakah engkau
mencuri?” Orang itu berkata: “Tidak, demi Allah aku tidak mencuri,” Isa
berkata: “Aku beriman kepada Allah SWT dan pengelihatanku telah
berbohong.” Ini menunjukkan kesucian ruhani Isa di mana ia lebih memilih
sumpah orang itu atas apa yang disaksikannya. Ia membayangkan bahwa
orang tersebut tidak akan bersumpah dan membawa nama Allah SWT yang Maha
Besar lalu ia berdusta sehingga ia menerima pernyataannya dan ia
kembali kepada dirinya sendiri sambil berkata: “Aku beriman kepada Allah
SWT, yakni aku mempercayaimu dan mataku telah berbohong karena engkau
telah bersumpah.” Ada riwayat lagi yang mengatakan bahwa suatu hari Nabi
Isa berjalan bersama sahabatnya dan mereka melewati bangkai anjing yang
busuk baunya, lalu sahabat-sahabat Isa sangat terpukul dan sangat
menderita dengan bau anjing itu. Melihat sikap mereka, Isa berkata:
“Lihatlah betapa putih giginya.”
Isa ingin
mengajari manusia bagaimana mereka menghadapi keburukan di mana Nabi Isa
menekankan agar mereka lebih melihat kepada keindahan dan kebaikan.
Dakwah Nabi Nabi Isa merupakan puncak dari ketinggian ruhani dan
idealisme yang mengagumkan di mana Beliau lebih menekankan kebaikan
daripada keburukan. Rasulullah berkata: “Semua para nabi adalah saudara,
agama mereka satu sedangkan mereka dilahirkan dari berbagai macam ibu
dan aku adalah manusia yang utama begitu juga Isa bin Maryam di mana
tidak ada nabi setelahku dan sesudahnya.” Dalam berbagai riwayat
disebutkan bahwa Nabi Isa akan turun pada akhir zaman. Islam sangat
memberikan penghormatan kepada Isa yang sesuai dengan kedudukannya
sebagai salah satu nabi ulul azmi yang besar. Islam menamakannya Rasulullah dan Kalimatullah yang telah diberikan kepada Maryam. Allah SWT berfirman:
“Wahai
ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah
hamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya
al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang terjadi
dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya
dan janganlah kamu mengatakan: ‘(Tuhan itu) tiga.’ Berhentilah dari
ucapan itu. (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha
Esa, Maha Suci dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi
adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah untuk menjadi Pemelihara. Al-Masih
sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula
enggan) malaikat malaikat yang terdekat (kepada Alah). Barangsiapa yang
enggan dari menyernbah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan
mengumpulkan mereka semua kepadanya. Adapun orang-orang yang beriman dan
berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan
menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang
enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan
siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka,
pelindung dan penolong selain dari Allah. ” (QS. an-Nisa’: 171- 173)
Ibnu Katsir berkata dalam Qhisasul Anbiya’: Para
pengikut Nabi Isa berselisih pendapat setelah Nabi Isa diangkat ke
langit. Sebagian mereka mengatakan, di tengah-tengah kita ada hamba
Allah SWT dan rasul-Nya (Ariyus). Sebagian lagi mengatakan, dia adalah
Allah. Yang lain lagi mengatakan, dia adalah anak Allah. Mereka
berselisih pendapat tentang Injil yang menyebutkan berbagai kebo hongan
di mana terdapat di dalamnya penambahan, pengurangan, dan pergantian.
Al-Qur’an al-Karim telah membahas persoalan ketuhanan. Ia menjelaskan
bahwa Allah SWT Maha Suci dari segala sekutu dan anak dan segala hal
yang menyerupai-Nya serta segala bentuk ingkarnasi, kejauhan, kedekatan
dan pencapaian pandangan mata. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah:
“Dia-lah Allah, YangMahaEsa.’Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepadanya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan,
dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. ” (QS. al-Ikhlash: 1-4)
Dan
tentang Isa as Allah berfirman: “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di
sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam
dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: ‘Jadilah’ (seorang
manusia), maka jadilah ia.” (QS. Ali ‘Imran: 59)
“Mereka
(orang-orang kafir) berkata: Allah mempunyai anah.’ Maha Suci Allah,
bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua
tunduk kepadanya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia
berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan
kepadanya: ‘Jadilah’, lalujadilah ia.” (QS. al-Baqarah: 116-117)
“Orang-orang
Yahudi berkata: ‘Uzair itu putra Allah’ dan orang-orang Nasrani
berhata: Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu.
Mereka dilaknat oleh Allah; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. at-Taubah: 30)
Nas tersebut
mengisyaratkan akidah orang-orang Mesir dan orang-orang seperti mereka
dari umat-umat yang terdahulu di mana akidah mereka terfokus pada
keyakinan penyaliban Isa, tentang tebusan dan kebangkitan Tuhan yang
disembelih serta penentangannya terhadap para pengikutnya setelah
kematiannya.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putra Maryam.‘ Katakanlah:
‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendah Allah,
jika Dia hendak membinasakan al-Masih putra Maryam itu beserta ibunya
dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?’ Kepunyaan
Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apayang ada di antara keduanya;
Dia menciptakan apa yang dihehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS. al-Maidah: 17)
“Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: Allah salah seorang dari yang
tiga,’ padahal sekali-kali tidak ada selain dari Tuhan YangEsa.” (QS. al-Maidah: 73)
Demikianlah
Al-Qur’an al-Karim menyebutkan sikap berbagai aliran yang saling
berlawanan yang tumbuh setelah pengangkatan al-Masih. Al-Qur’an
menjelaskan bahwa al-Masih adalah hamba Allah SWT dan seorang rasul yang
diutus kepada Bani Israil. Kata hamba dan rasul adalah kata yang sangat
jelas artinya, adapun yang dimaksud dengan al-Kalimah dan ar-Ruh, maka kedua kata tersebut perlu dijelaskan. Kaum Muslim memahami bahwa al-Kalimah adalah petunjuk Allah SWT yang diberikan-Nya kepada Maryam sedangkan ar-Ruh adalah
menunjukkan atau mengisyaratkan kepada Ruh Kudus, yaitu Jibril as.
Allah SWT telah menguatkannya atau menguatkan Nabi Isa dengan ruh yakni
Jibril:
“Dan (ingatlah) ketiha Aku dukung kamu dengan Ruhul Kudus.” (QS. al-Maidah: 110)
Setelah
mengemukakan keyakinan kaum Masehi tentang karakter Nabi Isa dan akhir
dari kehidupannya dan setelah menjelaskan kebenaran yang Allah SWT
ceritakan kepada kita tentang karakter tersebut dan akhir dari kehidupan
yang dialami oleh Nabi Isa, kita ingin mengetahui apa yang harus
dilakukan oleh kaum Muslim dalam hubungan mereka dengan orang-orang
Masehi serta keyakinan mereka. Islam menetapkan atau menyampaikan
nas-nas yang jelas yang mengkhususkan agama Masehi—di antara agama-agama
yang lain—dengan kecintaan. Al-Qu’ran mengingkari ketuhanan al-Masih;
ia juga mengingkari penyaliban dan tebusan dosa yang dilakukannya. Namun
Al-Qur’an menegaskan dalam nasnya bahwa agama Nasrani merupakan agama
yang lebih dekat kecintaannya kepada Islam. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap
orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya
dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian itu disebabkan
karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat
pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak
menyombongkan diri.” (QS. al-Maidah: 82)
Allah SWT memuji para pengikut al-Masih yang berjalan di atas petunjuknya. Allah SWT berfirman:
“Dan
Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan
kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah (keadaan tidak
menikah dan mengurung diri di biara) padahal kami tidak mewajibkannya
kepada mereka tetapi mereka sendirilah yang mengada-adakannya untuk
mencarai keridhaan Allah.” (QS. al-Hadid: 27)
Tidak terdapat
kontradiksi dari dua sikap tersebut. Pengingkaran Al-Qur’an terhadap
ketuhanan al-Masih dan pengakuannya terhadap kecintaan kaum Nasrani
serta pujiannya terhadap orang-orang yang mengikuti Nabi Isa mengandung
makna lebih dari satu: Pertama, bahwa Masehi berdasarkan pada agama
Tauhid dan sangat sulit bagi para pengikutnya untuk meninggalkan tauhid,
dan hanya Allah SWT yang mengakui hakikat apa yang terpendam dalam
hati; kedua, dalam kalangan orang-orang Nasrani terdapat para pendeta
dan para rahib yang tidak bersikap congkak di hadapan Allah SWT tetapi
mereka sangat patuh dan tunduk kepadanya; ketiga, sebagian pengikut Nabi
Isa memiliki hati yang dipenuhi dengan kasih sayang dan rahmat. Tentu
rahmat dan kasih sayang tersebut tidak tumbuh kecuali dari keimanan
terhadap hari akhir. Allah SWT telah menetapkan perintah-Nya kepada kaum
Muslim agar mereka memperlakukan ahlul kitab dengan perlakuan
yang mulia dan baik, sebagaimana Islam menjamin kebebasan untuk
menentukan keyakinan pada setiap manusia. Allah SWT berfirman:
“Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus: 99)
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (QS. al-Baqarah: 256)
“Katakanlah:
‘Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidah kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun
dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada
mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan
diri (kepada Allah).’” (QS. Ali ‘Imran: 64)
Kita perhatikan
bahwa ayat-ayat tersebut berbicara tentang cara memperlakukan kaum
Masehi sebagai individu sebagaimana ia berbicara tentang bagaimana kita
memperlakukan keyakinan mereka. Sehubungan dengan kaum Masehi sebagai
individu, kita menyaksikan ayat-ayat tersebut memerintahkan untuk
membalas kecintaan yang mereka perlihatkan di mana nas tersebut dengan
tegas mengatakan bahwa mereka lebih dekat kecintaannya kepada
orang-orang yang beriman. Jika Allah SWT yang menegaskan hal tersebut,
maka orang-orang Muslim harus membalas kebaikan dan kecintaan yang
ditunjukkan oleh kaum Nasrani. Adapun sehubungan dengan keyakinan
mereka, di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang melarang untuk
memaksa manusia dalam bentuk apa pun. Allah SWT berfirman:
“Dan
katakanlah: ‘Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang
ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir
biarlah ia kafir.” (QS. al-Kahfi: 29)
Yang demikian
itu, karena keimanan yang didahului dengan paksaan adalah bukan keimanan
karena ia berarti mencabut ikhtiar atau kebebasan manusia, padahal itu
adalah syarat dari keimanan. Dan barangkali inilah yang menunjukkan
kesempumaan Islam dilihat dari sikapnya yang demikian indah. Kami kira
tanpa kita harus memaksakan tafsiran kita kepada ayat-ayat tersebut dan
memohon kepada Allah SWT dari kesalahan dan kebodohan bahwa Islam dengan
sikapnya itu ingin menjauhkan para pengikutnya dari kalangan awam dari
perdebatan yang panjang dan melelahkan seputar keyakinan orang lain.
Tentu perdebatan tersebut tidak akan berujung dan akan menjadi seperti
debat kusir saja. Namun tugas tersebut hanya diemban oleh para ulama, di
mana mereka membahas sebagaimana mereka kehendaki berbagai
keyakinan-keyakinan keberagamaan, sedangkan orang-orang awam tidak
diberi tanggung jawab dalam hal itu. Lagi pula, perselisihan antara
keyakinan dan aliran-aliran di kalangan Masehi dan kalangan Yahudi jika
melibatkan orang-orang awam, maka itu hanya memboroskan waktu dan hanya
membuat lelah saja.
Islam akan
kembali menjadi asing dan akan kembali menjadi asing seperti pertama
kali terbit. Dalam suasana keasingan Islam yang pertama, orang-orang
Muslim berhasil membangun suatu individu Muslim yang kokoh. Dan ketika
bangunan tersebut telah selesai, maka sempurnalah pembangunan
pemerintahan Islam. Kita tidak mendengar bahwa salah seorang di antara
mereka terlibat dalam perdebatan yang sengit yang tidak berujung sekitar
keyakinan orang lain. Sesungguhnya memberi petunjuk kepada orang lain
sehingga orang tersebut engetahui jalan menuju Allah SWT adalah
perbuatan yang indah, tetapi hidayah tersebut didahului dengan tekad
seseorang untuk memberikan petunjuk kepada dirinya sendiri. Seandainya
orang-orang Islam membimbing mereka menuju jalan Allah SWT niscaya Allah
SWT memberi petunjuk melalui mereka siapa saja yang dikehendaki dari
hamba-hamba-Nya.
Al-Qur’an
menetapkan dua mukjizat kepada Nabi Isa yang tidak disebutkan dalam
kitab Injil: pertama mukjizat yang berupa pembicaraannya saat ia masih
menyusui dibuaian. Dan yang kedua mukjizat makanan yang turun dari
langit kepada kaum Hawariyin. Sebagaimana Al-Qur’an menetapkan kemuliaan
yang diperoleh oleh Nabi Isa saat ia diselamatkan dari tangan-tangan
jahat orang-orang Yahudi yang ingin menyiksanya atau membunuhnya
sehingga Nabi Isa terselamatkan dan dia diangkat ke langit. Rasulullah
saw mewasiatkan kepada sahabatnya agar mereka memperlakukan orang-orang
Masehi dengan penuh kebaikan, bahkan beliau menikahi Maria al-Qibthiya.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang lelaki dari Bani
Salim bin Auf yang bernama al-Hasin mempunyai dua orang anak yang masih
Kristen, lalu ia masuk Islam dan bertanya kepada Rasulullah saw
bagaimana seandainya ia harus memaksa kedua anaknya untuk memeluk Islam
sedangkan mereka berdua menolak agama lain selain agama Masehi? Kemudian
Allah SWT menurunkan ayat yang berbunyi:
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam).” (QS. al-Baqarah: 256)
Ketika para
utusan Najran dari kalangan kaum Masehi datang ke Madinah untuk
berunding dengan Nabi, maka beliau memberi mereka setengah dari
mesjidnya agar mereka dapat melaksanakan salat dengan cara mereka di
dalamnya. Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri untuk melakukan salat
kepada seseorang jenazah lalu dikatakan kepadanya bahwa ia adalah
jenazah Yahudi. Kemudian Rasulullah menjawab: “Bukankah ia adalah
manusia.” Dalam kesempatan lain Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa
yang mengganggu secara aniaya seorang Yahudi atau seorang Nasrani, maka
aku akan jadi musuhnya pada hari kiamat.” Terkadang kekuasaan akan
langgeng meskipun disertai dengan kekufuran tetapi ia tidak akan abadi
ketika disertai dengan kelaliman.
Para ulama Islam
berselisih pendapat berkaitan dengan keadaan Nabi Isa setelah
pengangkatannya. Mereka sepakat bahwa beliau tidak disalib tetapi Allah
SWT mengangkatnya di sisi-Nya. Tetapi ketika ia tidak disalib, maka
bagaimana keadaannya setelah itu: apakah ia masih hidup, ataukah ia mati
seperti matinya nabi yang lain? Mayoritas mengatakan bahwa Allah SWT
mengangkat Isa dengan fisiknya dan ruhnya di sisi-Nya. Mereka mengambil
zahir dari firman-Nya:
“Tetapi Allah mengangkatnya di sisi-Nya.” (QS. an-Nisa’: 158)
Juga sebagian
hadis yang mendukung hal tersebut. Sementara itu, kelompok yang lain
dari kalangan mufasirin, dan ini adalah kelompok yang minoritas, mereka
mengatakan bahwa Nabi Isa hidup sehingga Allah SWT mematikannya
sebagaimana Dia mematikan nabi-nabi-Nya lalu Dia mengangkat ruhnya di
sisi-Nya sebagaimana ruh para nabi diangkat, begitu juga ruh para
shidiqin (orang-orang yang benar) dan syuhada. Mereka mengambil zahir
firman-Nya:
“(Ingatlah)
ketika Allah berfirman: ‘Hai ha, sesungguhnya Aku akan menyampaikan
kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta
membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir.” (QS. Ali ‘Imran: 55)
Kami sendiri
lebih memilih pendapat yang pertama karena ia sangat sesuai—sebagai
mukjizat yang luar biasa—dengan kelahiran Isa di mana kelahiran tersebut
dipenuhi dengan mukjizat yang luar biasa, juga sesuai dengan
kehidupannya dan kesuciannya. Jadi, kedua-duanya merupakan mukjizat yang
luar biasa.♦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar