Meninggalnya
Rasulullah
Sesungguhnya ruh yang suci, bersih, dan jernih mampu
menangkap sebagian hal yang tersembunyi di balik tirai ghaib dengan kuasa
Allah. Hati yang bersih, suci, tenang, dan teguh mampu menceritakan kepada
pemiliknya tentang apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Akal yang
cerdas, brilian, dan cemerlang dengan nur keimanan bisa menangkap apa yang
terdapat di balik kata-kata dan kejadian-kejadian berupa isyarat-isyarat dan
indikasi-indikasi petunjuk.
Nabi Muhammad adalah sosok yang memiliki porsi sangat besar
dan menempati rangking tertinggi dalam masalah ini tanpa ada tandingannya.
Terdapat sejumlah ayat Al-Qur`an yang menegaskan hakikat
keinsaniyahan Nabi Muhammad, bahwa beliau adalah manusia biasa sama seperti
manusia yang lain, akan mengalami apa yang namanya kematian dan merasakan
sakaratnya (penderitaan dan kepayahan yang dialami seseorang ketika menjemput
ajal) sebagaimana yang juga dialami dan dirasakan oleh para nabi dan rasul
pendahulu beliau.
Dari beberapa ayat, Rasulullah menangkap isyarat dan
pertanda akan dekatnya ajal beliau. Dalam sejumlah hadits shahih, Rasulullah
mengisyaratkan kalau waktu kematian beliau sudah dekat. Di antaranya ada hadits
yang memiliki petunjuk eksplisit akan hal itu, dan ada sebagian yang lain tidak
seperti itu yang tidak mampu disadari kecuali oleh segelintir sahabat besar
semisal Abu Bakar Ash-Shiddiq, Al-Abbas, dan Mu’adz.
Rasulullah jatuh sakit dan mulai merasakan keluhan.
Rasulullah kembali dari menunaikan haji wada’ pada bulan
Dzul Hijjah. Sesampainya di Madinah, masih berada dalam bulan Dzul Hijjah,
kemudian masuk bulan Muharram dan Shafar tahun kesepuluh hijriyah. Lalu
Rasulullah mulai mempersiapkan pasukan untuk misi militer ke Al-Balqa` dan
Palestina dengan menunjuk Usamah bin Zaid bin Haritsah sebagai panglimanya.
Orang-orang pun mulai bersiap-siap diri ikut dalam misi militer tersebut,
termasuk di antara adalah para sahabat Muhajirin dan Anshar.
Waktu itu Usamah bin Zaid bin Haritsah baru berusia delapan
belas tahun. Maka, mulailah ada sebagian orang yang berkomentar negatif tentang
pengangkatan Usamah bin Zaid bin Haritsah yang merupakan seorang maula (mantan
budak) dan masih berusia dini tersebut sebagai panglima membawahi para tokoh
dan pemuka sahabat senior.
Rasulullah pun tidak terima dengan sikap mereka yang
mengkritik kepemimpinan Usamah tersebut. Maka, Rasulullah pun bersabda, “Jika
mereka mengkritik dan mempertanyakan kepemimpinan Usamah, maka sungguh
sebelumnya mereka juga mengkritik dan mempertanyakan kepemimpinan ayahnya, dan
demi Allah sungguh ayahnya benar-benar layak untuk menjabat kepemimpinan
tersebut, dan sungguh dia adalah termasuk orang yang paling aku cintai, dan
putranya ini adalah termasuk orang yang paling aku cintai setelahnya.”
Pada saat orang-orang sedang bersiap-siap untuk berjihad
tergabung dalam pasukan Usamah, maka Rasulullah mulai merasakan keluhan sakit
yang akhirnya berujung pada meninggalnya beliau. Terdapat sejumlah peristiwa
yang terjadi antara rentang waktu Rasulullah sakit hingga meninggalnya beliau.
Di antara peristiwa tersebut adalah, pertama, Rasulullah SAW berziarah ke makam
para syuhada Uhud dan melaksanakan shalat jenazah atas mereka. Kedua,
Rasulullah meminta izin tinggal dan dirawat di rumah Aisyah, dan kerasnya sakit
yang beliau alami. Ketiga, Rasulullah berwasiat untuk mengusir semua orang
musyrik dari jazirah Arab, mempersilahkan delegasi untuk masuk dan tinggal
dalam waktu yang diperlukan, dan melarang makam beliau dijadikan masjid.
Rasulullah juga berwasiat untuk berhusnuzhan (berprasangka baik) kepada Allah.
Beliau juga berwasiat untuk memegang teguh kewajiban shalat
dan memperlakukan budak dengan baik. Beliau juga menjelaskan bahwa tidak
tersisa dari tanda-tanda kenabian kecuali mimpi. Beliau juga berwasiat untuk
berlaku baik kepada kaum Anshar.
Di tengah-tengah sakit, Rasulullah menyampaikan khutbah dan
berkata, “Sesungguhnya Allah memberikan pilihan kepada seorang hamba antara
memilih dunia atau memilih apa yang ada di sisi Allah, lalu seorang hamba
tersebut memilih apa yang ada di sisi Allah.”
Mendengar hal itu, lantas Abu Bakar Ash-Shiddiq pun
menangis. Abu Sa’ide Al-Khudri berkata, “Lalu kami pun heran kenapa Abu Bakar
Ash-Shiddiq menangis karena mendengar sabda Rasulullah tersebut. Ternyata,
Rasulullah adalah hamba yang diminta untuk memilih tersebut, dan Abu Bakar
Ash-Shiddiq adalah orang yang paling mengenal Rasulullah dan paling mengetahui
maksud sabda beliau tersebut. Lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang
yang paling banyak memberi dan berjasa kepadaku dalam persahabatan dan hartanya
adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq (maksudnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang
yang paling banyak berjasa kepada beliau dengan jiwa dan hartanya). Seandainya
aku ingin mengambil seseorang sebagai kekasih selain Tuhanku, niscaya Abu Bakar
Ash-Shiddiqlah orangnya, akan tetapi yang ada adalah kasih sayang dan
persaudaraan Islam. Jangan ada satu pintu pun di masjid kecuali ditutup kecuali
pintu Abu Bakar Ash-Shiddiq.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar menuturkan, sepertinya Abu Bakar
Ash-Shiddiq memahami pertanda yang diisyaratkan oleh Rasulullah dari indikasi
bahwa beliau menyebutkan hal itu ketika beliau dalam kondisi sakit keras,
sehingga Abu Bakar Ash-Shiddiq menangkap bahwa yang beliau maksudkan adalah
diri beliau sendiri, makanya Abu Bakar Ash-Shiddiq pun menangis.
Ketika sakit Rasulullah semakin keras dan waktu shalat pun
datang, lalu Bilal mengumandangkan adzan, maka Rasulullah bersabda, “Tolong
perintahkan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengimami shalat.” Lalu
dikatakan kepada beliau, “Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang halus, lembut
hatinya mudah terharu dan menangis. Jika Abu Bakar Ash-Shiddiq menggantikan
posisi beliau, maka ia tidak mampu untuk mengimami shalat.” Lalu Rasulullah pun
kembali menyuruh mereka untuk meminta Abu Bakar Ash-Shiddiq agar mengimami
shalat, lalu mereka kembali mengatakan hal yang sama kepada beliau. Lalu untuk
ketiga kalinya, beliau kembali menyuruh mereka untuk melakukan hal itu, dan
berkata, “Sesungguhnya kalian kaum perempuan adalah seperti perempuan pada
kisah Nabi Yusuf. Suruh Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengimami shalat.” Lalu Abu
Bakar Ash-Shiddiq pun keluar untuk mengimami shalat. Lalu Rasulullah merasakan
kondisi kesehatan fisik beliau agak ringan, lalu beliau pun beranjak keluar
dengan dipapah oleh dua orang laki-laki.
Perawi berkata, “Aku memandangi kedua kali Rasulullah
melangkah tertatih-tatih dan diseret karena sakit.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq
ingin mundur ke belakang, lalu Rasulullah mengisyaratkan kepadanya untuk tetap
di tempatnya seperti semula. Kemudian Rasulullah dibawa, lalu duduk di sebelah
Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ditanyakan kepada Al-A’masy, “Waktu itu, Rasulullah
shalat, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq shalat mengikuti shalat beliau, dan
orang-orang shalat mengikuti shalatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq ra?” Al-A’masy pun
menjawab dengan mengangguk.
Abu Bakar Ash-Shiddiq pun terus menjadi imam shalat bagi
kaum muslimin, hingga suatu ketika tepatnya pada hari senin pada saat
orang-orang berada dalam barisan shalat shubuh, Rasulullah membuka tirai kamar
memandangi ke arah kaum muslimin yang sedang berdiri shalat menghadap kepada
Tuhan mereka. Beliau melihat bagaimana tanaman dakwah dan jihad beliau berbuah,
bagaimana umat tumbuh dalam nuansa memelihara shalat dan persisten menegakkan
shalat baik ketika Nabi mereka hadir maupun tidak ada. Hati Rasulullah pun
merasakan luapan kebahagiaan dengan pemandangan yang sangat indah tersebut dan
dengan keberhasilan tersebut yang tidak mampu diraih oleh seorang nabi atau
pendakwah sebelum beliau. Beliau pun merasa yakin bahwa pertalian umat ini
dengan agama ini dan dengan ibadah kepada Allah adalah pertalian yang langgeng
yang tidak akan terputus oleh meninggalnya Nabi mereka. Maka, beliau pun
dipenuhi dengan luapan kebahagiaan yang Allah mengetahui seberapa besar luapan
kebahagiaan itu. Wajah beliau pun berbinar-binar menyemburatkan sinar
kebahagiaan.
Para sahabat mengatakan, Rasulullah membuka tirai bilik
Aisyah dan memandangi kami sambil berdiri. Raut wajah beliau nampak seolah-olah
seperti lembaran kertas mushaf (maksudnya adalah, wajah beliau nampak elok,
bersih, bersinar, dan berbinar-binar), kemudian beliau tersenyum lebar. Maka,
kami pun hampir terpukau dan lupa diri karena luapan kebahagiaan, dan kami pun
mengira Rasulullah akan keluar untuk shalat. Lalu beliau pun memberikan isyarat
kepada kami untuk melanjutkan shalat kami, dan beliau pun masuk ke bilik dan
menutup kembali tirai.
Kemudian, para sahabat pun bubar menuju kepada aktivitas dan
keperluan masing-masing. Sementara itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq masuk menemui
putrinya, Aisyah dan berkata, “Aku lihat Rasulullah sepertinya sudah sembuh
dari sakit beliau. Hari ini adalah hari giliran binti Kharijah (salah satu
istri Abu Bakar Ash-Shiddiq ra).” Binti Kharijah waktu itu tinggal di daerah
As-Sunh. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun menaiki kudanya dan pulang ke rumahnya.
Sakit yang diderita Rasulullah pun semakin parah dan
sakaratul maut yang beliau alami sudah semakin keras. Usamah bin Zaid bin
Haritsah masuk menjenguk beliau yang waktu itu terdiam dan tidak mampu lagi
untuk bicara. Lalu beliau mengangkat dan menengadahkan kedua tangan beliau ke
atas kemudian meletakkannya di atas Usamah. Ketika itu, Usamah pun tahu kalau
Rasulullah mendoakan dirinya. Aisyah pun mengangkat Rasulullah dan merebahkan
beliau ke dadanya. Lalu Abdurrahman bin Abu Bakar masuk sambil memegang kayu
siwak. Lalu Rasulullah memandang ke arah kayu siwak tersebut. Lalu Aisyah
berkata, “Anda ingin saya mengambilkan kayu siwak itu untuk Anda?” Rasulullah
pun menjawab dengan menganggukkan kepala. Aisyah pun lantas mengambil kayu
siwak itu dari tangan saudaranya tersebut, kemudian mengunyah-ngunyahnya dan
melembutkannya, lalu memberikannya kepada Rasulullah. Lalu beliau pun
menggunakannya untuk bersiwak dengan sebaik-baik bersiwak. Semua itu beliau
lakukan sambil tiada henti mengucapkan, “Fi Ar-Rafiq Al-A’la.”
Waktu itu, di samping Rasulullah ada sebuah wadah air
terbuat dari kulit, lalu ia gunakan air tersebut untuk mengusap wajah beliau
seraya berkata, “Tiada Tuhan selain Allah, sesungguhnya kematian memiliki
sakarat (kondisi payah dan sakit ketika menjemput ajal).” Kemudian beliau
menegakkan tangan beliau sambil berucap, “Fi Ar-Rafiq Al-A’la.” Hingga
akhirnya beliau meninggal dunia dan tangan beliau pun lemas dan jatuh.
Dalam sebuah redaksi lain disebutkan, bahwasanya Rasulullah
berdoa, “Ya Allah, tolonglah hamba dalam menghadapi sakaratul maut.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Aisyah mendengarkan
dengan seksama doa yang Rasulullah baca dalam posisi bersandaran sebelum beliau
meninggal dunia, “Ya Allah, ampunilah hamba, rahmatilah hamba, dan susulkanlah
hamba kepada Ar-Rafiq Al-A’la (para nabi yang menempati tempat tertinggi dari
‘Illiyun).”
Diriwayatkan bahwasanya ketika Rasulullah sakit keras,
Fathimah berkata, “Duh penderitaan ayahku.” Lalu Rasulullah bersabda, “Setelah
hari ini, tidak ada lagi penderitaan atas ayahmu.” Lalu ketika Rasulullah
meninggal dunia, Fathimah berkata, “Duhai ayah, beliau telah memenuhi panggilan
Tuhan beliau Yang memanggil beliau, duhai ayah Surga Firdaus adalah tempat
beliau, duhai ayah kepada malaikat Jibril as kami menyampaikan berita kematian
beliau.” Lalu ketika Rasulullah baru selesai dimakamkan, Fathimah berkata
kepada Anas, “Bagaimana kalian rela dan dengan senang hati menaburkan tanah ke
atas Rasulullah.”
Rasulullah berpisah meninggal dunia ini sedang beliau
menguasai jazirah Arab, ditakuti, dan disegani oleh para penguasa dan raja-raja
dunia, para sahabat beliau rela mengorbankan jiwa, harta, dan keluarga mereka
demi beliau. Rasulullah meninggal dunia tanpa meninggalkan dinar dan tidak pula
dirham, tidak budak laki-laki dan tidak pula budak perempuan dan tidak pula apa
pun kecuali seekor baghlah (bagal) putih, senjata, dan sebidang tanah yang itu
pun dijadikan sebagai shadaqah.
Rasulullah meninggal dunia, sementara baju besi beliau masih
tergadaikan di tangan seorang Yahudi sebagai jaminan untuk tiga puluh sha’
gandum.
Rasulullah meninggal dunia pada hari Senin tanggal dua belas
Rabi’ul Awal tahun sebelas hijriyah setelah tergelincirnya matahari, dalam usia
enam puluh tiga tahun. Itu adalah hari paling kelam, paling menyedihkan dan
paling berat yang dialami kaum muslimin, serta sebuah musibah terbesar bagi umat
manusia, sebagaimana hari kelahiran Rasulullah adalah hari paling membahagiakan
dan menggembirakan.
Anas berkata, “Pada hari di mana Rasulullah datang ke
Madinah, segala sesuatu yang ada di Madinah menjadi bercahaya. Sedangkan pada
hari di mana Rasulullah meninggal dunia, maka segala sesuatu yang ada di
Madinah menjadi gelap.”
Ummu Aiman menangis, lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang
membuat Anda menangisi Rasulullah?” Ia berkata, “Saya sudah tahu bahwa
Rasulullah pasti akan meninggal dunia, akan tetapi saya menangis karena
menangisi wahyu yang terputus dari kita.”
Dahsyatnya
tragedi yang terjadi dan sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq
Ibnu Rajab menuturkan, “Ketika Rasulullah meninggal dunia,
terjadi hiruk pikuk, kekacauan, dan kebingungan di tengah kaum muslimin. Maka,
di antara mereka ada yang kaget dan tercengang luar biasa hingga bingung dan
tidak bisa berpikir lagi, ada yang langsung terduduk hingga tidak mampu lagi
berdiri, ada yang lidahnya langsung kelu hingga tidak mampu berkata-kata, dan
ada yang menyangkal total dan sama sekali tidak mempercayai kematian beliau.”
Al-Qurthubi menggambarkan betapa besar musibah yang terjadi
tersebut berikut berbagai dampak yang muncul. Dalam hal ini, Al-Qurthubi
menuturkan, “Di antara musibah yang paling besar adalah musibah dalam agama.
Rasulullah berkata, “Jika salah seorang dari kalian mengalami suatu musibah,
maka hendaklah ia mengingat musibah yang menimpa dirinya dengan kematianku,
karena itu adalah musibah yang paling besar.” Dan benarlah adanya apa yang
disabdakan Rasulullah tersebut. Karena musibah dengan kematian beliau adalah
musibah yang paling besar dari semua musibah yang dialami oleh seorang Muslim
sampai Hari Kiamat.
Karena dengan meninggalnya Rasulullah, maka itu berarti
terputusnya wahyu dan matinya kenabian. Setelah kematian Rasulullah, mulai
muncul benih-benih keburukan dengan kemurtadan orang Arab dan yang lainnya.
Kematian Rasulullah adalah titik awal terputusnya kebaikan dan titik awal
berkurangnya kebaikan.
Ibnu Ishaq menuturkan, “Ketika Rasulullah meninggal dunia,
maka itu adalah musibah sangat besar yang menimpa kaum muslimin. Menurut
keterangan yang sampai kepadaku, Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah meninggal
dunia, orang-orang Arab banyak yang murtad, Yahudi dan Nasrani mulai menggeliat
dan menjulurkan lehernya, kemunafikan mulai terlihat, dan kaum muslimin menjadi
seolah-olah laksana seperti sekumpulan kambing di tengah malam yang hujan dan
dingin karena kehilangan Nabi mereka.”
Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi berkata, “Situasi dan
kondisi pun kacau. Meninggalnya Rasulullah menjadi sebuah pukulan keras dan
musibah yang paling besar. Adapun Ali bin Abu Thalib, maka ia memilih menutup
diri di rumah Fathimah. Sedangkan Utsman bin Affan terdiam membisu seribu
bahasa. Sementara Umar bin Al-Khathab kehilangan kontrol hingga mengatakan
kata-kata ngelantur, “Rasulullah tidak mati, tetapi beliau hanya memiliki janji
bertemu dengan Tuhan beliau sebagaimana Nabi Musa, dan Rasulullah pasti akan
kembali, lalu beliau akan memotong tangan dan kaki-kaki sejumlah orang.”
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq mendengar berita meninggalnya
Rasulullah, maka beliau pun langsung bergegas menaiki kudanya dari rumahnya di
As-Sunh, kemudian ia masuk masjid tanpa berbicara sepatah kata pun kepada
orang-orang dan langsung masuk ke bilik Aisyah. Lalu ia mendekati jasad
Rasulullah yang waktu itu ditutup dengan kain bermotif. Lalu ia membuka kain
yang menutup wajah Rasulullah, kemudian memeluknya, menciumnya, dan ia pun
menangis. Kemudian ia berkata, “Demi Allah, sungguh Allah tidak memberi dua
kematian kepada Anda. Adapun kematian yang telah ditetapkan atas Anda, maka
Anda sudah menjalaninya.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq pun lantas keluar, sedang waktu itu
Umar bin Al-Khathab masih terus berbicara. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata
kepadanya, “Duduklah wahai Umar.” Namun Umar bin Al-Khathab masih terus
berbicara dengan penuh luapan emosi dan kemarahan. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq
berdiri untuk menyampaikan pidato kepada orang-orang. Setelah membaca tasyahhud
(kalimat pembuka dalam pidato), maka ia pun berkata, “Amma ba’du, maka barang
siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Dan
barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup Kekal
tiada akan meninggal.” Kemudian ia membacakan ayat,
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia meninggal atau
dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke
belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun,
dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran:
144).
Lalu orang-orang pun menangis tersedu-sedu. Umar bin
Al-Khathab berkata, “Sungguh ketika aku mendengar Abu Bakar Ash-Shiddiq membaca
ayat itu, maka seketika itu juga aku langsung terjatuh lemas, dan aku pun sadar
bahwa Rasulullah memang benar-benar telah meninggal dunia.”
Al-Qurthubi menuturkan, “Ayat ini menjadi bukti paling kuat
tentang keberanian dan ketegaran Abu Bakar Ash-Shiddiq. Karena keberanian dan
ketegaran adalah teguhnya hati ketika datangnya musibah, dan tidak ada musibah
yang lebih besar dari musibah meninggalnya Rasulullah.” Maka, nampak jelas
kualitas keberanian, ketegaran, dan keilmuan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika itu,
orang-orang termasuk di antaranya adalah Umar bin Al-Khathab berkata,
“Rasulullah tidak meninggal dunia.”
Sementara Utsman bin Affan terpaku dan terdiam seribu
bahasa, sedangkan Ali bin Abu Thalib mengurung diri. Keadaan pun sangat kacau
tak terkendali, hingga akhirnya mampu dikendalikan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq
dengan ayat tersebut ketika ia datang dari rumahnya di As-Sunh.
Dengan kalimat yang sedikit dan singkat itu, dan dengan
pengutaraan dalil dengan ayat tersebut yang dibacakan oleh Abu Bakar
Ash-Shiddiq, maka orang-orang pun mulai keluar dari kebingungan, ketercengangan
dan kelinglungan mereka, kembali mendapatkan kesadaran mereka dan kembali
kepada pemahaman yang benar dengan kesadaran yang baik. Karena, hanya Allah
semata-lah Yang Maha Hidup Kekal Yang tiada akan mati, bahwa hanya Allah semata
Yang berhak untuk disembah, bahwa Islam tetap eksis dan survive setelah
meninggalnya Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat dari
perkataan Abu Bakar Ash-Shiddiq,
“Sesungguhnya agama Allah tetap tegak dan survive,
sesungguhnya kalimat Allah tetap sempurna, sesungguhnya Allah adalah Penolong
orang yang menolong agama-Nya dan Allah pasti meluhurkan agama-Nya.
Sesungguhnya Kitabullah masih berada di tengah-tengah kita. Kitabullah itu
adalah cahaya dan obat penawar, dengan Kitabullah itu Allah menunjuki dan
membimbing Nabi Muhammad dan di dalamnya terdapat penjelasan tentang halal dan
haram. Sungguh demi Allah, kami tidak peduli siapa pun dari makhluk Allah yang
memobilisasi kekuatan untuk menyerang kami. Sesungguhnya pedang-pedang Allah
masih tetap terhunus dan berjuang melawan siapa pun yang menentang kami
sebagaimana kami sebelumnya berjihad bersama Rasulullah. Maka, tiada seorang
pun yang berbuat aniaya melainkan terhadap dirinya sendiri.”
Meninggalnya Nabi Muhammad adalah sebuah musibah besar,
bencana yang sangat dahsyat dan tragedi yang sangat memilukan. Dari dan pasca
musibah dan bencana tersebut, nampak terlihat jelas kepribadian Abu Bakar
Ash-Shiddiq sebagai sosok seorang pemimpin umat yang langka dan tidak ada
bandingannya. Keyakinan bersinar dalam hatinya dan itu termanifestasikan pada
pemahamannya yang mendalam dan kokoh tentang hakikat kebenaran. Maka, ia pun
memahami hakikat penghambaan, kenabian, dan kematian. Pada situasi yang sulit
dan kritis tersebut, terlihat jelas hikmah dan kebijaksanaan Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Maka, ia pun merangkul orang-orang untuk kembali sadar dan
menyadari maka tauhid, “Barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya
Allah Maha Hidup Kekal tidak akan mati.”
Sejatinya, tauhid sebenarnya masih hidup segar dan semarak
dalam hati mereka, makanya ketika mereka mendengar kata-kata Abu Bakar
Ash-Shiddiq yang mengingatkan dan menyadarkan mereka, maka mereka pun langsung
tersadar dan kembali kepada kebenaran. Aisyah berkata, “Sungguh waktu itu,
seakan-akan orang-orang seperti belum mengetahui kalau Allah telah menurunkan
ayat tersebut, hingga Abu Bakar Ash-Shiddiq membacakan ayat tersebut kepada
mereka. Lalu mereka pun langsung merespon dan menerima ayat tersebut dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq, hingga tidak ada seorang pun yang mendengarnya melainkan ia
langsung membacanya.”
Saqifah Bani Sa’idah
Ketika para sahabat mengetahui meninggalnya Rasulullah, maka
para sahabat Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah pada hari itu juga, yaitu
hari Senin tanggal dua belas Rabi’ul Awal tahun kesebelas hijriyah. Mereka pun
bermusyawarah dan berdiskusi membicarakan tentang pemilihan orang yang akan
menjadi khalifah setelah Rasulullah.
Para sahabat Anshar berkumpul di sekeliling pemimpin Al-Khazraj
Sa’ad bin Ubbadah. Ketiak berita pertemuan sahabat Anshar di Saqifah Bani
Sa’idah sampai ke telinga sahabat Muhajirin yang waktu itu sedang berkumpul
dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memilih kandidat yang akan memegang tampuk
kekhalifahan, maka sahabat Muhajirin berkata, “Mari kita pergi menemui saudara
kita kaum Anshar, karena mereka juga memiliki hak dalam hal ini.”
Umar bin Al-Khathab berkata, “Lalu kami pun berangkat untuk
menemui kaum Anshar. Ketika hampir sampai, ada dua orang shaleh dari mereka
menemui kami, lalu menceritakan kepada kami tentang apa yang telah dibicarakan
oleh kaum Anshar. Mereka berdua berkata, “Kalian hendak ke mana wahai kaum
Muhajirin?” Kami menjawab, “Kami ingin menemui saudara-saudara kami dari
Anshar.” Mereka berdua berkata, “Sebaiknya Anda sekalian jangan menemui mereka
dulu, putuskanlah urusan kalian.” Lalu aku (Umar) berkata, “Sungguh demi Allah,
kita harus menemui mereka.” Lalu kami pun melanjutkan perjalanan hingga
akhirnya kami menemui mereka di Saqifah Bani Sa’idah. Di sana, kami melihat ada
seorang laki-laki sedang berselimut di antara mereka. Lalu aku bertanya, “Siapa
orang itu?” Mereka menjawab, “Ini Sa’ad bin Ubbadah.” Lalu aku berkata, “Kenapa
dia?” Mereka menjawab, “Sedang sakit.”
Umar bin Al-Khathab melanjutkan ceritanya, “Lalu kami pun
duduk, dan tidak lama kemudian juru bicara mereka membaca tasyahhud (kalimat
pembukaan dalam pidato) dan memanjatkan puji kepada Allah, kemudian berkata,
“Amma ba’du, kami adalah Ansharullah (para penolong agama Allah) dan batalion
Islam, sedang kalian wahai kaum Muhajirin adalah berjumlah sedikit
(dibandingkan jumlah kaum Anshar). Ada sekelompok kecil dari kaum kalian yang
mencoba ingin menghalangi kami dari apa yang menjadi hak kami dari urusan ini
(kekhilafahan dan kepemimpinan) dan ingin memonopoli sendiri urusan tersebut
dengan menyingkirkan kami.”
Umar bin Al-Khathab melanjutkan ceritanya, “Ketika juru
bicara mereka itu sudah selesai bicara, maka aku pun ingin tampil untuk
berbicara. Sebelumnya, aku telah menyiapkan materi pidato yang bagiku sangat
bagus yang ingin aku sampaikan di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lalu ketika
aku ingin tampil bicara, Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata kepadaku, “Tahan
sebentar.” Lalu aku pun tidak jadi tampil bicara, karena aku tidak ingin membuat
Abu Bakar Ash-Shiddiq kecewa. Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun tampil bicara, dan
dia adalah sosok yang lebih lembut, santun, dan lebih berwibawa daripada aku.
Sungguh demi Allah, tidak ada satu kalimat pun yang menarik bagiku yang telah
aku persiapkan sebelumnya melainkan Abu Bakar Ash-Shiddiq menyampaikan kalimat
serupa atau bahkan lebih baik lagi dari itu dalam kemampuan improvisasinya,
hingga ia pun diam. Lalu ia bicara, “Kebaikan dan jasa kalian yang telah kalian
sebutkan tadi itu, memang kalianlah pemiliknya, dan urusan ini tidak akan
diketahui kecuali untuk komunitas dari Quraisy ini. Mereka adalah orang Arab
yang paling baik nasab dan tanah tempat tinggalnya. Aku usulkan kepada kalian
dua orang ini, terserah mana yang akan kalian pilih dan melakukan baiat
kepadanya.”
Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun memegang tanganku dan tangan
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang waktu itu duduk di antara kami. Maka, tidak ada
yang aku benci dari apa yang diucapkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq melainkan
perkataan terakhirnya itu. Sungguh demi Allah, aku dihadapkan lalu dipenggal
kepalaku, itu lebih aku sukai daripada aku menjadi pemimpin atas suatu kaum
yang di antara mereka terdapat Abu Bakar Ash-Shiddiq.”
Lalu ada seseorang dari Anshar berkata, “Aku adalah orang
yang sangat diperhitungkan pendapatnya dan aku adalah tokoh yang dituakan.
Begini saja wahai kaum Quraisy, seorang amir dari kami dan seorang amir dari
kalian.” Lalu suasana pun gaduh sekali, hingga aku khawatir terjadi perseteruan
dan perselisihan yang lebih jauh lagi. Lalu aku pun berkata, “Ulurkan tangan
Anda wahai Abu Bakar.” Lalu Abu Bakar Ash-Shiddiq pun mengulurkan tangannya,
lalu aku pun melakukan bait kepadanya, lalu diikuti oleh kaum Muhajirin,
kemudian kaum Anshar.”
Dalam riwayat imam Ahmad disebutkan, “Lalu Abu Bakar
Ash-Shiddiq pun angkat bicara. Tiada suatu keterangan apa pun yang diturunkan
menyangkut sahabat Anshar dan tidak pula keterangan yang disampaikan Rasulullah
menyangkut kedudukan Anshar melainkan semuanya disebutkan oleh Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Ia berkata, “Kalian telah mengetahui bahwasanya Rasulullah
bersabda, “Seandainya orang-orang memilih untuk menempuh suatu lembah dan kaum
Anshar memilih untuk menempuh suatu lembah yang lain, niscaya aku akan menempuh
lembah yang ditempuh kaum Anshar.” Wahai Sa’ad, Anda tentu tahu bahwasanya
Rasulullah bersabda, sedang waktu itu Anda duduk, “Quraisy adalah pemegang
urusan ini (maksudnya adalah kepemimpinan). Orang-orang yang baik menjadi
pengikut orang-orang Quraisy yang baik, dan orang-orang yang jahat menjadi
pengikut orang-orang Quraisy yang jahat.” Lalu Sa’ad bin Ubadah berkata, “Anda
benar, kami adalah para wazir dan kalian adalah para amir.”
Sejumlah
Pelajaran, Ibrah, Keteladanan, Faidah, dan Inspirasi Terpenting dalam Kejadian
Tersebut
- Kemampuan Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam menjalin komunikasi dengan jiwa dan kemampuannya meyakinkan pihak lain.
Dari riwayat imam Ahmad di atas, kita bisa
mengetahui bagaimana Abu Bakar Ash-Shiddiq mampu dan menyelami jiwa kaum
Anshar, lalu meyakinkan mereka dengan apa yang menurutnya itu adalah benar,
tanpa menimbulkan friksi, gesekan, dan konflik horizontal di antara kaum
muslimin. Abu Bakar Ash-Shiddiq memuji kaum Anshar dengan memaparkan
keterangan-keterangan tentang keutamaan mereka dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Langkah persuasif dengan memuji pihak yang berseberangan adalah sebuah manhaj
Islami yang bertujuan untuk bersikap objektif terhadapnya, meredamkan amarahnya
serta menghilangkan dari dirinya motif dan faktor-faktor yang memicu munculnya
sikap egosentris. Supaya ia akhirnya siap untuk menerima kebenaran ketika ia
mengetahuinya.
Dalam tuntunan Nabi Muhammad terdapat
banyak contoh-contoh yang menunjukkan hal tersebut.
Kemudian setelah itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq
mulai melangkah lebih lanjut dengan mengatakan bahwa meskipun keutamaan kaum
Anshar begitu besar, namun itu tidak lantas berarti bahwa mereka adalah pihak
yang lebih berhak terhadap kekhilafahan. Karena Rasulullah telah menegaskan
bahwa kaum Muhajirin dari Quraisy, mereka itulah yang lebih diutamakan dalam
urusan kekhalifahan.
Ibnu Al-Arabi Al-Maliki menuturkan bahwa
Abu Bakar Ash-Shiddiq menguatkan pandangan bahwa urusan kekhilafahan adalah di
tangan Quraisy, dengan menggunakan dalil berupa wasiat Rasulullah untuk
memperlakukan kaum Anshar dengan baik dan istimewa, untuk menerima alasan dan
dalih dari orang baik mereka dan memaafkan orang yang berbuat jelek dari
mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq juga berargumen terhadap Anshar dengan
menyatakan, “Sesungguhnya Allah menyebut kami “ash-Shadiqin”
(orang-orang yang benar) dan menyebut kalian “al-Muflihin” (orang-orang
yang beruntung) seperti yang disebutkan dalam ayat,
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah
yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari
karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong (agama) Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara ari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 8-9).
Allah memerintahkan kalian untuk senantiasa
berada bersama kami di mana pun kami berada,
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah:
119).
Dan berbagai pernyataan, argumen, dan
dalil-dalil lainnya yang tepat dan kuat. Ketika mendengar semua ulasan Abu
Bakar Ash-Shiddiq tersebut, maka kaum Anshar pun sadar dan menerimanya.
Abu Bakar Ash-Shiddiq menjelaskan bahwa di
antara kompetensi dan kualifikasi kaum yang dinominasikan untuk jabatan
kekhilafahan adalah, mereka berasal dari golongan yang masyarakat Arab
mengakuinya sebagai golongan yang memiliki dominasi kekuasaan dan kepemimpinan,
sehingga tidak terjadi kekisruhan, kekacauan, dan konflik yang itu bisa terjadi
jika kekuasaan dan kepemimpinan tersebut dipegang oleh pihak lain. Abu Bakar
Ash-Shiddiq menerangkan bahwa bangsa Arab tidak mengakui dominasi kekuasaan
kecuali kepada kaum muslimin dari Quraisy, karena Nabi Muhammad berasal dari
Quraisy, juga karena sudah tertanam dalam benak dan pikiran bangsa Arab untuk
memuliakan dan menghormati Quraisy.
Dengan kalimat-kalimat yang brilian dan
cemerlang yang dipaparkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut, maka kaum Anshar
pun akhirnya menyetujui dan menerima bahwa kedudukan mereka adalah sebagai para
wazir dan tentara yang tulus setia sebagaimana yang sudah pernah berjalan pada
masa Rasulullah. Dengan begitu, maka barisan kaum muslimin pun bersatu padu.
- Sikap zuhud Umar bin Al-Khathab dan Abu
Bakar Ash-Shiddiq terhadap jabatan kekhilafahan dan sikap semua pihak yang
mengedepankan persatuan dan kesatuan umat.
Setelah menyelesaikan pidatonya di Saqifah
Bani Sa’idah, maka Abu Bakar Ash-Shiddiq pun menominasikan Umar bin Al-Khathab
dan Abu Ubaidah sebagai kandidat calon khalifah. Akan tetapi, Umar bin
Al-Khathab tidak suka hal itu dan ia berkata, “Maka, dari semua yang dikatakan
oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, tidak ada yang aku benci kecuali yang satu itu.
Sungguh, aku dihadapkan lalu dipenggal leherku yang hal itu tidak mendekatkanku
kepada suatu dosa, jauh lebih aku sukai daripada aku menjadi pemimpin atas
suatu kaum yang di dalamnya ada Abu Bakar Ash-Shiddiq.”
Dengan keyakinan dari Umar tersebut tentang
preferensi Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap kekhilafahan, bahwa Abu Bakar
Ash-Shiddiq adalah orang yang lebih berhak atas jabatan kekhilafahan, maka Umar
pun berkata kepadanya, “Ulurkan tangan Anda wahai Abu Bakar.” Lalu Abu Bakar
Ash-Shiddiq pun mengulurkan tangannya. Lalu Umar pun melakukan baiat terhadap
Abu Bakar Ash-Shiddiq, lalu diikuti oleh kaum Muhajirin dan Anshar. Dalam versi
riwayat lain disebutkan, Umar berkata, “Wahai kaum Anshar sekalian, bukankah
kalian mengetahui bahwa Rasulullah memerintahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk
menggantikan beliau mengimami shalat, maka siapakah di antara kalian yang
mengizinkan dirinya untuk mendahulukan dan mengunggulkan dirinya atas Abu Bakar
Ash-Shiddiq RA?” Kaum Anshar pun berkata, “Kami berlindung kepada Allah dari
mendahulukan dan mengunggulkan diri kami atas Abu Bakar Ash-Shiddiq.”
Itu adalah sebuah catatan dan pengamatan
penting yang mampu ditangkap oleh Umar bin Al-Khathab dengan baik. Pada saat
sakit keras, Rasulullah sangat memperhatikan hal tersebut, sehingga beliau
tetap bersikukuh untuk menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai imam shalat
menggantikan beliau. Hal itu sebagai bentuk isyarat bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq
adalah orang yang paling berhak atas kekhilafahan daripada yang lainnya.
Perkataan Umar bin Al-Khathab sangat sopan, beretika, tawadhu’ dan steril dari
ambisi dan kepentingan pribadi.
Sikap zuhud Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap
jabatan kepemimpinan terlihat sangat jelas pada pidato yang ia sampaikan yang
berisikan apologi dirinya menerima jabatan kekhilafahan. Di dalamnya ia
berkata, “Demi Allah, sungguh aku tidak pernah memiliki ambisi sedikit pun
terhadap kepemimpinan, tidak pernah memiliki minat terhadapnya dan tidak pernah
pula memintanya kepada Allah baik secara tersembunyi maupun secara
terang-terangan. Akan tetapi, aku sangat mengkhawatirkan terjadinya fitnah,
kekacauan, kekisruhan, dan konflik. Aku sama sekali tidak merasakan kenyamanan
dalam memegang jabatan kepemimpinan. Akan tetapi, aku dipasrahi suatu urusan
yang sangat besar dan serius, dan aku sama sekali tidak memiliki kekuatan dan
kemampuan menjalankannya melainkan dengan kekuatan dan kemampuan dari Allah.
Dan sungguh aku berharap seandainya ada orang yang terkuat yang bisa
menggantikanku.”
Diriwayatkan juga, bahwa Abu Bakar
Ash-Shiddiq berkata, “Pada kejadian di Saqifah Bani Sa’idah, aku sangat
berharap waktu itu aku lemparkan urusan tersebut (jabatan kekhilafahan) ke
leher salah satu dari dari dua orang, yaitu Abu Ubaidah atau Umar bin
Al-Khathab, sehingga ia yang menjadi Amirul Mukminin, sedangkan aku sendiri
menjadi wazir dan pembantunya.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq kerap menyampaikan
pidato yang berisikan pernyataan bahwa sebenarnya dirinya tidak ingin memegang
jabatan kekhilafahan dan permintaannya untuk lengser. Dalam sebuah pidato, Abu
Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Wahai kamu sekalian, aku serahkan kembali urusan
kalian ini, silahkan kalian memilih siapa yang kalian inginkan untuk mengambil
alih, dan aku kembali menjadi orang biasa sama seperti salah satu dari kalian.”
Lalu orang-orang pun berkata, “Kami rela dan setuju Anda yang menjadi khalifah,
dan Anda adalah salah satu dari dua orang bersama Rasulullah.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq ingin benar-benar
memastikan bahwa tidak ada satu pun dari kaum muslimin yang tidak menyetujui
kekhilafahannya dan ia meminta mereka bersumpah atas hal itu. Ia berkata,
“Wahai kamu sekalian, sebutlah Allah, siapakah yang menyesal atas pembaiatanku
ketika ia berdiri di atas dua kakinya?” Lalu Ali bin Abu Thalib sambil membawa
pedang mendekat kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, hingga ia meletakkan salah satu
kakinya di atas ambang mimbar dan salah satu kakinya yang lain di atas tanah,
dan berkata, “Demi Allah, sungguh kami tidak akan melengserkan Anda dan tidak
akan meminta Anda untuk lengser. Rasulullah telah mendahulukan Anda, maka
siapakah yang akan mengakhirkan Anda?”
Bukan hanya Abu Bakar Ash-Shiddiq yang
memiliki sikap zuhud terhadap kepemimpinan dan jabatan, akan tetapi itu memang
sudah menjadi ruh atau spirit era tersebut. Dari teks-teks yang telah
disebutkan itu, bisa dikatakan bahwa diskusi dan dialog yang berlangsung di
Saqifah Bani Sa’idah tidak keluar dari kecenderungan dan orientasi tersebut.
Bahkan kejadian di Saqifah Bani Sa’idah tersebut mempertegas komitmen kaum
Anshar untuk menjaga dan menjamin keberlangsungan masa depan dakwah Islamiyah
serta komitmen mereka yang tiada henti untuk berkorban demi kepentingan dakwah
Islamiyah. Sehingga mereka pun langsung bergegas untuk melakukan pembaiatan
kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menerima pembaiatan sebagai khalifah karena
sebab dan alasan-alasan tersebut di atas.
Pandangan dan sikap para sahabat sama
sekali tidak seperti penilaian banyak kalangan pada generasi-generasi
selanjutnya yang melakukan penilaian dengan cara yang tidak sesuai dengan
metode ilmiah dan kajian yang objektif. Tetapi kajian mereka kontradiktif
dengan ruh dan spirit era sahabat tersebut, tidak sejalan dengan cita-cita,
harapan-harapan dan aspirasi para sahabat dari kalangan Anshar dan yang
lainnya. Jika memang pertemuan Saqifah Bani Sa’idah tersebut menyebabkan
terjadinya perpecahan dan friksi antara kaum Muhajirin dan Anshar sebagaimana
penilaian dan asumsi sebagian kalangan, maka bagaimana mungkin kaum Anshar
dengan senang hati menerima hasil pertemuan tersebut padahal mereka adalah
sebagai pihak yang merupakan penduduk asli Madinah sekaligus sebagai pihak
mayoritas?!
Dan bagaimana mungkin mereka tunduk dan
menerima kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, ikut berperan aktif secara
langsung dalam misi-misi militer ke Timur dan Barat sebagai para mujahid yang
berjuang untuk mengokohkan pilar-pilar kekhilafahannya kalau seandainya mereka
tidak berantusias membela kekhilafahannya.
Jadi, yang benar sudah terlihat jelas dari
konsistensi dan komitmen kaum Anshar untuk merealisasikan kebijakan dan politik
kekhilafahan, serta antusiasme mereka ikut dalam misi menghadapi gerakan
orang-orang murtad, bahwa tidak ada satu orang pun dari kaum Anshar yang absen
dari pembaiatan Abu Bakar Ash-Shiddiq, apalagi kaum muslimin dari selain
Anshar, bahwa ikatan ukhuwah kaum Muhajirin dan Anshar jauh lebih besar dari
asumsi-asumsi yang dibayangkan oleh pihak-pihak yang mencatat adanya
perselisihan di antara kaum Muhajirin dan Anshar dalam riwayat-riwayat mereka
yang bias, tendensius, dan prejudis.
- Sa’ad bin Ubbadah dan sikapnya terhadap
kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Sesungguhnya Sa’ad bin Ubbadah telah
melakukan pembaiatan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq pasca dialog dan perdebatan
yang berlangsung di Saqifah Bani Sa’idah. Karena ia telah melepas posisi
awalnya dalam mengklaim sebagai pemimpin dan menerima penuh kekhilafahan Abu
Bakar Ash-Shiddiq.
Keponakan Sa’ad bin Ubbadah yang bernama
Basyir bin Sa’ad Al-Anshari adalah orang yang pertama kali membaiat Abu Bakar
Ash-Shiddiq dalam pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah tersebut.
Tidak ada keterangan yang shahih dan valid
yang menyebutkan terjadinya suatu krisis, baik biasa maupun serius. Sama sekali
tidak terbukti adanya perpecahan atau munculnya faksi-faksi yang masing-masing
memiliki calon kandidat tersendiri yang berambisi terhadap kekhilafahan
sebagaimana yang diasumsikan oleh sebagian penulis sejarah.
Akan tetapi jalinan ukhuwah Islamiyah tetap
seperti semula, bahkan semakin bertambah kuat dan kokoh sebagaimana yang
dinyatakan oleh riwayat dan keterangan yang shahih. Sama sekali tidak ada
keterangan dan riwayat shahih yang menyebutkan adanya konspirasi antara Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khathab dan Abu Ubaidah untuk memonopoli
kekuasaan pasca meninggalnya Rasulullah. Karena mereka adalah orang-orang yang
terlalu takut kepada Allah dan terlalu takwa untuk melakukan tindakan semacam
itu.
Ada sebagian penulis sejarah yang prejudice
dan tendensius berupaya menggambarkan Sa’ad bin Ubbadah sebagai kompetitor bagi
kaum Muhajirin yang berambisi meraih jabatan kekhilafahan dengan cara-cara
tidak baik, merencanakan berbagai konspirasi untuk meraihnya serta menggunakan
segala bentuk cara memecah belah kaum muslimin untuk merealisasikan ambisinya
tersebut. Sosok sahabat yang satu ini, jika kita menelisik kembali catatan
sejarah dan rekam jejaknya, maka kita akan menemukan berbagai sikap dan sepak
terjangnya bersama Rasulullah yang menjadikan dirinya termasuk golongan
orang-orang pilihan terbaik yang dunia sama sekali bukan menjadi perhatian dan
interest terbesar mereka dan tidak pula menjadi ujung pengetahuan mereka. Karena
Sa’ad bin Ubbadah adalah salah satu naqib (ketua kaum) pada baiat Aqabah
kedua, hingga Quraisy harus mengejarnya di dekat Makkah, menangkapnya,
membelenggu kedua tangannya dan membawanya masuk ke Makkah sebagai tawanan
hingga akhirnya diselamatkan oleh Jubair bin Muth’im bin Adi dari tangan
mereka.
Ia adalah salah satu personil yang ikut
dalam Perang Badar, meraih kedudukan mulia para pasukan Perang Badar di sisi
Allah. Sa’ad bin Ubbadah berasal dari keluarga yang dermawan dan pemurah dan
itu dinyatakan oleh Rasulullah.
Rasulullah sangat mengandalkan Sa’ad bin
Ubbadah –setelah Allah- dan Sa’ad bin Mu’adz seperti yang terjadi para Perang
Khandaq, ketika Rasulullah meminta masukan dan pandangan mereka menyangkut
pemberian sepertiga hasil pertanian Madinah kepada Uyainah bin Hishn Al-Fazari.
Masukan dan pandangan yang diberikan oleh Sa’ad bin Ubbadah dan Sa’ad bin
Mu’adz waktu itu menunjukkan dalamnya keimanan dan totalitas pengorbanan.
Jejak langkah dan sepak terjang Sa’ad bin
Ubbadah sudah masyhur dan tidak asing lagi. Sahabat yang satu ini yang memiliki
catatan masa lalu yang cemerlang dalam mengabdi kepada Islam dan persahabatan
yang tulus dengan Rasulullah, sama sekali tidak masuk akal dan tidak terbukti
bahwa dia ingin menghidupkan kembali fanatisme dan tribalisme Jahiliyah pada
muktamar di Saqifah Bani Sa’idah dengan motif ingin meraih jabatan kekhilafahan
meski harus mengorbankan persatuan dan kesatuan kaum muslimin.
Sebagaimana pula sama sekali tidak benar
apa yang disebutkan dalam beberapa buku dan referensi bahwa setelah pembaiatan
Abu Bakar Ash-Shiddiq, Sa’ad bin Ubbadah tidak mau shalat bersama kaum muslimin
yang lain dan tidak mau berhaji bersama mereka seakan-akan dia memisahkan diri
dari jamaah kaum muslimin. Semua itu adalah keliru besar dan kebohongan belaka.
Karena dari riwayat-riwayat shahih, dinyatakan secara jelas bahwa Sa’ad bin
Ubbadah membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lalu ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq
tampil bicara di Saqifah Bani Sa’idah memaparkan keutamaan kaum Anshar dengan
berkata, “Sungguh kamu sekalian telah mengetahui bahwasanya Rasulullah
bersabda, “Seandainya orang-orang menapaki suatu lembah dan kaum Anshar
menapaki lembah yang lain atau syi’b (jalan setapak di gunung, jalan di antara
dua bukit), niscaya aku menapaki lembah atau syi’b yang dilewati kaum Anshar
tersebut.” Kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq mengingatkan Sa’ad bin Ubbadah dengan
sebuah perkataan yang tegas dan hujjah yang tak terbantahkan, “Dan Anda wahai
Sa’ad tentu telah mengetahui bahwasanya Rasulullah bersabda sedang waktu itu
Anda duduk, “Quraisy adalah pemegang urusan ini (kepemimpinan), maka
orang-orang baik menjadi pengikut Quraisy yang baik dan orang-orang jahat
menjadi pengikut orang Quraisy yang jahat.” Sa’ad bin Ubbadah berkata, “Anda
benar wahai Abu Bakar, kami adalah para wazir, sedangkan kalian adalah para
amir.”
Lalu orang-orang pun langsung melakukan
pembaiatan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Sa’ad bin Ubbadah juga melakukan
pembaiatan kepadanya.
Berdasarkan semua keterangan tersebut, bisa
dipastikan bahwa Sa’ad bin Ubbadah melakukan pembaiatan kepada Abu Bakar
Ash-Shiddiq, sehingga dengan pembaiatan tersebut kaum Anshar secara keseluruhan
satu kata dan satu sikap untuk membaiat Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq,
menerima dan mengakui kekhilafahannya sepenuhnya.
Dari itu, tidak ada artinya mempropaganda
riwayat yang batil dan keliru, tetapi itu justru bertentangan dengan fakta dan
realitas yang ada. Bahkan itu menjadi sebuah tuduhan yang serius, yaitu menuduh
pemimpin kaum Anshar melakukan upaya memecah tongkat persatuan dan kesatuan
kaum muslimin, bahwa pembelaan, dukungan, jihad, perjuangan, dan sikap
altruisme kepada kaum Muhajirin yang selama ini ia lakukan hanya pura-pura dan
kamuflase belaka. Juga itu menjadi tindakan mencemarkan dan mendiskreditkan
keislaman Sa’ad bin Ubbadah melalui perkataan yang dituduhkan kepadanya, “Aku
tidak akan membaiat kalian hingga aku menembak kalian dengan panah yang ada di
tempat anak panahku, melemparkan tombakku, dan menghantam dengan pedangku.”
Tuduhan keji bahwa ia tidak mau shalat bersama mereka, tidak mau berjamaah
dengan mereka, dan tidak mau berhaji dengan mereka.
Riwayat tersebut yang dimanfaatkan untuk
mencemarkan, mendiskreditkan, dan mempertanyakan persatuan dan kesatuan antara
kaum Muhajirin dan Anshar serta ketulusan ikatan persaudaraan mereka, tidak
lain adalah riwayat batil karena sebab-sebab berikut, yaitu bahwa perawi
riwayat tersebut adalah orang yang memiliki sikap tendensius, bias dan
prejudice, dan ia adalah seorang penyampai berita yang rusak, tidak memiliki
kredibilitas dan reliabilitas, terutama dalam masalah-masalah khilafiyah.
Adz-Dzahabi menuturkan tentang riwayat ini,
“Isnad riwayat ini adalah seperti yang bisa Anda lihat.” Yakni, terlalu dha’if.
Adapun matannya (redaksinya) kontradiktif dengan sirah Sa’ad bin Ubbadah, yaitu
berbunyi, “Ia tidak memikul baiat untuk patuh dan setia.” Karena banyak
keutamaan-keutamaan yang diriwayatkan tentang Sa’ad bin Ubbadah.
- Riwayat yang menyebutkan terjadinya
perselisihan antara Umar bin Al-Khathab dengan Al-Hubab bin Al-Mundzir.
Adapun keterangan yang menyebutkan tentang
terjadinya konflik dan perseteruan antara Umar bin Al-Khathab dengan Al-Hubab
bin Al-Mundzir As-Salami Al-Anshari, maka yang rajih adalah keterangan tersebut
tidak valid, bahwa Umar bin Al-Khathab tidak pernah membuat marah Al-Hubab bin
Al-Mundzir sejak masa Rasulullah. Diriwayatkan oleh Umar bin Al-Khathab, ia
berkata, “Ketika Al-Hubab bin Al-Mundzir adalah orang yang menanggapi
perkataanku, maka tidak ada perbincangan antara aku dengannya. Karena dulu
pernah terjadi perseteruan antara diriku dengannya pada masa Rasulullah, lalu
beliau melarangku, maka aku pun bersumpah tidak akan berbicara kepadanya dengan
perkataan yang menyinggung dan menyakitinya.”
Sebagaimana pula, apa yang diriwayatkan
oleh Al-Hubab bin Al-Mundzir menyangkut perselisihan tersebut bertentangan
dengan apa yang dikenal dari dirinya selama ini, yaitu sosok yang penuh hikmah,
bijaksana, dan sikap prudent. Karena ia dijuluki Dzu Ar-Ra`y (orang yang
memiliki pendapat dan pandangan yang tepat dan bijak) pada masa Rasulullah,
karena masukan, pandangan, dan pendapatnya diterima dan diakomodir pada Perang
Badar dan Khaibar. Adapun perkataan Al-Hubab bin Al-Mundzir, “Dari kami seorang
amir dan dari kalian seorang amir.” Maka ia menjelaskan bahwa perkataannya itu
sama sekali tidak memiliki motif untuk mendapatkan jabatan kepemimpinan, dan ia
pun mengemukakan alasan di balik perkataannya tersebut, “Sungguh demi Allah,
kami tidak ingin menjadi rival kalian untuk merebut urusan ini, akan tetapi
kami khawatir urusan ini jatuh ke tangan para kaum yang kami perangi leluhur
dan saudara-saudara mereka.”
Lalu kaum Muhajirin pun menerima penjelasan
dan apologinya tersebut, apalagi mereka adalah sama-sama ikut terlibat dalam
membunuh dan memerangi kaum musyrikin.
- Hadits yang menyebutkan bahwa para
pemimpin adalah dari Quraisy dan sikap kaum Anshar terhadap hadits ini.
Hadits, “Para pemimpin adalah dari Quraisy”
terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab-kitab hadits
lain dengan berbagai bentuk redaksi. Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan oleh
Mu’awiyah, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya urusan ini
(kepemimpinan) adalah di tangan Quraisy. Tidak ada seorang pun yang menentang
mereka dalam urusan ini kecuali Allah menyungkurkannya ke dalam neraka, selama
mereka menegakkan agama.”
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan, “Islam
masih akan tetap kuat dan jaya dengan para khalifah yang semuanya dari
Quraisy.”
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, ia
berkata, “Rasulullah bersabda, “Urusan ini (kepemimpinan) tetap di tangan
Quraisy selama masih ada dua orang yang tersisa dari mereka.”
Rasulullah juga bersabda, “Orang-orang
menjadi pengikut Quraisy dalam perkara ini. Orang Muslim menjadi pengikut orang
Quraisy Muslim dan orang kafir menjadi pengikut orang Quraisy kafir.”
Diriwayatkan oleh Bukair bin Wahb
Al-Jazari, ia berkata, “Anas bin Malik Al-Anshari berkata kepadaku, “Aku akan
menceritakan kepadamu sebuah hadits yang tidak aku ceritakan kepada setiap
orang. Suatu ketika, kami berada di rumah salah seorang sahabat Anshar. Lalu
datanglah Rasulullah, lalu beliau berdiri dan berpegangan pada dua kosen pintu,
lalu bersabda, “Para imam adalah dari Quraisy. Mereka memiliki hak yang
wajib kalian tunaikan kepada mereka, dan demikian pula kalian memiliki hak yang
seperti itu yang wajib mereka tunaikan kepada kalian, selama ketika mereka
dimintai belas kasihan, maka mereka memberikan belas kasihan, ketika berjanji,
maka mereka menepatinya, dan ketika mereka memberikan putusan, maka mereka
adil.”
Dalam Fath Al-Bari, Ibnu Hajar
menuturkan banyak hadits dalam bab, “Al-Umara` min Quraisy” yang ia isnadkan
kepada kitab-kitab hadits As-Sunan, kitab-kitab hadits hadits Al-Musnad dan
Al-Mushanafat. Hadits-hadits dalam tema ini cukup banyak sekali yang hampir
tidak ada satu kitab hadits pun yang tidak memuat hadits-hadits seperti itu.
Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dengan
berbagai bentuk redaksi yang beragam, namun makna dan substansi hampir sama
yang ke semuanya menegaskan bahwa imarah atau kepemimpinan yang legitimate
adalah di tangan Quraisy, dan yang dimaksudkan dengan imarah di sini adalah
kekhilafahan saja. Adapun selain kekhilafahan, maka semua orang Islam memiliki
posisi sama.
Sebagaimana hadits-hadits Nabawiyah
menjelaskan bahwa perkara kekhilafahan adalah di tangan Quraisy, demikian pula
hadits-hadits yang ada juga memperingatkan dan mewanti-wanti untuk tidak tunduk
patuh secara buta kepada mereka, bahwa urusan khilafah berada di tangan Quraisy
selama mereka menegakkan agama sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits
Mu’awiyah di atas. Juga seperti yang disinggung dalam hadits Anas bin Malik di
atas, “Selama ketika mereka dimintai belas kasihan, maka mereka memberikan
belas kasihan, ketika berjanji, maka mereka menepatinya, dan ketika mereka
memberikan putusan, maka mereka adil. Maka, barang siapa di antara mereka yang
tidak melakukan hal itu, maka baginya laknat Allah, laknat malaikat, dan laknat
manusia semuanya.”
Dengan begitu, hadits-hadits yang ada
memperingatkan dan mewanti-wanti untuk tidak mengikuti Quraisy jika mereka
menyimpang dan tidak menerapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, karena
jika mereka tidak mengaktualisasi dan menerapkan syarat-syarat seperti itu,
maka mereka akan berubah menjadi bahaya dan ancaman bagi umat. Hadits-hadits
yang ada memperingatkan dan mewanti-wanti untuk tidak mengikuti mereka pada
selain apa yang diturunkan Allah, menyeru untuk menjauhi dan menghindari
mereka. Karena jika tetap mendukung mereka pada saat mereka berperilaku seperti
itu, maka akan berkonsekuensi munculnya ancaman terhadap nasib umat. Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya kehancuran umatku atau rusaknya umatku adalah di
tangan para pemimpin yang masih kecil dan tolol dari Quraisy.”
Ketika Rasulullah ditanya, “Lalu apa yang
Anda perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Seandainya orang-orang
menjauhkan diri dari mereka.”
Dari nash-nash tersebut, nampak jelas
gambaran masalah para pemimpin dari Quraisy, bahwa kaum Anshar tunduk patuh kepada
pemimpin Quraisy dalam koridor ketentuan-ketentuan tersebut dan berdasarkan
kaidah-kaidah tersebut. Hal inilah yang mereka tegaskan ketika mereka melakukan
baiat kepada Rasulullah, “Tunduk patuh, sabar ketika ada pihak lain yang diberi
preferensi dan lebih diprioritaskan, tidak menentang dan merebut urusan
(kepemimpinan) dari orang yang memegangnya, kecuali jika mereka melihat
kekafiran yang nyata dan terang-terangan dan mereka memiliki dalil dari Allah
yang menegaskan kekafiran itu.”
Kaum Anshar memiliki pemahaman dan konsepsi
yang utuh tentang masalah kekhilafahan, bahwa masalah kekhilafahan bukanlah
masalah yang asing dan tidak dikenal oleh mereka, bahwa hadits, “Para pemimpin
adalah dari Quraisy” diriwayatkan oleh banyak orang dari kalangan mereka, bahwa
orang-orang yang tidak mengetahuinya mereka diam ketika diriwayatkan kepada
mereka oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, makanya tidak ada seorang pun dari kaum
Anshar yang coba membantahnya ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadikannya
sebagai dasar dalil.
Maka, bisa dikatakan dengan pasti bahwa
urusan kekhilafahan berlangsung melalui mekanisme permusyawaratan dan merujuk
kepada nash-nash agama dan logika yang menetapkan posisi Quraisy yang memiliki
hak lebih terhadap kekhilafahan. Pasca baiat yang berlangsung di Saqifah Bani
Sa’idah, tidak pernah terdengar dari satu orang Anshar pun yang mengklaim
dirinya sebagai pemegang kekhilafahan. Hal ini pada gilirannya menegaskan dan
menguatkan sikap kaum Anshar yang menerima, menyetujui, dan memverifikasi
hasil-hasil yang telah dicapai pada muktamar tersebut.
Dengan begitu, maka runtuhlah perkataan
pihak-pihak yang menyatakan bahwa hadits, “para imam adalah dari Quraisy”
adalah sebuah slogan yang diangkat oleh bangsa Quraisy untuk merampas
kekhilafahan dari kaum Anshar, atau bahwa itu adalah hanya merupakan pandangan
Abu Bakar Ash-Shiddiq belaka bukan hadits yang ia riwayatkan dari Rasulullah,
tetapi itu adalah pemikiran politik Quraisy yang dominan pada masa tersebut
yang merefleksikan bobot bangsa Quraisy di tengah masyarakat Arab pada masa
itu.
Berdasarkan hal ini, maka menisbatkan
hadits-hadits tersebut kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq dan bahwa itu hanyalah
slogan bangsa Quraisy, tidak lain adalah salah satu bentuk distorsi yang
dialami oleh era Ar-Rasyidi dan era awal Islam yang secara prinsip terbangun di
atas usaha dan kerja keras kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik. Juga, di atas jalinan persaudaraan yang kokoh
antara Muhajirin dan Anshar, hingga Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Kami dan
Anshar adalah seperti yang digambarkan oleh bait syair berikut,
Mereka tetap tidak akan merasa jemu dan
bosan terhadap kami, meskipun mereka mendapatkan sikap dari kami yang jika
seandainya ibu kami mendapatkan sikap seperti itu dari kami, niscaya ia akan
merasa jemu dan jengkel.
- Sejumlah hadits yang mengisyaratkan tentang
kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Hadits-hadits yang memuat isyarat-isyarat
tentang kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq cukup banyak, masyhur, mutawatir,
dan jelas pengertian dan maknanya, baik apakah itu berbentuk eksplisit maupun
implisit. Bahkan karena sudah begitu masyhur dan mutawatir, hingga
hadits-hadits tersebut sudah menjadi sesuatu yang maklum dan menjadi
pengetahuan yang lazim, sekiranya ahli bid’ah tidak bisa mengingkari dan
menyangkalnya. Di antara hadits-hadits tersebut adalah,
Hadits yang diriwayatkan oleh Jubair bin
Muth’im, ia berkata, “Ada seorang perempuan datang menemui Rasulullah, lalu
beliau menyuruhnya untuk menemui beliau kembali. Perempuan itu berkata, “Tolong
beritahukan kepadaku, bagaimana jika saya datang kembali, namun saya tidak
mendapati Anda? (seakan-akan ia mengatakan, namun beliau telah meninggal
dunia).” Lalu beliau berkata, “Jika kamu tidak mendapatiku, maka temuilah Abu
Bakar.”
Ibnu Hajar menuturkan dalam hadits ini
memuat pengertian bahwa hal-hal yang dijanjikan Rasulullah, maka menjadi
kewajiban bagi orang yang menjadi khalifah setelah beliau untuk
merealisasikannya. Di sini terkandung bantahan terhadap Syi’ah yang memiliki
asumsi bahwa Rasulullah telah menunjuk Ali bin Abu Thalib dan Al-Abbas secara
spesifik sebagai khalifah pengganti beliau.
Di antaranya lagi adalah, hadits yang
diriwayatkan oleh Hudzaifah, ia berkata, “Pada suatu kesempatan, kami
duduk-duduk bersama Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak
tahu masih berapa lama lagi aku hidup di tengah-tengah kalian. Maka, ikutilah
dua orang setelahku (beliau menunjuk ke arah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin
Al-Khathab), pegang teguhlah perjanjian Ammar (tiru, contoh, dan teladanilah
jejak langkah Ammar), dan apa yang diceritakan Abdullah bin Mas’ud kepada
kalian, maka terima dan percayai.”
Kalimat, “ikutilah dua orang setelahku.”
Maksudnya adalah, dua khalifah yang menggantikanku, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq
dan Umar bin Al-Khathab. Rasulullah menyuruh untuk mengikuti dan meneladani
mereka berdua, karena mereka berdua adalah sosok yang memiliki jejak langkah
yang baik dan hati yang benar dan lurus. Dalam hadits ini juga mengisyaratkan
tentang urusan kekhilafahan.
Di antaranya lagi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Rasulullah, beliau bersabda, “Ketika tidur,
aku bermimpi seakan-akan aku mengambil air di telagaku untuk memberi minum
orang-orang. Lalu Abu Bakar datang menghampiriku dan mengambil ember dari
tanganku untuk menggantikanku supaya aku beristirahat. Lalu ia mengambil air
dengan dua ember, namun ia mengambil air agak lemah dan semoga Allah
mengampuninya. Lalu datanglah Umar bin Al-Khathab dan mengambil alih timba dari
tangan Abu Bakar. Aku belum pernah
melihat seseorang mengambil air yang lebih kuat dari apa yang dilakukan Umar
bin Al-Khathab. Hingga orang-orang pun berlalu pergi, sedang telaga masih penuh
dengan air yang meluap dan memancar.”
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, mimpi para
nabi adalah wahyu. Perkataan Rasulullah dalam hadits di atas, “Namun Abu Bakar
Ash-Shiddiq agak lemah dalam mengambil air” mengisyaratkan pendeknya masa
kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan selama masa kekhilafahannya, ia lebih
disibukkan dengan perang melawan kelompok-kelompok orang murtad, sehingga ia
tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk melakukan ekspansi perluasan
kekuasaan negara dan mengembangkan negara secara lebih progresif yang berhasil
diraih oleh khalifah Umar bin Al-Khathab setelahnya, karena masa kekhilafahan
Umar bin Al-Khathab cukup lama.
Di antaranya lagi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah, ia berkata, “Rasulullah bersabda kepadaku ketika
beliau sakit, “Tolong panggilkan Abu Bakar dan saudara laki-lakimu, karena aku
ingin menulis sebuah surat. Sebab aku khawatir akan ada orang yang mengharapkan
jabatan kekuasaan dan mengatakan, “Aku adalah yang lebih berhak.” Sedang Allah
dan orang-orang Mukmin tidak menghendaki melainkan Abu Bakar.”
Hadits ini secara jelas menunjukkan
keutamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Di sini, Rasulullah menginformasikan tentang
apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang setelah beliau meninggal dunia,
bahwa kaum muslimin menolak untuk memberikan kekhilafahan kepada selain Abu
Bakar Ash-Shiddiq. Dalam hadits ini juga terdapat isyarat bahwa akan terjadi
semacam perselisihan dan tarik ulur, namun kemudian mereka semua bersepakat dan
menyetujui kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Semua itu akhirnya memang
benar-benar terjadi sebagaimana yang diinformasikan oleh Rasulullah.
Di antaranya lagi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Abdullah, ia berkata, “Pada suatu kesempatan,
aku menemui Aisyah, lalu berkata kepadanya, “Bersediakah Anda menceritakan
kepadaku tentang masa-masa sakitnya Rasulullah?” Aisyah berkata, “Baiklah.
Ketika Rasulullah sakit keras, beliau bertanya, “Apakah orang-orang telah
shalat?” Kami menjawab, “Belum, mereka menunggu Anda wahai Rasulullah.” Beliau
berkata, “Tolong tuangkan air di ember.” Lalu kami pun melakukannya, lalu
beliau pun mandi, kemudian beliau mulai berusaha untuk bangkit berdiri dengan
susah payah, lalu beliau pun pingsan. Kemudian ketika telah siuman kembali,
beliau bertanya, “Apakah orang-orang telah shalat?” Kami menjawab, “Belum,
mereka menunggu Anda wahai Rasulullah.”
Aisyah melanjutkan ceritanya, “Sedang waktu
itu orang-orang berada di masjid menunggu Rasulullah untuk shalat isya`. Lalu
Rasulullah mengutus seseorang agar menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq dan
menyuruhnya untuk mengimami shalat. Orang yang diutus itu pun menemui Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah menyuruh Anda untuk mengimami
shalat.” Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, dan ia adalah orang yang lembut,
hatinya sensitif, mudah terharu, dan menangis, “Wahai Umar, tolong imami
shalat.” Umar bin Al-Khathab berkata kepadanya, “Anda lebih berhak untuk itu.”
Aisyah melanjutkan ceritanya, “Lalu Abu
Bakar Ash-Shiddiq pun mengimami shalat untuk beberapa hari. Kemudian pada suatu
hari, Rasulullah merasakan agak ringan dan segar, lalu beliau pun keluar dengan
dipapah oleh dua orang salah satunya adalah Al-Abbas, untuk shalat zhuhur,
sedang waktu itu Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang mengimami shalat. Ketika melihat
kedatangan Rasulullah, Abu Bakar Ash-Shiddiq pun ingin mundur ke belakang. Lalu
Rasulullah memberikan isyarat kepadanya untuk tetap di tempatnya semula dan jangan
mundur, dan beliau pun berkata kepada dua orang yang memapah beliau, “Tolong
dudukkan aku di samping Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Lalu mereka berdua pun
mendudukkan Rasulullah di samping Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan ia berdiri shalat
mengikuti shalatnya Rasulullah, sementara orang-orang mengikuti shalatnya Abu
Bakar Ash-Shiddiq, sedang waktu itu Rasulullah dalam posisi duduk.”
Ubaidillah bin Abdullah kembali berkata,
“Lalu aku menemui Abdullah bin Abbas dan berkata kepadanya, “Bolehkah saya
menyampaikan kepada Anda apa yang diceritakan Aisyah kepadaku tentang masa-masa
sakitnya Rasulullah?” Abdullah bin Abbas berkata, “Ya, silahkan.” Lalu aku pun
menceritakan kepadanya apa yang diceritakan Aisyah kepadaku tersebut, dan tidak
ada satu bagian pun dari cerita tersebut yang ia tolak dan ingkari, hanya saja
ia berkata, “Apakah Aisyah menyebutkan kepadamu siapakah laki-laki yang memapah
Rasulullah bersama Al-Abbas tersebut?” Aku menjawab, “Tidak.” Abdullah bin
Abbas berkata, “Dia adalah Ali bin Abu Thalib.”
Hadits ini memuat sejumlah faedah yang
agung. Di antaranya adalah, keutamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq, diunggulkan dan
diutamakannya Abu Bakar Ash-Shiddiq atas para sahabat yang lain, catatan bahwa
Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah
Rasulullah daripada yang lain. Di antaranya lagi adalah, bahwa seorang imam
ketika ia memiliki suatu udzur yang menyebabkan dirinya tidak bisa menghadiri
shalat jamaah, maka ia menunjuk seseorang untuk menggantikannya mengimami
shalat dan orang yang ditunjuk untuk menggantikannya adalah orang yang paling
utama. Di antaranya lagi adalah, keutamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak
mengalihkan instruksi Rasulullah kepadanya untuk mengimami shalat tersebut
kepada selain Umar bin Al-Khathab.
Di antaranya lagi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Ketika Rasulullah meninggal
dunia, kaum Anshar berkata, “Dari kami seorang amir dan dari kalian seorang
amir.” Lalu Umar bin Al-Khathab pergi menemui mereka, lalu berkata, “Wahai kaum
Anshar, bukankah kalian tahu bahwasanya Rasulullah menyuruh Abu Bakar
Ash-Shiddiq untuk mengimami shalat? Maka, siapakah dari kalian yang merasa
senang dan rela untuk mendahului Abu Bakar Ash-Shiddiq?” Maka, kaum Anshar pun
menjawab, “Kami berlindung kepada Allah dari mendahului Abu Bakar Ash-Shiddiq.”
Di antaranya lagi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh bin Sa’ad dengan isnadnya yang sampai kepada Al-Hasan, ia
berkata, “Ali bin Abu Thalib berkata, “Ketika Rasulullah meninggal dunia, maka
kami membahas dan membicarakan urusan kami, lalu kami mendapati Rasulullah
sebelumnya telah mengajukan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai imam shalat, maka
kami pun ridha, setuju, dan merestui masalah dunia kami dipimpin oleh orang
yang Rasulullah meridhai dan merestuinya untuk memimpin agama kami, maka kami
pun mengajukan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan mengangkatnya sebagai khalifah.”
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari memberikan komentar
tentang langkah Rasulullah mengajukan Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengimami
shalat. Dalam hal ini, ia menuturkan, keputusan Rasulullah menunjuk Abu Bakar
Ash-Shiddiq untuk mengimami shalat adalah sudah sangat maklum dan menjadi
pengetahuan umum dalam agama (amrun ma’lumun min din Al-Islam bi adh-Dharurah).
Hal itu menjadi dalil yang menunjukkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah
sahabat yang paling alim dan aqra` (paling mengerti Al-Qur`an). Dalam sebuah
hadits yang sudah disepakati keshahihannya oleh semua ulama dijelaskan
bahwasanya Rasulullah bersabda, “Orang yang menjadi imam shalat kaum adalah
orang yang paling aqra` (paling bagus bacaan Al-Qur`annya) di antara mereka.
Jika mereka semua sama tingkatannya dalam hal qira`ah, maka dipilih orang yang
di samping aqra` juga paling banyak pengetahuannya tentang As-Sunnah. Jika
mereka semua sama tingkatannya dalam hal pengetahuan As-Sunnah, maka dipilih
orang yang paling sepuh di antara mereka. Jika mereka semua seusia, maka
dipilih orang yang paling dahulu keislamannya di antara mereka.”
Ibnu Katsir mengatakan, ini adalah
perkataan Al-Asy’ari yang layak dicatat dengan tinta emas. Semua
kriteria-kriteria yang disebutkan dalam hadits di atas terpenuhi pada diri Abu
Bakar Ash-Shiddiq.
Demikianlah, Ahlussunnah memiliki dua versi
pendapat menyangkut kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq dari segi apakah hal itu
diisyaratkan dengan nash yang samar ataukah jelas. Pendapat pertama mengatakan,
sesungguhnya kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq ditetapkan berdasarkan nash
yang samar dan hanya berbentuk isyarat. Pendapat ini dinisbatkan kepada
Al-Hasan Al-Bashri dan sejumlah ulama hadits. Pendapat ini juga sebuah versi
riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal. Ulama yang berpendapat seperti ini
berlandaskan pada dalil bahwa Rasulullah mengajukan Abu Bakar Ash-Shiddiq
sebagai imam shalat dan perintah Rasulullah untuk menutup semua pintu yang ada
di masjid kecuali pintu milik Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Versi pendapat kedua mengatakan, bahwa
kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq ditetapkan berdasarkan nash yang jelas. Ini
adalah pendapat sekelompok ulama hadits. Ini juga pendapat Muhammad bin Hazm Azh-Zhahiri.
Kelompok yang berpendapat seperti ini berlandaskan pada hadits seorang
perempuan yang Rasulullah bersabda kepadanya, “Jika kamu datang dan tidak
menemukan diriku, maka temuilah Abu Bakar.” Juga perkataan Rasulullah kepada
Aisyah, “Tolong panggilkan Abu Bakar dan saudara laki-lakimu, karena aku ingin
menulis sebuah surat. Sebab aku khawatir ada pihak-pihak yang berambisi kepada
kepemimpinan dan ada pihak-pihak yang berkata, “Aku lebih berhak dan lebih
layak untuk menjadi pemimpin.” Padahal Allah dan orang-orang Mukmin tidak
menghendaki melainkan Abu Bakar.”
Juga hadits tentang mimpi Rasulullah bahwa
beliau bermimpi sedang mengambil air di telaga beliau untuk memberi minum
orang-orang, lalu datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan mengambil ember dari tangan
beliau untuk menggantikan beliau mengambil air supaya beliau bisa beristirahat.
Dari kajian yang ada, maka yang nampak
kepada saya dan lebih saya cenderungi adalah bahwa Rasulullah memerintahkan
kepada kaum muslimin supaya khalifah yang memimpin mereka setelah beliau adalah
Abu Bakar Ash-Shiddiq. Rasulullah memberikan petunjuk kepada mereka tentang
kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, karena Allah menginformasikan kepada beliau
bahwa kaum muslimin akan memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah, karena
berbagai keutamaan dan kelebihan yang dimiliki Abu Bakar Ash-Shiddiq yang
disebutkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah yang itu menjadikan dirinya
mengungguli semua orang dari umat Nabi Muhammad.
Ibnu Taimiyah mengatakan, hasil kajian yang
mendalam menunjukkan bahwa Rasulullah memberikan petunjuk dan arahan kepada
kaum muslimin tentang penunjukan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah dengan
sejumlah petunjuk dan arahan baik berupa perkataan maupun tindakan. Rasulullah
menginformasikan kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai penginformasian
oleh orang yang meridhai dan merestui hal itu, memujinya, dan berkeinginan
untuk menuangkan hal itu dalam bentuk pesan tertulis.
Kemudian Rasulullah mengetahui bahwa kaum
muslimin memang bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai
khalifah, sehingga akhirnya beliau mengurungkan keinginan untuk menuangkannya
dalam bentuk pesan tertulis. Seandainya penunjukan Abu Bakar Ash-Shiddiq
sebagai khalifah memang masih samar dan belum jelas bagi umat, maka Rasulullah
pasti akan menerangkannya dengan jelas dan eksplisit hingga tidak menyisakan
celah alasan untuk ditolak. Akan tetapi, ketika Rasulullah telah memberikan
banyak petunjuk dan arahan kepada kaum muslimin bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq
adalah orang yang memang diinginkan sebagai khalifah setelah beliau dan kaum
muslimin pun menangkap dan memahami hal itu, maka apa yang dimaksudkan pun
sudah tercapai.
Dari itu, dalam khutbah yang disampaikan di
hadapan kaum Muhajirin dan Anshar, Umar bin Khathab berkata, “Di antara kalian
tidak ada orang yang bisa menyamai seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, karena
bagaimana pun keunggulan seseorang hingga tidak bisa terkalahkan, namun ia
tetap tidak akan bisa sampai kepada tingkatan yang menyamai tingkatan Abu Bakar
Ash-Shiddiq.”
Banyak nash-nash shahih yang menunjukkan
keabsahan, kepastian, dan legalitas kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, serta
bahwa Allah dan Rasul-Nya meridhai dan merestuinya. Kekhilafahan Abu Bakar
Ash-Shiddiq terbentuk dengan pembaiatan kaum muslimin kepadanya dan pemilihan
mereka kepadanya dengan pemilihan yang mereka landaskan pada apa yang mereka
ketahui dan alami secara langsung berupa pengutamaan dan preferensi Allah dan
Rasul-Nya terhadap Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sehingga, kekhilafahan Abu Bakar
Ash-Shiddiq tertetapkan berdasarkan nash dan sekaligus Ijma’.
Nash yang ada menunjukkan ridha dan restu
Allah dan Rasul-Nya kepada kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, bahwa
kekhilafahannya itu adalah haq dan benar, bahwa Allah memerintahkannya dan
menetapkannya, dan bahwa kaum Mukminin pun memilihnya. Dan semua ini tentu
lebih kuat aspek legitimasinya daripada hanya semata dalam bentuk al-’Ahd
belaka (penunjukan langsung oleh pemimpin sebelumnya seperti yang didapatkan
oleh seorang putra mahkota), karena jika seperti itu, maka jalur tertetapkannya
kekhilafahan tersebut hanya berdasarkan al-’Ahd belaka.
Adapun jika kaum muslimin benar-benar
memang memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq tanpa ada al-’Ahd sama sekali dan
nash-nash yang ada pun menunjukkan bahwa langkah dan pilihan mereka itu adalah
benar dan tepat, bahwa Allah dan Rasul-Nya meridhai dan merestui, maka itu
menjadi dalil yang menunjukkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq memiliki sejumlah
keutamaan yang menjadikannya lebih unggul dari yang lain yang dengan
keutamaan-keutamaan itu kaum muslimin mengetahui dan meyakini bahwa Abu Bakar
Ash-Shiddiq adalah orang yang paling berhak terhadap kekhilafahan, sehingga
tidak memerlukan adanya al-’Ahd atau wasiat khusus.
- Terbentuknya Ijma` dan satu suara atas
kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ahlussunnah wal Jama’ah baik salaf maupun
khalaf bersepakat dan satu suara bahwa orang yang paling berhak terhadap
kekhilafahan setelah Rasulullah adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, karena
keutamaannya, keunggulan, dan kelebihannya, dan karena Rasulullah lebih
memilihnya sebagai imam shalat menggantikan beliau daripada sahabat yang lain.
Para sahabat pun menangkap dan memahami apa
maksud Rasulullah dari langkah beliau lebih memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq
sebagai imam shalat menggantikan beliau. Maka, mereka pun bersepakat dan satu
suara untuk menunjuk dan mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah
tanpa ada satu orang pun yang tidak setuju, dan Allah tidak akan menjadikan mereka
bersepakat dan bersepakat atas kesesatan. Maka, mereka semua pun dengan penuh
kepatuhan membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah, mereka mematuhi
perintah-perintahnya dan tidak ada satu orang pun yang memprotes, menentang,
dan keberatan atas penunjukannya sebagai khalifah.
Ketika Sa’id bin Zaid ditanya, “Kapankah
Abu Bakar Ash-Shiddiq dibaiat?” Ia menjawab, “Pada hari di mana Rasulullah
meninggal dunia, mereka tidak ingin melalui sebagian hari saja tanpa berada
dalam jamaah di bawah seorang pemimpin.”
Banyak ulama yang diperhitungkan
meriwayatkan Ijma’ para sahabat dan orang-orang setelah generasi sahabat dari
Ahlussunnah wal Jamaah bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang paling
utama, paling layak, dan paling berhak atas kekhilafahan daripada siapa pun.
Berikut ini pernyataan sebagian ulama menyangkut masalah ini,
Al-Khathib Al-Baghdadi mengatakan,
Muhajirin dan Anshar bersepakat dengan suara bulat atas kekhilafahan Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Mereka memanggil Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan panggilan, “Wahai
Khalifah Rasulullah.” Setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq, tidak ada satu orang pun
yang dipanggil dengan panggilan khalifah. Dikatakan bahwa Nabi Muhammad
meninggal dunia dengan meninggalkan tiga puluh ribu kaum Muslim, semuanya
berkata kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Wahai Khalifah Rasulullah.” Dan mereka
semua pun meridhai dan merestui Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah setelah
Rasulullah.
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengungkapkan,
Allah memuji dan menyanjung Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang terdahulu
masuk Islam. Al-Qur`an melantunkan pujian kepada Muhajirin dan Anshar dalam
banyak ayat serta kepada orang-orang yang ikut dalam kejadian baiat Ar-Ridhwan,
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap
orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka
Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas
mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat
(waktunya).” (Al-Fath: 18).
Orang-orang yang dipuji dan disanjung oleh
Allah tersebut, mereka semua bersepakat dengan suara bulat atas kepemimpinannya
Abu Bakar Ash-Shiddiq. Mereka menyebut Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan sebutan
Khalifah Rasulullah, membaiat dirinya, patuh kepadanya serta mengakui keutamaan
dan kelebihannya. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang terbaik dalam semua sifat,
kriteria, kompetensi, dan kualifikasi yang menjadikannya benar-benar berhak dan
layak memegang jabatan kepemimpinan, seperti keilmuan, zuhud, kuatnya
pandangan, kemampuan mengatur, memerintah, mengurus, dan mengelola umat dan
yang lainnya.
Abdul Malik Al-Juwaini mengungkapkan,
adapun kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka keabsahan dan legitimasinya
tertetapkan dengan Ijma’ sahabat. Karena para sahabat semuanya bersepakat untuk
taat, patuh, dan tunduk kepada pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Apa yang
dikarang-karang oleh golongan Rafidhah bahwa Ali bin Abu Thalib memperlihatkan
perilaku yang kasar dan tidak simpatik ketika melakukan baiat kepada Abu Bakar
Ash-Shiddiq adalah benar-benar murni sebuah kebohongan yang nyata.
Benar, Ali bin Abu Thalib memang tidak ikut
berada dalam muktamar di Saqifah Bani Sa’idah waktu itu dan memilih untuk
menyendiri karena kesedihan mendalam yang dialaminya waktu itu atas
meninggalnya Rasulullah. Namun kemudian ia ikut bersama-sama dengan yang lain
melakukan pembaiatan kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq di hadapan banyak saksi.
Abu Bakar Al-Baqilani ketika membicarakan
ketika membicarakan Ijma’ atas kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq,
mengungkapkan seperti berikut, Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah pemimpin yang harus
ditaati karena kaum muslimin bersepakat dengan suara bulat untuk mematuhinya,
menyetujui kepemimpinannya dan ketundukan mereka kepadanya. Bahkan ketika Abu
Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Tolong, lengserkan aku dari tampuk kepemimpinan ini
karena aku bukanlah orang terbaik kalian.” Maka Ali bin Abu Thalib pun
menjawabnya dengan berkata, “Kami tidak akan mau melengserkan Anda dan tidak
akan mau meminta Anda untuk lengser. Rasulullah telah menunjuk Anda untuk agama
kami, maka apakah kami tidak meridhai dan merestui Anda untuk dunia kami?!”
Maksudnya adalah ketika Rasulullah menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk
mengimami shalat padahal waktu itu Rasulullah ada dan masih hidup serta
penunjukan dirinya sebagai amir haji.
Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sosok terbaik
umat ini, paling kuat imannya, paling sempurna pemahamannya, dan paling melimpah
ilmunya.
- Jabatan khilafah dan khalifah.
Khilafah Islamiyah adalah sistem yang
dipilih oleh umat Islam dan disepakati oleh mereka dengan suara bulat baik
teknis maupun bentuknya sebagai sistem pemerintahan untuk mengurus, mengatur,
dan mengelola urusan-urusan dan kemashlahatan-kemashlahatan umat. Sejarah
kelahiran khilafah terkait erat dengan kebutuhan umat kepada sistem
pemerintahan khilafah serta keyakinan dan kemantapan mereka terhadap sistem
ini. Dari itulah, maka kaum Muslimin pun langsung bersegera dalam memilih
seorang khalifah pengganti Rasulullah.
Imam Abu Al-Hasan Al-Mawardi mengungkapkan,
sesungguhnya Allah memberikan mandat kepada seorang pemimpin umat untuk
menggantikan kenabian dan menjaga agama, menyerahkan kepadanya tugas mengelola,
mengatur dan mengurus supaya aturan dan kebijakan yang ada lahir dari sebuah
agama yang legal dan legitimate, serta suara umat sepakat dengan suara bulat
atas sebuah pendapat, pandangan, dan kebijakan yang diikuti. Maka, imamah atau
kepemimpinan adalah pokok dasar yang menjadi fondasi dan landasan pilar-pilar
agama serta tertatanya kemashlahatan-kemashlahatan publik sehingga
urusan-urusan umum berjalan dengan baik, rapi, tertib, dan sistematis. Dari
imamah itu pulalah lahir lembaga-lembaga yang memiliki otoritas khusus.
Umat Islam memang harus menghadapi situasi
sulit dan kritis yang terjadi bersamaan dengan meninggalnya Rasulullah, harus
segera menentukan dan memutuskan urusan-urusan mereka dengan cepat, tepat,
hikmah, bijaksana dan prudent, serta jangan sampai membiarkan adanya celah
sedikit pun bagi terciptanya perpecahan yang bisa menjadi pintu masuk keraguan,
kebimbangan, dan ketidakpercayaan ke dalam jiwa sebagian individu umat, atau
jangan sampai membiarkan adanya celah yang menjadi lubang masuk kelemahan ke
dalam pilar-pilar bangunan yang telah dibangun oleh Rasulullah.
Dan ketika khilafah adalah sistem
pemerintahan kaum muslimin, maka prinsip-prinsipnya tentu digali dari
konstitusi kaum muslimin, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah. Fuqaha telah
membicarakan tentang dasar-dasar khilafah Islamiyah. Mereka mengatakan, bahwa
khilafah Islamiyah adalah dengan syura (permusyawaratan) dan baiat. Kedua
prinsip ini aslinya sudah disinggung dalam Al-Qur`an.
Jabatan khilafah terkadang disebut dengan
istilah imamah atau imarah. Kaum muslimin bersepakat dengan suara bulat tentang
hukum wajib bagi khilafah, bahwa menunjuk dan mengangkat seorang khalifah
adalah fardhu bagi kaum muslimin yang akan mengurus, mengelola, dan mengatur
urusan-urusan umat, menegakkan hudud, bekerja menyebarkan dakwah Islam,
melindungi agama dan umat dengan jihad, menerapkan syariat, melindungi hak-hak,
memproses secara hukum perbuatan-perbuatan melanggar hukum serta menyediakan
kebutuhan-kebutuhan dasar bagi setiap individu. Semua ini tertetapkan
berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan Ijma’.
Allah berfirman yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (An-Nisa`: 59).
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan
kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (Shad: 26).
Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang
melepaskan tangan dari kepatuhan, maka kelak pada Hari Kiamat ia bertemu Allah
sedang ia tidak memiliki hujjah (tidak memiliki alasan yang dapat diterima atas
tindakannya itu dan tidak memiliki dalih dan apologi yang berguna baginya). Dan
barang siapa, yang mati, sedang lehernya tidak ada baiat, maka ia mati dengan
kematian Jahiliyah.”
Adapun Ijma’, maka para sahabat tidak
menunggu hingga pemakaman Rasulullah, tetapi mereka langsung berdatangan untuk mengambil
suara bulat mengangkat seorang imam atau khalifah. Abu Bakar Ash-Shiddiq
menjelaskan alasan kenapa ia bersedia menerima amanat tersebut, yaitu ia
khawatir terjadinya fitnah dan situasi yang tak terkendali jika tidak segera
diadakan pengangkatan seorang khalifah bagi kaum muslimin. Dalam hal ini,
Asy-Syahrastani menuturkan, tidak pernah terbesit dalam hati Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan tidak pula dalam hati siapa pun bahwa boleh bumi ini kosong
dari seorang imam. Maka, semua itu menunjukkan bahwa para sahabat yang
merupakan generasi awal sejak dini telah bersepakat dengan suara bulat bahwa
keberadaan seorang imam adalah sebuah keniscayaan dan keharusan. Maka, Ijma’
ini menjadi dalil yang pasti dan tak terbantahkan tentang kewajiban adanya imam
atau pemimpin.
Sama sekali tidak benar apa yang coba
digembar-gemborkan oleh pihak-pihak yang menyembunyikan kedengkian bahwa
syahwat dan ambisi terhadap kepemimpinan adalah penyebab para sahabat sibuk
dengan urusan kekhilafahan mengesampingkan proses pemakaman Nabi Muhammad.
Ibnu Khaldun mendefinisikan khilafah
seperti berikut, mendorong semua orang kepada apa yang sesuai dengan pandangan
syara’ dalam kemashlahatan-kemashlahatan ukhrawi mereka dan sekaligus
kemashlahatan-kemashlahatan duniawi mereka yang pada akhirnya harus kembali
kepada kemashlahatan-kemashlahatan ukhrawi mereka. Karena menurut syari’, hal
ihwal dunia semuanya haris diperhitungkan dengan kemashlahatan-kemashlahatan
akhirat. Khilafah pada hakikatnya adalah kepemimpinan yang mewakili pemilik syariat
dalam menjaga agama ini dan mengelola dunia dengan berdasarkan agama ini.
Abu Al-Hasan An-Nadawi membahas tentang
syarat-syarat, kualifikasi dan prasyarat-prasyarat seseorang menjabat khilafah.
Dari hasil kajian sirah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Al-Hasan An-Nadawi
membuktikan dengan berdasarkan dalil-dalil, hujjah, dan argumentasi-argumentasi
bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq memenuhi semua syarat-syarat dan prasyarat
kekhilafahan. Berikut ini kami sebutkan syarat-syarat tersebut secara singkat
dan ringkas tanpa menyebutkan dalil-dalil yang disebutkan oleh An-Nadawi.
Syarat-syarat terpenting tersebut yang terpenuhi pada diri Abu Bakar
Ash-Shiddiq adalah:
- Abu Bakar Ash-Shiddiq selama hidupnya setelah
Islam mendapatkan kepercayaan Rasulullah dan kesaksian beliau untuknya
(sertifikasi), penunjukan dirinya oleh Rasulullah untuk menggantikan beliau
dalam melaksanakan sebagian rukun-rukun agama yang prinsipil dan untuk
melaksanakan sejumlah urusan penting, menemani beliau dalam berbagai kesempatan
yang krusial, kritis, dan rumit yang seseorang dalam kesempatan-kesempatan
seperti itu tidak meminta ditemani kecuali oleh orang yang memang benar-benar
ia percayai dan andalkan sepenuhnya.
- Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sosok yang memiliki
karakter solid, kuat, dan tegar menghadapi berbagai terpaan badai yang hampir
menghempaskan substansi dan esensi agama, hampir meruntuhkan usaha-usaha yang
selama ini telah dibangun oleh sang pemilik risalah agama dan cukup lama
bersama Rasulullah. Akan tetapi, sahabat yang satu ini tetap berdiri tegar dan
kokoh di hadapan terpaan badai tersebut sekokoh gunung besar yang menjulang
tinggi dan tertanam kokoh dalam bumi, berhasil memerankan peran khalifah
nabi-nabi yang tulus, kuat dan kokoh, menyingkirkan tutup yang menutupi mata,
menyibakkan debu dari substansi agama dan akidahnya yang benar.
- Sahabat yang satu ini memiliki kelebihan berupa
pemahaman yang mendalam dan cermat terhadap Islam, pengalaman empiris dalam
penghayatan terhadap Islam secara langsung bersama Rasulullah dalam beragam
situasi dan kondisi, seperti kondisi aman dan perang, takut dan aman, kesatuan
dan persatuan, kesempitan dan kelapangan, susah dan senang.
- Sahabat yang satu ini memiliki sense of honor
yang sangat tinggi atas agama ini, keoriginalan, kemurnian serta keasliannya
sebagaimana bentuknya pada masa Nabi Muhammad, jauh lebih tinggi mengalahkan sense
of honor seseorang atas kehormatan dan harga dirinya sendiri, atas istri,
ibu, dan anak-anaknya. Ia tidak akan tergoyahkan dan terpalingkan sedikit pun
dari sikapnya ini oleh suatu rasa takut, ambisi, interpretasi atau sikap tidak
setuju dari orang yang paling dekat dan paling ia cintai.
- Sahabat yang satu ini sangat cermat, teliti,
penuh dedikasi, serta memiliki komitmen dan konsistensi yang luar biasa dalam
merealisasikan keinginan-keinginan dan cita-cita Rasulullah yang ia menjadi
khalifah beliau setelah meninggalnya beliau, tidak bergeser sedikit pun dari
hal itu serta tanpa kenal kompromi dengan siapa pun dan tidak takut celaan dan
kecaman orang yang mencela dan mengecam.
- Sahabat yang satu ini memiliki sikap zuhud
terhadap dunia dan kesenangan-kesenangannya dengan bentuk kezuhudan yang tidak
bisa dibayangkan lagi ada kezuhudan yang lebih tinggi dari itu kecuali hanya
jika dibandingkan dengan kezuhudan sang imam, sang pembimbing, dan penunjuknya,
yaitu Nabi Muhammad. Tidak pernah terbesit sedikit pun dalam benak, hati, dan
pikirannya untuk membangun sebuah dinasti
kekuasaan dan meluaskan sayap kekuasaannya untuk kepentingan keluarga
besar dan ahli warisnya, sebagaimana kebiasaan keluarga-keluarga kerajaan yang
sedang berkuasa di negara-negara terdekat dari jazirah Arab seperti Romawi dan
Persia.
Semua sifat, kriteria, kualifikasi, syarat, dan spesifikasi tersebut
terpenuhi pada diri Abu Bakar Ash-Shiddiq, sebagaimana semua itu
terepresentasikan dalam kehidupan dan sirahnya pada masa Rasulullah sebelum dan
sesudah ia menjadi khalifah hingga meninggal dunia dalam bentuk yang tidak
memungkinkan bagi siapa pun untuk coba menyangkal, meragukan, dan
mempertanyakan kebenarannya. Karena semua itu benar-benar nyata kebenarannya
secara aksioma dan mutawatir.
Ahlu Al-Halli wa Al-’Aqdi di Saqifah Bani Sa’idah melakukan pembaiatan
khusus atau terbatas kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian mereka
mengajukannya kepada masyarakat umum secara luas pada hari kedua, dan umat pun
membaiat beliau di masjid dengan pembaiatan umum dan terbuka.
Muktamar yang berlangsung di Saqifah Bani Sa’idah menghasilkan sejumlah
prinsip dasar. Di antaranya adalah, bahwa kepemimpinan umat tidak dilakukan
kecuali dengan cara pemilihan, bahwa baiat adalah salah satu asas pemilihan
serta legalitas dan legitimasi kepemimpinan, bahwa kekhilafahan tidak dijabat
kecuali oleh orang yang paling kuat agamanya dan paling kompeten kemampuan dan
kapabilitas managerialnya, karena memilih seorang khalifah haruslah sesuai
dengan komponen-komponen Islam, kepribadian dan moralitas.
Di antaranya lagi adalah, bahwa kekhilafahan tidak termasuk bentuk sistem
monarki atau tribalisme, dan sesungguhnya preferensi Quraisy di Saqifah Bani Sa’idah
dalam kapasitasnya sebagai sebuah realitas haruslah diperhitungkan dan
dipertimbangkan, dan hal-hal yang serupa seperti itu juga harus diperhitungkan
dan dipertimbangkan selama tidak bertentangan dengan pokok-pokok Islam.
Di antaranya lagi adalah, bahwa musyawarah dan dialog yang berlangsung di
Saqifah Bani Sa’idah berlangsung dengan semangat ketenangan jiwa dan kepala
dingin, tidak ada kegaduhan, keributan dan keonaran, tidak ada sikap-sikap
kecurigaan, pendustaan, konspirasi dan merusak kesepakatan, akan tetapi
semuanya diliputi oleh semangat berpegang kepada nash-nash, sekiranya diskusi
yang dilakukan berpedoman pada nash-nash syara’, bahwa otoritas penentu yang
bersifat final adalah di tangan nash-nash agama.
Dari kejadian Saqifah Bani Sa’idah, Dr. Taufiq Asy-Syawi menuturkan
sejumlah contoh yang dihasilkan dengan permusyawaratan kolektif pada masa
Al-Khulafa’urrasyidin:
- Hal pertama kali yang diputuskan oleh pertemuan di Saqifah Bani
Sa’idah adalah, bahwa sistem pemerintahan dan konstitusi negara
ditetapkan dengan cara permusyawaratan yang bebas dan independen,
sebagai implementasi prinsip syura yang dinyatakan secara tegas dan
jelas dalam Al-Qur`an.
Dari itu, prinsip ini sudah menjadi kesepakatan dengan suara bulat
(Ijma’). Pedoman atau sandaran Ijma’ ini adalah nash-nash Al-Qur`an yang
mengharuskan syura. Artinya adalah, bahwa Ijma’ ini mengungkap dan menegaskan
asas syar’i pertama untuk sistem pemerintahan dalam Islam, yaitu syura yang bersifat
mengikat dan wajib dijalankan. Dan ini adalah prinsip konstitusi pertama yang
ditetapkan dengan Ijma’ setelah meninggalnya Rasulullah. Kemudian, Ijma’
tersebut tidak lain adalah sebagai afirmasi dan implementasi nash-nash
Al-Qur`an dan As-Sunnah yang mengharuskan syura.
- Pada muktamar Saqifah Bani Sa’idah juga
menghasilkan sebuah prinsip bahwa pemilihan kepala Negara atau kepala
pemerintahan Islam serta pendefinisian tentang apa saja otoritas yang dimiliki
haruslah dilakukan dengan syura. Yakni, dengan baiat yang bebas yang
mengamanatkan kepada kepala Negara atau pemerintahan untuk memegang kekuasaan
dengan berbagai syarat, aturan, dan batasan-batasan yang termuat dalam akad
baiat yang bebas dan independen (yaitu yang dikenal dengan istilah konstitusi dalam
sistem kontemporer).
Ini adalah prinsip atau asas konstitusional kedua yang dikukuhkan oleh
Ijma’ tersebut, dan ini merupakan sebuah keputusan yang bersifat Ijma’
(disepakati dengan suara bulat) sama seperti keputusan sebelumnya.
- Sebagai implementasi kedua prinsip di atas, maka
muktamar Saqifah Bani Sa’idah memutuskan memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai
khalifah pertama untuk Negara Islam.
Kemudian,
pencalonan tersebut belum sah secara final kecuali setelah adanya baiat umum.
Yakni, persetujuan segenap kaum muslimin pada hari berikutnya di masjid
Rasulullah, kemudian adanya pernyataan menerima pembaiatan sebagai khalifah
tersebut dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan sejumlah syarat yang ia sebutkan
dalam pidato yang ia sampaikan. Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut insya
Allah.