Pada hakikatnya, esensi syukur adalah bersyukur kepada Allah, sebab
apapun nikmat yang kita dapatkan melalui manusia pada sejatinya Allah
lah yang memberinya. Hanya saja ia melalui perantara manusia.
Akan tetapi perlu diingat, bahwasanya Rasulullah Saw pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من لم يشكر الناس لم يشكر الله
“Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia belum bisa bersyukur kepada Allah”.
Hadis ini menjelaskan bahwasanya betapa pentingnya menghargai manusia, betapa mulianya manusia itu di hadapan Allah. Sehingga Allah belum bisa menerima rasa syukur manusia sebelum ia berterimakasih dulu kepada manusia yang menjadi perantara sampainya sebuah kenikmatan itu.
Memuji Allah merupakan sesuatu yang niscaya dan wajib. Karena di dalam syukur terdapat sebuah ketaatan yang mendalam, ada semacam kerendahan dan kesadaran diri bahwasanya segala sesuatu yang ada di dunia milik Allah yang patut disyukuri dan tidak dijadikan kebanggaan tersendiri.
Maka tidak heran, jika banyak hadis yang menyatakan bahwa membaca Alhamdulillah atau mengucapkan syukur itu memiliki keutamaan yang luar biasa. Yakin atau tidak, mengucapkan rasa syukur memang membuat hati tentram, lega, dan terasa lebih ringan untuk berbuat baik kepada orang lain. Karena di dalam syukur ada semacam tanggung jawab moral. Jika kita bisa menerima lantas kenapa kita tidak bisa memberi. Di situlah kadang bahwasanya rasa syukur merupakan amunisi baru untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Namun, luar biasanya rasa syukur itu ternyata masih memiliki puncaknya yang cukup mengesankan; serta memberikan pelajaran kepada kita semua. Kenapa bisa demikian?
Berikut ini riwayat kisah Nabi Daud As yang dikutip dari kitab Qurrotul ‘Uyun, hal. 5,
عن سيدنا داود عليه السلام، أنه قال: “الهى إبن ادم ليس فيه شعرة إلا
وفوقها نعمة وتحتها نعمة، فمن أين يكا فئها؟ فأوحى الله إليه يا داود إنى
أعطى لكثير وأرضى باليسير وأن شكر ذلك أن تعلم أن ما بك من نعمة فمنى” وقيل
أنه قال: ” كيف أشكرك والشكر نعمة منك علي؟ الأن شكرتنى يا داود.
Dari Sayyidina Daud As, bahwasanya dia berkata: Wahai Tuhanku, anak Adam, tidak memiliki satu rambut yang ada di dirinya kecuali di atas rambut itu ada sebuah kenikmatan dan di bawahnya pun ada kenikmatan, lantas bagaimana bisa membalasnya? Kemudian Allah memberikan wahyu kepada Daud, “Wahai Daud, sesungguhnya aku memberi yang banyak dan merelakan atau menyenangkan yang sedikit. Dan untuk mensyukuri hal demikian, kamu harus tahu bahwa sesuatu yang ada di dirimu itu adalah nikmat dariku” dan di dalam perkataan yang lain ” Wahai Tuhanku, bagaimana saya bisa bersyukur kepadamu sementara itu ucapan syukur itu sendiri merupakan nikmat darimu yang diberikan kepadaku? Allah menjawab: Nah saat inilah kamu bersyukur kepadaku wahai Daud.
Dalam kitab al-Zuhd, terdapat dua riwayat yang bercerita tentang Nabi Daud dan pertanyaannya kepada Allah tentang bagaimana caranya bersyukur. Berikut riwayatnya:
حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا عبد الرحمن حدثنا جابر بن زيد عن المغيرة
بن عيينة قال: قال داود عليه السلام يا رب هل بات أحد من خلقك الليلة أطول
ذكرًا لك مني فأوحي الله عز وجل إليه نعم الضفدع وأنزل الله عليه: اعلموا
آلَ دَاوُدَ شكرًا وقليل مِنْ عِبَادِيَ الشّكور (سورة سبأ: 13)
قال: يا رب كيف أطيق شكرك وأنت الذي تنعم عليّ ثم ترزقني علي النعمة ثم تزيدني نعمة نعمة فالنعم منك يا رب والشكر منك فكيف أطيق شكرك يا ربّ, قال: الآن عرفتني يا داود حق معرفتي
قال: يا رب كيف أطيق شكرك وأنت الذي تنعم عليّ ثم ترزقني علي النعمة ثم تزيدني نعمة نعمة فالنعم منك يا رب والشكر منك فكيف أطيق شكرك يا ربّ, قال: الآن عرفتني يا داود حق معرفتي
Abdullah bercerita, ayahku bercerita kepadaku, Abdurrahman bercerita, Jabir bin Zaid bercerita dari al-Mughirah bin ‘Uyainah, ia berkata:
Nabi Daud ‘alaihissalam berujar: “Wahai Tuhan, apakah ada salah satu makhluk-Mu yang banyak berdzikir kepada-Mu di malam hari melebihi aku?”
Kemudian Allah memberitahu Daud: “Ya, (ada), yaitu katak.” Dan Allah menurunkan (firman-Nya) kepada Daud (QS. Saba’: 13): “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”
Nabi Daud berkata: “Duh Tuhan, bagaimana mungkin aku mampu bersyukur kepada-Mu sementara Kau yang memberiku nikmat, kemudian Kau yang memberi rezeki kepadaku atas nikmat itu, kemudian Kau yang menambahiku nikmat demi nikmat. Karena (segala) nikmat berasal dari-Mu, wahai Tuhan, dan syukur berasal dari-Mu. Maka, bagaimana mungkin aku mampu bersyukur kepada-Mu, wahai Tuhan.”
Allah berfirman: “Sekarang kau telah mengenal-Ku, wahai Daud, benar-benar mengenal-Ku.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 88-89)
عن أبي الجلد، عن مسلمة أَنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عليه
وَسَلَّمَ قَالَ: إِلَهِيْ، كَيْفَ لِيْ أَنْ أَشْكُرَكَ، وَأَنَا لَا
أَصِلُ إِلَى شُكْرِكَ إِلَّا بِنِعْمَتِكَ؟ فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا
دَاوُدُ، أَلَسْتَ تَعْلَمُ أَنَّ الَّذِيْ بِكَ مِنَ النِّعَمِ مِنِّيْ؟
قَالَ: بَلَى، أَيْ رَبِّ، قَالَ: فَإِنِّيْ أَرْضَى بِذَلِكَ مِنْكَ
شُكْرًا
Dari Abu al-Jald, dari Maslamah, sesungguhnya Nabi Daud shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tuhanku, bagaimana mungkin aku bisa bersyukur kepada-Mu, sementara aku tidak akan sampai bersyukur kepada-Mu kecuali dengan nikmat-Mu juga?”
Kemudian Allah memberitahu Daud: “Wahai Daud, bukankah kau tahu bahwa yang ada pada dirimu merupakan bagian dari nikmat-nikmat-Ku?”
Nabi Daud menjawab: “Benar, wahai Tuhanku.”
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah meridhai syukurmu itu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 91-92)
Memiliki kesempatan bersyukur adalah nikmat, dan mensyukuri nikmat adalah nikmat. Begitulah gambaran sederhana dari riwayat di atas, bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak berasal dari-Nya. Namun, manusia kadang lalai dengan kemakhlukannya. Ia lupa bahwa dirinya makhluk yang diadakan oleh Allah, bukan ada dengan sendirinya. Ketika manusia melupakan kemakhlukannya, ia akan mudah dilalaikan oleh sesuatu. Untuk lebih jelasnya, simak uraian singkatnya berikut ini.
Riwayat di atas dimulai dengan Nabi Daud yang selalu terjaga sepanjang malam untuk berdzikir kepada Allah. Meski demikian, ia diingatkan bahwa ada makhluk lain yang dzikirnya lebih banyak darinya, yaitu katak. Kemudian Allah memerintahkan Daud dan keluarganya untuk memperbanyak syukur kepada-Nya.
Artinya, sebanyak apapun ibadah seseorang, harus dibarengi dengan syukur. Tanpa itu, ibadahnya dikhawatirkan hanya akan menghasilkan bibit takabur dan ujub. Ini menunjukkan bahwa bersyukur adalah pengingat akan kemakhlukan kita, bahwa kita harus berterima kasih dengan apapun yang Allah berikan kepada kita. Dengan melupakan terima kasih (syukur), kita akan terjebak dalam lingkaran ujub dan takabur. Itulah kenapa Allah menyuruh Daud dan keluarganya untuk bersyukur.
Di sisi lain, katak dalam riwayat di atas perlu kita pahami sebagai simbol pengingat, bahwa kita tidak lebih mulia dari siapapun, bahkan dengan makhluk Tuhan non-manusia. Simbol yang mengajarkan kita agar tidak mudah membandingkan amal ibadah kita dengan makhluk Tuhan lainnya. Karena perbandingan amal seringkali berujung pada anggapan mulia diri (takabbur/ujub) yang akan menjebak kita.
Inilah yang perlu kita hindari. Salah satu caranya dengan memperbanyak syukur kita kepada Allah. Pintu pembukanya adalah pemahaman bahwa sebanyak apapun syukur kita, tidak mungkin mendekati, apalagi menyamai nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Seperti yang diungkapkan Nabi Daud ‘alaihissalam di atas, bahwa bersyukur sendiri adalah nikmat dari Tuhan, maka ‘bagaimana mungkin ia mampu bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya itu’.
Hal ini menunjukkan adanya ketidak-seimbangan antara anugerah yang diterima dan syukur yang dirasakan dan dipanjatkan oleh seseorang. Kebanyakan dari kita lalai akan kehadiran nikmat Allah. Kita lalai bahwa waktu adalah nikmat; sehat adalah nikmat; merasa adalah nikmat, dan semuanya adalah nikmat. Kelalaian ini sudah diperingatkan oleh Nabi Muhammad jauh-jauh hari, terutama soal nikmat sehat dan waktu luang. Beliau bersabda (HR. Imam al-Bukhari):
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia lalai; nikmat sehat dan nikmat waktu luang.”
Kembali ke soal ketidak-seimbangan anugerah dan syukur. Untuk memahaminya, kita harus memperhatikan munajat indah Nabi Daud berikut ini:
إِلَهِيْ، لَوْ أَنَّ لِكُلِّ شَعْرَةٍ مِنِّيْ لِسَانَيْنِ، يُسَبِّحَانِ
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ، وَالدَّهْرَ كُلَّهُ، مَا قَضَيْتُ حَقَّ نِعْمَةٍ
“Ilahi, sungguh, andai saja setiap rambutku memiliki dua lidah yang selalu bertasbih siang dan malam, dan (bertasbih) setiap waktu, aku belum menunaikan satu pun hak nikmat (yang Kau berikan kepadaku).” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, h. 88)
Artinya, bertasbih sepanjang hidup, dengan dibantu setiap helai rambut yang memiliki dua lidah, dan keduanya bertasbih siang-malam dan setiap saat, itu masih jauh dari cukup untuk memenuhi hak satu nikmat yang Allah berikan. Bayangkan saja, rambut manusia yang jumlahnya sukar dihitung, dikalikan dua (lidah), dan bertasbih sepanjang waktu sampai mati, masih tidak cukup untuk memenuhi hak satu nikmat dari Allah.
Karena itu, kerendahan hati (tawaddu’) sangat dibutuhkan dalam bersyukur kepada Allah. Kebingungan Nabi Daud dalam bersyukur menunjukkan kerendahan hatinya, bahwa tidak mungkin mensyukuri nikmat Tuhan dengan hitungan matematis, atau dengan menghitung amal ibadah yang dilakukannya. Sebab, bisa beribadah sendiri adalah nikmat, sehingga mustahil menghitung anugerah Allah dengan angka. Jika seseorang melakukan perhitungan itu, dan merasa dirinya sebagai orang yang banyak ibadahnya, bisa jadi ia akan kehilangan makna syukur.
Maka dari itu, dalam riwayat di atas, Allah menjawab kebingungan dan ketidak-mampuan Nabi Daud dengan mengatakan, “Sesungguhnya Aku telah meridhai syukurmu itu,” dan di riwayat lain, “Sekarang kau telah mengenal-Ku, wahai Daud, benar-benar mengenal-Ku.”
Pertanyaannya, pernahkah kita bersyukur dengan kerendahan hati?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar